*

*

Ads

Kamis, 31 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 117

Melihat sikap yang amat galak dari Kiu-bwe Coa-li, tiga orang panglima itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang aneh dan maklum pula bahwa tokoh-tokoh sering kali mengejar harta-harta pusaka. Siapa tahu kalau-kalau nenek sakti yang galak ini pun mencari Menteri Lu Pin dengan maksud kurang baik.

Mereka adalah patriot-patriot sejati yang gagah, yang siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa, siap pula membela Menteri Lu Pin yang amat mereka junjung tinggi.

“Suthai menanyakan Lu-taijin ada maksud apakah?” tanya seorang diantara mereka.

Bun Sui Ceng memandang khawatir. Ia sudah maklum akan watak gurunya yang keras dan tidak mau dibantah oleh siapapun juga. Benar saja, nenek sakti itu mengerutkan kening dan pecutnya bergerak-gerak di tangannya.

“Kau peduli apa dengan urusanku? Hayo katakan dimana dia berada dan habis perkara!”

Namun tiga orang panglima itu adalah orang-orang yang setia. Jangankan baru gertakan seorang nenek tua yang sakti, biarpun maut mengancam nyawa, mereka takkan sudi membuka rahasia persembunyian Menteri Lu Pin.

“Kalau Suthai tidak memberitahukan maksud Suthai menjumpai Lu-taijin, maafkan kami tidak dapat memberitahukan di mana tempat tinggalnya.”

Baru saja pembicara itu menutup mulutnya terdengar bunyi “tar”, nyaring sekali dan cambuk di tangan nenek itu menyambar turun ke atas kepala tiga orang panglima tadi!

“Suthai, jangan…..!” Bun Siu Ceng melompat maju dan mengangkat kedua tangannya seakan-akan melindungi kepala tiga orang panglima itu. “Mereka adalah pejuang-pejuang rakyat, jangan dibunuh!”

“Pejuang atau bukan, mereka kurang ajar dan harus dibunuh, habis perkara!” jawab Kiu-bwe Coa-li dengan suara menyeramkan.

Sui Ceng cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan berkata dengan suara memohon.

“Suthai, ampunkan kesalahan mereka. Mereka tidak tahu siapa adanya Suthai. Biarlah teecu (murid) yang bicara dengan mereka.”

Cambuk berekor sembilan itu masih bergetar di tangan Kiu-bwe Coa-li dan dipegang di atas kepalanya. Akan tetapi, perlahan-lahan cambuk itu turun dan nenek itu berkata penuh penyesalan.

“Hm, kau anak nakal! Siapa peduli akan menteri dan kaisar? Dasar kau yang mencari-cari perkara!”

Namun jawaban ini sudah cukup bagi Sui Ceng. Setiap kali gurunya menyebutnya “anak nakal” itu berarti bahwa gurunya memenuhi permintaannya. Dengan girang dia lalu melompat bangun dan menghadapi tiga orang panglima yang memandang dengan mata terbelalak, masih kaget dan takut melihat sikap Kiu-bwe Coa-li yang aneh dan galak.

“Sam-wi Lo-pek (Paman Bertiga), sesungguhnya guruku ini tidak peduli sama sekali tentang dimana adanya Lu-taijin. Hanya atas desakanku saja beliau terpaksa mencari tempat persembunyian Lu-taijin. Harap Sam-wi jangan mencurigai kami. Biarpun kami sudah mendengar bahwa Lu-taijin membawa harta pusaka besar, namun kami bukan sebangsa perampok dan kunjungan kami hanya sekedar ingin bertemu karena aku ingin sekali bicara dengan orang tua yang mulia dan gagah perkasa itu.”

Merahlah wajah tiga orang panglima itu mendengar ini. Mereka segera menjura dalam sekali dan seorang di antara mereka berkata,

“Maaf, maaf! Mohon maaf sebanyaknya bahwa kami yang sudah menerima pertolongan, sebaliknya telah berani mati untuk mencurigai Ji-wi. Kebetulan sekali kami pun baru saja tiba dengan maksud mengunjungi Lu-taijin yang sudah lama kami tinggalkan di sini. Akan tetapi ketika tadi kami melihat pasukan pemberontak berkumpul di sini, kami menjadi khawatir dan segera menyerbu mereka. Lu-taijin berada di dalam goa itu, Lihiap. Marilah kita bersama masuk ke dalam untuk menemuinya, karena kami sudah sangat ingin melihat keadaannya.”






Biarpun tiga orang panglima itu bergerak cepat memasuki goa, tetap saja Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng dapat mendahului mereka. Dan alangkah heran dan kaget hati tiga orang itu ketika melihat betapa dengan tangan kirinya saja Kiu-bwe Coa-li dapat mendorong pintu raksasa itu sehingga terbuka, nampaknya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun juga.

Mereka mengeluarkan lidah saking kagumnya. Mereka bertiga yang bertenaga besar masih tak dapat mendorong pintu itu terbuka dan biasanya mereka hanya masuk dengan mempergunakan alat pembuka pintu yang tersembunyi di luar pintu itu.

Lima orang ini memasuki pintu dan Kiu-bwe Coa-li nampak tertegun sejenak melihat tengkorak-tengkorak raksasa itu. Biarpun ia seorang nenek sakti yang sudah ratusan kali menghadapi bahaya maut dan kejadian yang aneh-aneh dan menyeramkan, namun selama hidupnya baru pertama kali ini ia menyaksikan tengkorak-tengkorak yang demikian menyeramkan.

Adapun Bun Sui Ceng yang masuk di belakang gurunya, mengeluarkan seruan tertahan dan merasa bulu tengkuknya berdiri! Tak terasa pula dia memegang tangan gurunya.

