*

*

Ads

Kamis, 31 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 119

“Turunkan aku……! Lepaskan aku…..! lepaskan, kau laki-laki kurang ajar!”

Gadis dalam pondongan Kwan Cu itu meronta-ronta dan memaki-maki minta dilepaskan dari pondongan. Namun Kwan Cu tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menjawab bahkan membiarkan saja kedua tangan gadis itu memukul-mukuli dadanya. Ia merasa betapa pukulan tangan gadis itu cukup antep dan keras, namun baginya tidak terasa sama sekali. Diam-diam Kwan Cu merasa mendongkol sekali, maka dia sengaja tersenyum sambil berlari terus dengan cepatnya, keluar dari kota raja.

Akhirnya gadis itu tidak dapat melanjutkan makiannya karena ia merasa lelah, hanya menangis sambil menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda yang membawanya lari.

Setelah tiba jauh dari tembok kota raja, Kwan Cu masuk ke dalam hutan dan menurunkan gadis itu di bawah sebantang pohon. Malam telah berganti pagi dan keadaan yang suram sejuk itu menyatakan kepadanya akan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh gadis yang telah ditolongnya. Kwan Cu tersenyum.

“Nah, disini kau boleh memaki-maki dan menjerit sekerasmu. Para pengejar dari istana telah tertinggal jauh dan keadaan kita tidak terancam bahaya lagi.”

“Kau….. kau laki-laki kasar, kurang ajar dan sombong! Kau berani memondongku, laki-laki sopan tidak akan sudi menyentuh kulit tubuh seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada kakakku disini, kau tentu akan dihancurkan kepalamu!”

Gadis itu memaki lagi dengan sepasang matanya bersinar-sinar, menyaingi bintang pagi yang masih berkedip-kedip di angkasa.

Kwan Cu tersenyum lebar.
“Kau maksudkan kakakmu Gouw Swi Kiat? Murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Aha, dia takkan marah-marah seperti kau, bahkan akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Wahai gadis manis, tahukah kau mengapa aku menolongmu?”

“Mengapa lagi kalau kau tidak tertarik oleh kecantikan seorang gadis muda? Laki-laki di mana-mana sama saja, gila kecantikan dan lupa daratan, lupa perikemanusiaan menjadi budak nafsu binatang!”

Berkerut kening Kwan Cu. Hatinya tersinggung sekali.
“Hmmm, entah karena memang watakmu yang galak dan kasar ataukah karena kau sudah mengalami banyak penderitaan maka kau dapat mengeluarkan tuduhan sekeji itu. Dengarlah, perempuan, aku menolongmu karena empat hal. Pertama-tama aku benci melihat An Kong si pangeran botak yang mata keranjang itu. Ke dua karena aku mendengar bahwa kau adalah kekasih The Kun Beng, seorang kenalanku yang baik. Ketiga karena kau adalah adik dari Swi Kiat seorang sahabatku pula, dan keempat karena aku melihat muka si tua Siangkoan Hai dan murid-muridnya. Kau kira aku mempunyai maksud lain apa lagikah? Kalau kau tidak suka, sudahlah, biarkan aku pergi. Terima kasih atas segala makian dan tuduhanmu yang keji!”

Setelah melontarkan kata-kata ini dengan suara gemas, Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi. Ia mengkal sekali.

“In-kong……… (tuan penolong), perlahan dulu………”

Kwan Cu mengangkat alis dan menoleh. Ia tertegun melihat gadis itu berdiri memandangnya dengan mata sayu dan di atas kedua pipi yang halus itu nampak butiran-butiran air mata! Benar-benar heran sekali, bagaimana gadis ini yang tadi marah-marah sekarang berbalik menangis? Sikap dan watak wanita benar-benar merupakan teka-teki besar bagi Kwan Cu.

“Ada apalagi kau memanggil aku? Mengapa pula memakai sebutan In-kong? Aku tidak menolongmu. Apakah kurang cukup makian-makianmu tadi?”

Makin deras keluarnya air mata dari sepasang mata yang bening itu.
“Benar-benarkah kau…… tidak akan menggangguku seperti yang kusangka semula?”

Kwan Cu tersenyum pahit, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kau memang manis dan mudah menggugah hati laki-laki untuk mengganggumu. Akan tetapi karena kau sudah terlalu banyak menderita yang diakibatkan oleh sinar mata keranjang pria kau lalu menganggap bahwa semua laki-laki gila nafsu dan mata keranjang. Tidak Nona, aku Lu Kwan Cu selama hidupku tidak akan mempergunakan kekerasan mengganggu wanita.”

Gadis ini terkejut mendengar nama ini, karena tadi di dalam kamar An Kong, ia sama sekali tidak memperhatikan nama ini.






