*

*

Ads

Kamis, 31 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 120

Swi Kiat memandang dengan mata terbelalak, barulah dia teringat bahwa kakek ini telah menolongnya, maka serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut.

“Kakek yang baik, terima kasih atas pertolonganmu.”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai senang sekali melihat Swi Kiat. Ia dapat melihat bahwa anak ini bertulang baik dan bakatnya luar biasa. Juga melihat betapa dalam penderitaan anak itu tidak mengeluh sama sekali, membuktikan bahwa anak itu memiliki ketabahan dan ketenangan. Tiga tangkai kembang masih selalu di pegangnya, ini pun menyatakan bahwa dia memiliki dasar setia.

Swi Kiat lalu memberikan kembang itu kepada Kui Lan yang menerimanya dan terus bersembunyi di belakang kakaknya, karena ia takut melihat kakek kecil pendek yang suaranya nyaring itu.

“Anak yang tangkas, kalau hendak mengambil bunga di atas pohon, mengapa susah-susah memanjat pohon yang banyak semutnya?” kata Siangkoan Hai tertawa.

“Eh, kakek yang aneh. Kembang berada di atas pohon, kalau tidak memanjat naik, habis bagaimana mengambilnya?” tanya Swi Kiat heran.

Siangkoan Hai tertawa makin keras.
“Banyak jalannya. Kau bisa menyambit tangkai kembang sehingga kembang-kembang itu turun sendiri ke bawah, atau kau dapat melompat dan mengambilnya tanpa menyentuh dahan pohon yang banyak semutnya.”

Swi Kiat berpikir sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Membicarakannya mudah, akan tetapi siapa dapat melakukan hal itu?”

Memang Swi Kiat seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah begitu saja kalau tidak melihat buktinya.

“Kau tidak percaya kepadaku? Lihat baik-baik!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengambil segenggam batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, lima butir kerikil melayang ke arah pohon dan….. tak lama kemudian, lima tangkai bunga melayang ke bawah.

“Hebat sekali kepandaianmu menyambit, kakek yang baik. Akan tetapi, bagaimana dengan jalan ke dua?”

Siangkoan Hai tertawa makin keras dan tiba-tiba tubuhnya yang pendek kecil melayang ke arah pohon. Gerakan tubuhnya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata karena tiba-tiba dia sudah turun kembali dan ditangannya terdapat sepuluh tangkai bunga!

Bunga-bunga ini dia berikan kepada Kui Lan yang tertawa-tawa gembira. Anak ini belum dapat menghargai dan mengagumi semua perbuatan kakek itu yang dianggapnya aneh. Yang membikin dia gembira adalah pemberian bunga-bunga yang banyak itu.

“Luar biasa sekali!” tiba-tiba terdengar suara Gouw-ciangkun datang berlari-lari dari luar pekarangan, terus menjura dengan hormat kepada Siangkoan Hai.

“Ayah, kakek ini lihai sekali, aku ingin belajar ilmu kepandaian dari padanya,’ kata Swi Kiat sambil memandang kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan mata kagum.

“Locianpwe benar-benar amat mulia, sudi mengajak main-main anak-anakku yang bodoh dan nakal,” kata Gouw-ciangkun.

“Memang puteramu ini berjodoh dengan aku, biarlah dia menjadi muridku,” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Gouw-ciangkun adalah seorang bekas perwira dan ahli silat, maka dia tahu akan perlunya anak-anaknya mempelajari ilmu silat. Mendengar ucapan kakek yang kecil pendek ini, dia lalu menjura dan berkata,

“Banyak terima kasih atas budi Locianpwe, akan tetapi bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai berwatak keras dan sombong, akan tetapi dia jujur dan baik hati. Ia tidak menjawab pertanyaan Gouw-ciangkun, karena baginya perkenalan tiada artinya dan bersopan-sopan juga bukan kegemarannya, dia bahkan bertanya kepada Swi Kiat.

“Eh, bocah tangkas. Sukakah kau menjadi muridku?”






Swi Kiat memang cerdik. Dia sudah yakin betul bahwa kakek ini seorang luar biasa maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu, teecu merasa gembira sekali.”

Siangkoan Hai tertawa dan menoleh kepada Gouw-ciangkun.
“Puteramu sudah setuju, aku tiada banyak waktu. Selamat tinggal!”