“Apa kau takut?” tanya Kiu-bwe Coa-li tak puas sambil menoleh dan memandang kepada muridnya.

Bun Sui Ceng cepat melepaskan pegangan tangannya dan menggeleng, kini mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya yang manis.

Mereka masuk terus ke dalam dan tiba-tiba tiga orang panglima itu menjerit berbareng.
“Lu-taijin…….!”

Tergopoh-gopoh mereka berlari menghampiri tubuh kakek yang sudah menggeletak miring di bawah dinding goa itu, tangan kiri memegang pedang Liong-coan-kiam, sedangkan tangan kanan memegang alat pengukir.

“Lu-taijin…..!” kembali tiga orang berseru sambil beramai-ramai mengangkat tubuh kakek itu yang sudah lemas dan dingin.

Melihat sekelebatan saja, Kiu-bwe Coa-li tahu bahwa kakek itu sudah tak bernyawa lagi.

“Tak perlu ribut-ribut, dia sudah mati,” katanya. “Mari kita pergi, Sui Ceng, untuk apa berdiam di sini lebih lama lagi setelah orangnya yang ingin kau temui itu meninggal dunia?”

Akan tetapi muridnya tidak menjawab dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, ia melihat muridnya itu tengah membaca ukir-ukiran yang berada di dinding tepat di mana kakek tadi menggeletak mati. Kiu-bwe Coa-li melangkah maju dan ikut membaca huruf-huruf yang diukir amat indahnya itu.

“Lu Kwan Cu
Kau cucu tunggal setelah seluruh keluargaku dibakar oleh pemberontak An Lu Shan. Lu Thong tak termasuk hitungan. Kepadamu kuharapkan agar kau membinasakan seluruh keluarga An Lu Shan, bukan untuk membalaskan kesengsaraan keluarga, melainkan kesengsaraan rakyat dan negara! Pedang Liong-coan-kiam kuberikan kepadamu. Sekali lagi, bebaskanlah rakyat daripada angkara penjahat besar An Lu Shan sekeluarganya!
Kong-kongmu,
LU PIN

“Hebat, sampai nyawanya meninggalkan raga, beliau tetap seorang patriot sejati bagi nusa dan bangsanya,” kata Sui Ceng dan ketika Kiu-bwe Coali memandang, ia melihat mata muridnya itu berlinang air mata.

“Hm, hm, hm, kau telah terpengaruh oleh semangat kakek itu, Sui Ceng. Mari kita kembali ke gunung, untuk apa menyeret diri ke dalam kancah permusuhan?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Suthai. Biarpun Suthai di mulut berkata demikian, akan tetapi teecu telah tahu akan perasaan hati Suthai. Bukankah dahulu Suthai juga menjadi marah dan mencoba untuk membasmi kaki tangan An Lu Shan? Teecu akan membantu untuk memenuhi cita-cita Lu-taijin yang mulia, hendak teecu basmi penjahat-penjahat yang menindas rakyat itu,” katanya dengan gagah.

Kiu-bwe Coa-li menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mereka itu kuat sekali, Sui Ceng. An Lu Shan dibantu oleh orang-orang pandai dan agaknya sudah menjadi takdir bahwa negara kita harus berada di dalam kekuasaan mereka. Lagi pula, bukankah menurut pesan Lu-taijin, yang diserahi tugas adalah Lu Kwan Cu? Heran aku, siapakah Lu Kwan Cu itu?”

Tiba-tiba Sui Ceng tersenyum. Gadis ini memang luar biasa, mudah menangis dan mudah pula tersenyum. Ia teringat akan Kwan Cu, bocah gundul itu dan tak terasa pula tersenyum geli kalau mengingat betapa tugas seberat itu diserahkan kepada bocah gundul setolol itu!

“Suthai, tidak ingatkah Suthai akan anak laki-laki yang menjadi sebab keributan dahulu? Semua tokoh besar memperebutkan dia, gara-gara kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu!’

Berubah wajah nenek sakti itu.
“Ah….. dia……??” Ia mengerutkan kening dan berkata. “Sui Ceng, bocah itu bukan bocah biasa dan siapa tahu kalau-kalau dia sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Sui Ceng kembali tersenyum geli.
“Mana mungkin begitu, Suthai? Di waktu gurunya, Ang-bin Sin-kai, tewas oleh keroyokan kaki tangan An Lu Shan, Kwan Cu tidak muncul dan sudah lama dia tidak memperlihatkan diri. Bagaimana dia bisa melakukan tugas sepenting ini? Biarlah aku mewakilinya, karena tugas ini bukan hanya tugasnya, melainkan tugas setiap orang gagah yang membela negara dan bangsanya.”

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li bangga dan girang melihat sikap muridnya. Tidak percuma ia mempunyai murid yang hanya seorang ini, karena memang muridnya ini berjiwa gagah. Dia sendiri jemu untuk berurusan dengan segala keruwetan dunia, apalagi ia memang merasa kecewa ketika tidak berhasil membinasakan tokoh-tokoh yang mengkhianati bangsa.

“Baiklah, Sui Ceng. Kau boleh melakukan tugas ini, akan tetapi kau berhati-hatilah. Dan jangan lupa bahwa kau harus mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maksudku sebetulnya, kau harus mencari pemuda murid iblis utara itu, The Kun Beng.”

Merah sekali wajah Sui Ceng. Ia mengerti akan maksud gurunya, akan tetapi untuk mendapatkan penjelasan yang lebih nyata, ia pura-pura bertanya,






Tidak ada komentar :