*

*

Ads

Kamis, 24 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 102

Ia menengok ke sana ke mari dan alangkah terkejutnya bahwa guanya sekarang juga berubah letaknya. Biasanya, matahari terbit menghadapi guanya, berarti bahwa guanya menghadap ke timur, akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang gua. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa guanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!

Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tak boleh jadi, pikirnya. Ia lalu teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang “pindah”? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?

Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sesungguhnya tepat. Memang pulaunya itu telah hanyut! Pulau ini terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdaun putih itu akarnya sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.

Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak dapat pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau “perahu besar” dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan badai, seungguhpun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.

Dan bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, sudah berkali-kali apabila datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.

Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seakan-akan banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?

Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang dia tahu amat kuat batangnya, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, lalu mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu!

Kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!

Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan setelah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata,

Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk.

Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya makin terharu karena tidak seorangpun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam ke dasar laut atau ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.

Akan tetapi ketika dia melongok ke dalam sebuah gua, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya tercucur keluar. Di dalam gua itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi!

Agaknya mereka dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, telah berdaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan, akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!

“Malita……… Malika……. kasihan kalian …..” kata Kwan Cu yang segera melepaskan tubuh mereka dari ikatan.

Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.

“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya.

Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Dan ketika dia berlari cepat tiba di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!






“Liyani……!”

Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa. Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata telah tak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalamannya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan sekarang, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.

“Liyani…… agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas……!”

Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu tanpa sukar, karena semenjak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.

Ia menggali lubang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh sekali ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu. Ia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah.

Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Hampir telanjang dan rambutnya terlepas, agaknya sudah lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.

Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam guanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya dan kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia merapikan rambut Liyani digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu di pasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.

Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.

Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau terjadi demikian, biarpun andaikata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka sempat menyembunyikan diri ke dalam gua-gua yang banyak terdapat di pulau itu.

Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia makin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia.

Apakah daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apabila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalaupun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tidak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat di musnahkan!

Kenyataan ini membuat Kwan Cu makin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apalagi ketika dia makin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.

Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran tentang pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang amat tinggi. Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang makin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut “kepandaian” itu sebenarnya hanya kosong belaka!

Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!

Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, melainkan mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.

Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang amat tinggi, mendapatkan dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang kesemuanya harus bersandarkan kepada tenaga Im dan Yang. Namun dengan sadar dia kini melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?

Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai “kepintaran” itu! Bahkan lebih hebat lagi kalau Yang Maha Kuasa menghendaki napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, akan lenyaplah ujud yang disebut manusia! Apakah mahluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!

Sang waktu lewat cepat sekali tanpa terasa oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari oleh Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.

Itu pun baru merupakan setengah daripada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja, karena ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini telah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.

Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Ia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas daripada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.

Adapun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa melihat bagian ini tidak mungkin dibaca. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam tentang garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapapun pandai seseorang mengobati orang sakit, kalau Thian tidak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!

Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Kalau Thian menghendaki nyawa seseorang, biarpun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!

Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika.

Juga di atas “kuburan” kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia taruhi tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan……. Bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:

“Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.”

Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret sebuah perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu dan memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.

Tak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya.

Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi.

Tak lama kemudian, dia memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang di sambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke daratan tanah Tiongkok.

Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw!

**** 102 ****





Tidak ada komentar :