Tiba-tiba saja dia berkelebat dan tahu-tahu kakek itu dan juga Swi Kiat tidak kelihatan pula bayangannya.

Gouw-ciangkun terkejut bukan main. Ia girang bahwa puteranya mendapatkan guru yang demikian lihai, akan tetapi dia juga gelisah karena tidak tahu siapakah gerangan guru anaknya itu. Maka biarpun kakek itu sudah tidak kelihatan, dia tetap berseru keras.

“Locianpwe, mohon kau sudi meninggalkan nama!”

Entah darimana datangnya, terdengar amat jauh akan tetapi jelas sekali, ada jawaban,
“Orang menyebutku Pak-lo-sian!”

Mendengar ini, Gouw-ciangkun tertegun dan berdiri seperti patung. Ia girang bukan main dan juga kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kakek kecil pendek itu adalah tokoh besar dari utara yang karena kesaktiannya mendapat julukan Dewa Utara!

Demikianlah, Swi Kiat semenjak hari itu mengikuti suhunya dan tak lama kemudian gurunya mengambil murid seorang anak lain yakni The Kun Beng.

Hanya sekali setahun, kadang-kadang sampai dua tahun, Swi Kiat datang mengunjungi orang tuanya atas perkenan suhunya yang mengajaknya merantau jauh. Kehidupan keluarga Gouw aman dan tenteram sampai terjadinya sebuah peristiwa beberapa belas tahun kemudian.

Kui Lan telah berusia tujuh belas tahun dan ia merupakan seorang gadis yang amat cantik jelita, bagaikan bunga mawar yang sedang mekar semerbak. Gadis ini pun mempelajari ilmu silat akan tetapi hanya dibawah pengajaran ayahnya sendiri yang tentu saja kalah jauh apabila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Siangkoan Hai.

Setiap kali Swi Kiat mengunjungi orang tuanya, pemuda ini tentu memberi petunjuk-petunjuk kepada adiknya sehingga Kui Lan memperoleh kemajuan pesat. Tentu saja kini tingkat kepandaian Swi Kiat jauh melampaui ayahnya sehingga orang tua itu menjadi amat bangga dan girang.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, semenjak Gouw-ciangkun tinggal di dusun, keadaan di situ aman dan tenteram, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya. Apalagi setelah Kui Lan menjadi dewasa dan memiliki kepandaian silat tinggi, orang-orang makin menaruh hormat dan segan terhadap keluarga Gouw ini.

Akan tetapi, pada suatu hari, dusun ini kedatangan serombongan orang-orang kasar yang ternyata adalah gerombolan perampok ganas yang melarikan diri dari utara karena mereka diobrak-abrik oleh Swi Kiat dan Kun Beng!

Kepala rampok yang memimpin gerombolan ini bernama Ang Hok yang berjuluk Tok-hui-coa (Si Ular Terbang Berbisa). Berkat penyelidikannya, Ang Hok mendapat keterangan bahwa seorang di antara dua pemuda murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang perkasa itu adalah putera Gouw-ciangkun yang tinggal di dusun Keng-kin-bun di sebelah utara kota raja.

Dengan hati mengandung dendam, Tok-hui-coa Ang Hok lalu melarikan diri membawa anak buahnya yang belum tewas menuju dusun itu untuk membalas dendamnya kepada keluarga Gouw!

Pada senja hari itu, Gouw-cingkun ditemani oleh isterinya dan Gouw Kui Lan, tengah makan malam sehabis bekerja keras sehari penuh, mengepalai buruh tani di sawah. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan seperti biasa yang dipercakapkan mereka tentulah Swi Kiat.

“Tahun baru kurang tiga pekan lagi,” kata Gouw-ciangkun, “tentu Swi Kiat akan pulang.”

“Dulu Kiat-ko bilang bahwa sekarang dia jarang ikut merantau suhunya, karena kakek itu sekarang selalu bertapa di puncak gunung. Bahkan Kiat-ko sering kali mendapat tugas untuk membasmi perampok-perampok dan membantu perjuangan rakyat terhadap pemberontak An Lu Shan,” kata Kui Lan menyambung.

Mereka bicara dengan asyik sekali. Tiba-tiba mereka terganggu oleh suara gemuruh di luar rumah, suara banyak orang datang berkumpul di situ. Lalu terdengar bentakan keras.

“Inilah rumah keluarga Gouw! Bakar habis, bunuh semua orang!”

