*

*

Ads

Rabu, 02 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 065

Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li.

Telah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.

Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana dan mabuk-mabukan seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba dia mendengar suara genteng dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.

“Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!”

Toat-beng Hui-houw membentak. Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia berhadapan dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu.

Kwan Cu juga maklum akan hal ini, maka dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka khawatir sambil memutar otaknya.

“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Hui-houw, apakah kau sudah gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!”

Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras pergelangan tangan Kwan Cu, membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.

“Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu kau bawa-bawa selalu? Mengapa sekarang tidak mengaku??” selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,

“Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya omongannya? Dia membohongimu! Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, tanda dia membohong. Aku percaya bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas kitab itu!”

Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Ia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak.

Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah orang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”

“Berikan kepadaku!”

Toat-beng Hui-houw membentak lalu serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau. Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.

Kini Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.

“Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, hingga terpaksa teecu membawanya kesini kepada Suhu!”

Dengan keterangan ini, makin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan menggunakan akal, Kwan Cu dapat memancing siluman ini untuk mencari dia dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.

Adapun Toat-beng Hui-houw mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga membalas serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat.






Segera Toat-beng Hui-houw mengeluh di dalam hatinya ketika beberapa kali dia menyerang, selalu dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang mengandung racun!

“Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus dalam tanganku!” bentaknya dan Toat-beng Hui-houw lalu menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Silat Hui-houw-lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan).

Sepuluh kuku jari tanganya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga kedua kakinya yang telanjang itu menendang-nendang seperti kaki harimau mencakar!

Dari tenggorokan keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini.

“Toat-beng Hui-houw seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!”

Ang-bin Sin-kai balas memaki akan tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang luar biasa ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah bertempur melawan kakek berkuku panjang ini sungguhpun kedua orang kakek ini sudah pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing!

Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata,

“Suhu, pukul kepalanya yang botak! Dia telah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia benar-benar siluman jahat menjelma manusia!”

Mendengar suara Kwan Cu, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Ia telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sin-kai dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencarinya jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul!

Maka dia lalu mengeluakan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi seperti ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai.

Namun Ang-bin Sin-kai yang kini sudah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya tersenyum-senyum dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lalu berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang. Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya demikian cepat dan wajar sehingga Kwan Cu menjadi kagum sekali.

Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat dielakkan dengan mudahnya. Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw mengejar dan menyerang terus, akan tetapi tiba-tiba Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi ada sambaran angin serangan lawan. Ketika kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut!

“Manusia curang!”

Kwan Cu membentak. Ia mainkan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak hebat sekali sungguhpun dalam beberapa jurus dia berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu.

“Tua bangka tak tahu diri!”

Ang-bin Sin-kai memaki dan menggerakkan kedua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini dapat mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.

Toat-beng Hui-houw terkejut sekali bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu.

Namun Ang-bin Sin-kai kini sudah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah kuku lawan dan terdengar suara “kraaak!” maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!

Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu.
“Kau mau membalas dendam kematian Pek-cilan? Nah, sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu.”

Kwan Cu menengok dan memandang kapada Toat-beng Hui-houw yang masih menggeletak pingsan di atas lantai. Memang mudah sekali baginya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng.

Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di situ. Ia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toat-beng Hui-houw, didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur.

Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan dan dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala botak Toat-beng Hui-houw seperti topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.

“Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu sambil meninggalkan musuh besar itu.

Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, karena tadi dia memang hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya.






Tidak ada komentar :