*

*

Ads

Kamis, 31 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 118

“Mengapa teecu harus mencari dia, Suthai?”

“Bocah bodoh! Seorang anak harus mentaati kehendak orang tuanya. Aku sendiri sebagai gurumu, tidak bisa berkata apa-apa, karena dalam hal perjodohan, orang tuamulah yang lebih berhak. Biarpun ibumu sudah tidak ada, akan tetapi pesannya harus ditaati. Bukankah ibumu sudah mengikatkan tali perjodohan antara kau dan The Kun Beng murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Nah, kau carilah dia agar perjodohan dapat dilangsungkan segera. Tentu saja kau harus memberi tahu kepadaku apabila pernikahan akan dilangsungkan.”

Warna merah makin menjalar luas sampai membikin merah kedua telinga gadis itu.
“Aahh, Suthai……! Perlu benarkah itu? Antara dia dan aku tidak ada hubungan sedikit pun juga. Bahkan semenjak kanak-kanak sampai sekarang, aku tak pernah melihat dia!”

“Biarpun begitu, Sui Ceng. Jodoh itu sudah ditakdirkan oleh Thian dan disahkan oleh orang-tua. Apakah sukarnya mencari murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Dia tentu lihai sekali seperti suhunya.”

Sui Ceng cemberut.
“Biarpun dia lihai dan baik, teecu tidak peduli, Suthai. Mana ada wanita mencari laki-laki? Kalau dia memang sudah diikatkan dengan teecu, mengapa bukan dia yang mencari teecu? Mengapa harus teecu yang mencarinya? Teecu tidak sudi!”

Kiu-bwe Coa-li tertawa, suara ketawanya aneh sekali.
“Bodoh, lupa bahwa kita berdua menyembunyikan diri di gunung dan tak seorang pun tahu dimana kita berdua? Andaikata dia mencari, apa kau kira dia bisa menemukan kita? Sudahlah, kau boleh berangkat dan hati-hatilah, jangan kau berpikiran singkat. Ingat semua nasihat dan pelajaran yang selama ini kau dapatkan dariku.”

Kiu-bwe Coa-li meraba kepala muridnya dengan sentuhan mesra. Menghadapi sikap yang tidak seperti biasanya dari gurunya, terharulah hati Sui Ceng dan gadis ini lalu memeluk gurunya sambil menangis.

“Jaga baik-baik dirimu, Suthai. Tak lama lagi teecu tentu akan menyambangi Suthai di puncak gunung.”

Pada saat itu, tiga orang panglima sedang sibuk mencoba untuk memindahkan hio-louw (tempat abu hio) yang amat besar, akan tetapi sia-sia belaka. Hio-louw itu beratnya seribu kati lebih dan tidak dapat mereka angkat!

Mendengar suara mereka “ah-ah-uh-uh-uh!” mengerahkan tenaga, Kiu-bwe Coa-li menengok.

“Eh, eh, eh, tidak mengurus jenazah baik-baik melainkan mengangkat-angkat hio-louw besar itu, apa-apaan kalian ini?” Kiu-bwe Coa-li menegur mereka.

Mendengar ini, tiga orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li.
“Suthai yang mulia, tolonglah kami. Lu-taijin dahulu berpesan bahwa apabila beliau meninggal dunia, agar supaya jenazahnya dikubur di bawah hio-louw. Tidak tahunya hio-louw ini demikian beratnya sehingga kami bertiga tidak kuat memindahkannya.”

“hm, hm, hm, orang-orang lemah seperti kalian ini mana bisa berhasil melawan pasukan-pasukan An Lu Shan?” kata Kiu-bwe Coa-li mengejek, akan tetapi ia bertindak menghampiri hio-louw itu.






Dengan tangan kanannya dia memegang telinga hio-louw dan sekali sentak, hio-louw itu terangkat naik dan diturunkannya lagi di tempat yang agak jauh dari tempat semula!

Tiga orang itu saling pandang dan mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Kemudian mereka cepat menggali lubang di bawah hio-louw itu.

Kiu-bwe Coa-li mengambil pedang Liong-coan-kiam dari tangan jenazah Lu Pin, memandang pedang itu dan mengangguk-angguk kagum.

“Pedang pusaka yang baik,” katanya.

“Suthai, pedang itu adalah pedang untuk Kwan Cu,” kata Sui Ceng, mengira bahwa gurunya menginginkan pedang tadi.

“Untuk apa pedang macam ini bagiku?” kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tangan yang memegang pedang, pedang itu meluncur seperti anak panah dan tertancap sampai ke gagangnya pada dinding batu karang yang diukir oleh Lu Pin!

Pedang itu tertancap di tengah-tengah tulisan-tulisan itu dan sukarlah bagi orang biasa untuk mencabutnya kembali!

“Aku pergi, Sui Ceng,” kata nenek itu dan tanpa menanti jawaban tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.

Tiga orang panglima yang sedang menggali lubang, melihat kepergian nenek itu, menjadi bingung sekali. Mereka keluar dari lubang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng.

“Lihiap, harap kau jangan pergi dulu. Siapa yang akan mengembalikan hio-louw itu di tempat semula?”

Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi melihat kepada mayat Menteri Lu Pin yang wajahnya masih membayangkan keagungan, ia mengangguk. Tiga orang itu bekerja keras dan setelah lubang itu cukup dalam dan dengan penuh penghormatan dan diantar oleh tangis, mereka mengubur jenazah Menteri Lu Pin.

Sui Ceng lalu mengerahkan tenaganya akan tetapi hanya setelah mempergunakan kedua tangannya, gadis ini dapat memindahkan hio-louw yang memang amat berat.

Tiga orang panglima itu juga membaca tulisan yang diukir di dinding, lalu mereka menyatakan kepada Sui Ceng bahwa mereka di dalam perjuangan hendak pula mendengar-dengar kalau-kalau ada pemuda yang dimaksudkan oleh mendiang Lu-taijin itu. Setelah itu, mereka lalu keluar dari goa. Sui Ceng berkata,

“Mari kita tutup goa ini dengan batu-batu agar tidak ada sembarang orang dapat memasukinya dan mengganggu goa ini.”

Setelah berkata demikian, gadis ini melempar-lemparkan batu-batu besar menutupi mulut goa.

Tiga orang itu tertegun.
“Akan tetapi…… bagaimana kalau pemuda yang bernama Lu Kwan Cu itu datang ke sini? Bagaimana dia akan dapat masuk?”

Sui Ceng tertawa.
“Kalau dia sanggup menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, apa susahnya untuk membongkar batu-batu ini dan membuka goa?”

Terpaksa tiga orang itu lalu membantu dan sebentar saja goa itu telah tertutup oleh batu-batu yang bertumpuk sehingga tidak kelihatan dari luar. Kemudain tanpa banyak cakap lagi Sui Ceng lalu melompat pergi diikuti oleh pandang mata tiga orang panglima itu yang merasa takjub dan kagum sekali.

**** 118 ****





Tidak ada komentar :