Gouw-ciangkun cepat menyambar goloknya, sedangkan Kui Lan juga buru-buru lari ke kamarnya mengambil pedang. Akan tetapi pada saat itu, rumah bagian depan telah di bakar dan pintu depan telah didorong roboh oleh Tok-hui-coa Ang Hok. Di belakang ikut masuk anak buahnya yang sebanyak dua puluh orang.

“Penjahat-penjahat rendah darimanakah berani kurang ajar di rumah kami?” Gouw-ciangkun membentak marah dan menggerakkan golok menghadang mereka.

“Ha, ha, ha, ha, ha! Inikah Gouw-ciangkun yang menjadi ayah dari si laknat Gouw Swi Kiat? Keluarga Gouw, bersiaplah untuk terima binasa!” kata Tok-hui-coa Ang Hok sambil maju menyerbu, mainkan ruyungnya yang besar dan berat.

Gouw-ciangkun dapat menduga bahwa mereka itu tentulah penjahat-penjahat yang merasa sakit hati terhadap puteranya, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyambut serangan lawan dan mengamuk.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa telapak tangannya panas dan sakit ketika goloknya bertemu dengan ruyung itu. Ternyata bahwa tenaga kepala perampok itu besar sekali. Sebentar saja Gouw-ciangkun telah dikeroyok oleh banyak orang.

“Penjahat-penjahat anjing, jangan kurang ajar!”

Tiba-tiba Kui Lan membentak sambil melompat keluar dari kamarnya dengan pedang di tangan. Seorang anggauta perampok yang telah menghampiri nyonya Gouw dengan golok di tangan, tiba-tiba diserangnya dan penjahat itu menjerit dengan dada tertembus pedang!

“Ibu, menyingkirlah ke dalam kamar!” seru Kui Lan sambil memutar pedangnya, membantu ayahnya yang terkepun dan terdesak.

Adapun Tok-hui-coa Ang Hok ketika melihat munculnya seorang gadis yang demikian gagahnya, menjadi seperti linglung dan dia memandang tanpa berkedip.

“Ha, ha, ha, tak kusangka di sini terdapat setangkai bunga cilan yang harum! Kawan-kawan, keroyok dan binasakan anjing tua ini, biar aku memetik kembang itu!” katanya kemudian dan dengan ruyung diputar cepat dia menyambut Kui Lan.

Biarpun Gouw-ciangkun gagah, akan tetapi dia telah mulai tua dan tenaganya terbatas. Lagi pula selama menjadi petani, jarang sekali dia melatih ilmu silatnya dan juga tidak pernah bertempur, maka gerakannya kaku sekali. Bagaimana dia dapat menghadapi keroyokan belasan orang perampok itu?

Memang benar bahwa dia telah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok setelah mengamuk nekat dan mati-matian, akan tetapi akhirnya tubuhnya menjadi korban keganasan para perampok, dihujani pukulan senjata tajam sehingga dia roboh mandi darah.

Adapun Kui Lan, mana ia dapat melawan Tok-hui-coa Ang Hok yang sudah kawakan dan penuh tipu muslihat pertempuran? Baru dua puluh jurus saja pedang di tangan gadis ini sudah terlempar jauh dan sebelum Kui Lan dapat mengelak, ia telah diringkus dan sebuah totokan di pundak membuatnya tidak berdaya lagi.

“Ha, ha, ha, kawan-kawan. Bunuh semua orang di dalam rumah dan bakar habis rumahnya!” teriak Ang Hok sambil lari keluar memondong tubuh Kui Lan.

Para perampok itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan waktu baik ini. Mereka merampok dulu habis-habisan, baru membunuh nyonya Gouw dan membakar rumah itu. Kemudian, dalam perjalanan mereka menyusul kepala mereka, mereka terlebih dulu merampok habis dusun itu dan melakukan permbunuhan keji.

Dalam keadaan lumpuh tertotok jalan darahnya, Kui Lan dibawa pergi oleh Tok-hui-coa Ang Hok ke arah pegunungan batu karang dimana banyak terdapat goa-goa yang besar. Di goa-goa itulah sarang para perapok yang baru datang dari utara ini.

Di sepanjang jalan terdengar suara Ang Hok tertawa-tawa menyeramkan. Kepala rampok yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah menyeramkan ini merasa girang sekali.






Tidak ada komentar :