“Jadi kau ini Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai yang sering di sebut-sebut oleh Kun Beng? Ah, maafkan aku….. maafkan aku yang sedang menderita ini….” Tiba-tiba gadis itu menubruk maju dan berlutut di depan Kwan Cu.

Pemuda ini menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Lalu dia mengangkat tubuh gadis itu sambil memegang kedua pundaknya.

“Sudahlah, Nona, tak perlu semua penghormatan ini dan kau janganlah terlalu berduka, tidak baik untuk kesehatanmu.”

Mendengar ucapan ini, gadis itu lalu memeluk dan menjatuhkan mukanya di dada Kwan Cu seakan-akan seorang adik yang minta hiburan dari seorang kakak yang menyayanginya.

“Nasibku amat buruk…..” keluhnya sambil menangis.

Kembali Kwan Cu menggeleng kepala berkali-kali. Aneh sekali watak gadis ini, pikirnya. Tadi ditolong dan dipondong begitu saja, memaki-maki dan meronta-ronta, mengatakan dia kurang ajar dan tidak sopan. Sekarang atas kehendak sendiri bahkan memeluknya dan mendekapkan muka di dadanya. Alangkah anehnya. Akan tetapi timbul hati kasihan di dalam hatinya menyaksikan gadis itu terisak-isak di dadanya.

“Tenanglah, diamlah, Nona. Mengapa kau begini berduka?”

Tanpa terasa, darah Kwan Cu panas juga. Dia seorang pemuda yang belum pernah berdekatan dengan seorang wanita, apalagi bersentuhan kulit atau lebih-lebih lagi memeluk tubuh seorang gadis yang demikian cantik. Otomatis tangannya mengelus-elus rambut yang hitam panjang dan halus itu, sedangkan hatinya berdebar tidak karuan.

Rabaan tangan penuh kasih dan iba dirambutnya agaknya terasa oleh gadis itu. Dengan kaget ia menjauhkan dirinya, memandang kepada Kwan Cu, akan tetapi kini sinar ketakutan dan curiga telah lenyap dari matanya.

“Apakah kau kenal baik dengan Kun Beng dan kakakku Swi Kiat?” tanya gadis itu.

“Aku hanya bertemu dengan mereka sewaktu aku masih kecil. Dahulu kakakmu itu seorang anak yang berangasan, berbeda dengan Kun Beng yang halus dan ramah. Akan tetapi dahulu aku tidak tahu bahwa Swi kiat mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Kui Lan.”

Gadis itu, Gouw Kui Lan, tersenyum pahit.
“Memang kakakku selalu ikut dengan gurunya dan aku tinggal di rumah bersama orang tuaku. Akan tetapi sekarang kedua orang tuaku telah meninggal dunia dan aku hidup berdua dengan Kiat-ko. In-kong, aku hendak minta pertolonganmu, kau usahkanlah perdamaian antara Kiat-ko dan Kun Beng.”

“Eh, mengapakah? Apakah mereka itu berselisih?”

Kui Lan mengangguk dan menarik napas panjang, lalu duduk di atas akar pohon.
“Duduklah, In-kong. Mereka tidak hanya berselisih, bahkan Kiat-ko telah bersumpah untuk mencari dan membunuh Kun Beng…. Dan aku tidak rela melihat Kun Beng terbunuh olehnya. Aku…… aku cinta kepada Kun Beng.”

Merah muka Kwan Cu mendengar pengakuan yang dianggapnya amat ganjil dari mulut gadis ini.

“Aku sudah mendengar ketika kau bicara dengan pangeran botak An Kong. Akan tetapi, mengapakah mereka bermusuhan? Mereka adalah saudara sepergururan, bagaimana mereka bisa bermusuhan sedemikian hebat sehingga kakakmu bersumpah untuk membunuh sutenya sendiri?”

Sampai beberapa lama Kui Lan ragu-ragu, kemudian ia menghela napas dan berkata,
“Kun Beng seringkali membicarakan engkau, dan memujimu sebagai seorang yang aneh dan berbudi. Oleh karena itu, tiada salahnya kalau aku menceritakan semua peristiwa yang kualami kepadamu, apalagi karena aku hendak minta tolong kepadamu untuk mengakurkan mereka kembali.”

Kui Lan lalu bercerita, menurutkan pengalamannya dengan singkat, akan tetapi agar lebih jelas bagi kita, marilah kita mengikuti sendiri semua pengalamannya itu.

Swi Kiat dan Kui Lan adalah putera-puteri dari keluarga Gouw yang bertempat tinggal di dalam Propinsi Hok-kian. Sesungguhnya ayah dari kedua orang anak ini adalah bekas seorang perwira Kerajaan Tang yang telah mengundurkan diri karena tidak suka melihat kaisar dan para pembesar lainnya melakukan korupsi besar-besaran dan bukan merupakan pemimpin dan pelindung rakyat, bahkan sebaliknya merupakan pemeras-pemeras berwewenang yang lebih jahat daripada perampok-perampok tulen.

