*

*

Ads

Rabu, 02 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 063

“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada harapan? Tidak, teecu tidak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”

“Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”

Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentu takkan tinggal diam dan tentu berusaha mencari muridnya, maka ia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai.

Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan ia tidak ingin usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau ia sudah mendapatkan kitab itu, ia takkan peduli siapapun juga akan mengganggunya. Ia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak boleh dipandang ringan, apalagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!

Karena itulah maka biarpun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.

Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni mancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan nampak perut-perut ikan mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air.

Melihat ini, tak dapat ditahan lagi keinginan Kiu-bwe Coa-li untuk memancing! Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlalu doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Ia senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasa pada saat pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apabila ujung kail disambar ikan.

Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, tidak mempedulikan pula kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.

Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.

“Lihat, Sui Ceng……. Di sana ada bunga cilan!” tiba-tiba Kwan Cu berseru girang sambil menudingkan telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan.

Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tak terasa pula jatuh ke atas tanah.

“Aduh, maaf…… Sui Ceng….. maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau…..” kata Kwan Cu sambil memegang tangan Sui Ceng dan seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!

“Sudahlah, Sui Ceng, tak perlu disedihkan selalu kematian ibumu. Aku bersumpah akan mencari dan memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!”

Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena seringkali memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.

“Apa yang kau katakan?” Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti orang marah. “Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku sendiri yang akan membelek dadanya, mengeluarkan jantungnya dan memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!”






“Ha, ha, ha, ha, ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha, ha, ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa.

Suara ini demikian menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng terkejut bukan main. Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali.

Apalagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya menjadi pucat seketika. Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih danyang mengerikan adalah kedua tangannya karena sepuluh jari tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar harimau. Adapun kedua kakinya telanjang sama sekali.

“Toat-beng Hui-houw…..!” seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.

Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinju dan memandang dengan mata marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang menyeramkan itu. Jadi inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?

Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.
“Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang mau memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha, ha, ha! Akulah yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau……. kuncup bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis daripada darah ibumu. Ha, ha, ha!”

Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang dengan pukulan mereka yang biarpun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun mendatangkan angin pukulan yang hebat juga. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira sekali.

“Anak-anak baik….. bertulang bersih….. ha, ha, ha!”

Ia lalu mainkan ilmu silatnya dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.

Akan tetapi, baik Sui Ceng maupun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk saja dan dalam ilmu silat mereka telah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka terpegang dan keduanya mempergunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.

Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biarpun sudah dua kali Kwan Cu berhasil mempergunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, namun pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seakan-akan mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung!

Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka siang-siang dia telah mengerahkan lweekang di tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.

Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah mempergunakan Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama sekali.

Namun Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang dan menusuk sepasang mata Toat-beng Hui-houw!

Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat sekali serangan anak perempuan ini, karena apabila matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya.

Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Ketika tangannya tidak berhasil menusuk mata lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.

“Aduuuuuuhhh……..!”

Toat-beng Hui-houw memekik lalu menggereng seperti seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih. Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa dan begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!

Kwan Cu dan Sui Ceng tidak mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga ketika Toat-beng Hui-houw menekan pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan menggairahkan!

Sui Ceng yang tak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa ibunya juga telah digigit lehernya dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Adapun Kwan Cu yang dielus-elus kepalanya, bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.

“Ha, ha, ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama enaknya, sama manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!

“Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau melihat dia? Tak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti dia?” kata Kwan Cu karena biarpun dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, namun kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi pernapasan dan tidak kehilangan suara mereka dan masih dapat bicara.

Kwan Cu hendak menolong Sui Cneg, rela dia sendiri mati. Akan tetapi tidak disangkanya, anak perempuan itu memiliki keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,

“Kwan Cu, kau kira aku takut mati? Biar iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya dan sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan menjadi setan penasaran!”

Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he-he sambil memandang bergantian kepada dua anak itu.

“Hm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!” katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.

“Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau mengganggu Sui Ceng, hmmm….. kurasa kau takkan lama dapat mempertahankan kepalamu yang botak, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu akan mengejar-ngejarmu selalu!”

Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek ini.

Matanya jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.
“Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi untuk memukul pecah kepala gundul itu. Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan menjerit keras sekali.

“Suthai…..! Tolong teecu!”

Mendengar jerit itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik leher anak itu.

“Jangan membuka mulut, kau…….!”

Akan tetapi, jeritan tadi telah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya seperti mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Tiba-tiba ia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke arah suara muridnya.






Tidak ada komentar :