Bekas perwira she gouw ini membawa keluarganya pindah ke dalam dusun dan uang simpanan yang tidak seberapa dia membeli tanah dan hidup sebagai petani yang berbahagia dan tenteram.

Ia di segani di dusunnya karena selain luas pengertiannya, juga dia memiliki kepandaian silat yang bagi orang-orang dusun sudah amat tinggi sehingga dusun itu menjadi aman. Tidak ada orang jahat berani memperlihatkan aksinya setelah Gouw-ciangkun ini tinggal di situ.

Pada suatu hari, Swi Kiat dan adiknya bermain-main di halaman depan rumahnya. Ketika itu Swi Kiat baru berusia lima tahun dan Kui Lan berusai tiga tahun. Sebagai putera seorang petani, Swi Kiat memang amat rajin. Kalau dia tidak membantu para pekerja di ladang, baik hanya untuk mengawasi atau pun membantu sedikit-sedikit sesuai dengan kemampuan tenaganya yang masih kecil, tentu dia membantu pekerjaan ibunya. Pada hari itu, Swi Kiat bertugas menjaga adiknya yang masih kecil dan mengajaknya bermain-main.

Pada saat mereka bermain-main, tiba-tiba kelihatan seorang kakek kecil pendek yang berpakaian sederhana. Entah darimana datangnya kakek ini karena tahu-tahu telah berada di luar pekarangan rumah dan duduk di atas rumput, memandang ke arah dua orang anak yang bermain-main itu.

Swi Kiat dan Kui Lan melihat pula orang itu, akan tetapi tidak memperhatikannya karena hanya mengira bahwa kakek itu seorang dusun lain yang duduk beristirahat. Padahal sebetulnya kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang tokoh besar yang baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat mengangkat kaki seribu!

“Engko Kiat, ambilkan bunga itu…..” kata Kui Lan merengek-rengek.

“Mengapa kau minta bunga yang buruk di atas pohon itu? Lebih baik kucarikan bunga teratai di empang atau bunga mawar di kebun belakang, lebih bagus dan mudah mengambilnya,” jawab kakaknya.

“Tidak mau, aku mau bunga yang di atas pohon itu!” Kui Lan tetap merengek.

“Baiklah, baiklah, tapi jangan kau menangis,”

Swi Kiat marah-marah, akan tetapi dia lalu naik ke atas pohon itu untuk mencarikan bunga bagi adiknya. Dalam usia lima tahun, Swi Kiat telah mulai berlatih silat dan tubuhnya digembleng oleh ayahnya sehingga dia memiliki tenaga dan kegesitan yang lebih daripada anak-anak biasa.

Bagaikan seekor monyet, dia memanjat pohon itu dan megambilkan tiga tangkai bunga. Akan tetapi, sebelum dia turun, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya sakit dan gatal-gatal. Alangkah kagetnya ketika anak ini melihat bahwa dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor semut merah karena tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh sarang mereka.

Swi Kiat memiliki ketabahan besar dan biarpun dia sibuk sekali mengusir semut-semut yang menggigit di badannya, dia tidak mengeluarkan keluhan hanya berseru,

“Semut….. semut…….!”

Ia merayap turun sambil menggaruk sana menepuk sini. Gigitan semut-semut merah itu sakit dan gatal luar biasa sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi. Ketika dua tangannya sibuk mengusir semut, keseimbangan tubuhnya kacau dan dia terpeleset dari atas dahan!

Anak itu tentu akan mengalami bencana hebat karena dia terjatuh dari dahan yang tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tiba-tiba terdengar suara orang.

“Bodoh sekali…..!” dan tahu-tahu tubuh Swi Kiat telah ditangkap oleh sebuah lengan yang pendek kecil sehingga dia tidak sampai terbanting ke atas tanah.

Kakek yang tadi duduk di luar pekarangan, tahu-tahu telah berada di situ dan dapat menyambut tubuh Swi Kiat dengan amat mudah.

Swi Kiat masih sibuk mengusiri semut dan menggaruk ke sana ke mari. Biarpun semut-semut itu sudah pergi, namun gatal-gatal masih hebat sekali sehingga anak ini tidak mempedulikan kakek yang telah menolongnya.

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan pundak Swi Kiat ditampar. Aneh sekali, seketika itu juga lenyaplah rasa gatal dan sakit bekas gigitan semut, sungguhpun di sana-sini masih nampak merah-merah bekas gigitan.






Tidak ada komentar :