*

*

Ads

Sabtu, 02 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 121

Sekali ini hasil pekerjaannya memang hebat. Tidak saja dia dapat membalas dendam dan menghabiskan keluarga Gouw untuk membalas sakit hatinya terhadap Gouw Swi Kiat, juga dia berhasil mendapatkan seorang gadis yang cantik jelita seperti Kui Lan yang telah dipondongnya itu.

Hampir pingsan Kui Lan mengalami perlakuan yang kasar dan tidak senonoh oleh kepala rampok ini, akan tetapi apa dayanya? Selain kalah pandai dalam ilmu silat, juga ia telah dibikin tidak berdaya, semua urat-urat ditubuhnya lemas dan tenaganya lenyap. Baiknya sebelum Ang Hok melakukan hal-hal yang lebih hebat lagi, datanglah anak buahnya, tertawa-tawa sambil memanggul hasil-hasil rampokan.

Ang Hok meninggalkan Kui Lan dan keluar dari dalam goa, menemui anak buahnya.
“Kawan-kawan sekalian. Bunga yang kupetik itu benar-benar cantik dan aku telah mengambil keputusan untuk menjadikan isteriku. Bersiaplah untuk merayakan pesta pernikahanku malam nanti!”

Kawan-kawannya bersorak gembira. Memang hal itu merupakan hal baru yang mengherankan. Biasanya kepala rampok itu mengganggu anak bini orang dan setelah bosan lalu dioperkannya kepada anak buahnya. Baru kali ini agaknya kepala rampok itu jatuh hati terhadap seorang wanita!

Kawanan perampok itu lalu mendatangi dusun-dusun dan memaksa orang-orang dusun untuk menyediakan hidangan untuk meramaikan pesta pernikahan kepala mereka.

Kasihan sekali orang-orang dusun ini, karena mereka dengan hati berat dan terpaksa harus melakukan segala perintah ini. Suasana di pegunungan batu karang pada malam hari itu ramai sekali dan para perampok menari-nari dan minum sampai mabuk.

Akan tetapi, tiba-tiba di sana-sini terdengar jeritan orang dan beberapa orang perampok roboh tak bernyawa lagi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali tahu-tahu telah berdiri di situ dan kedua tangannya bergerak-gerak. Setiap kali tangannya bergerak, sebutir benda hitam melayang dan mengenai seorang perampok yang tak dapat menghindarkan diri lagi, terus saja roboh dan mati!

Geger keadaan di situ. Orang-orang dusun melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat melarikan diri, pulang ke rumah masing-masing di bawah gunung. Adapun para perampok menjadi amat marah dan sebentar saja pemuda itu telah dikepung oleh perampok-perampok yang memegang senjata tajam di tangan.

Tok-hui-coa Ang Hok sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apalagi orang itu hanya seorang pemuda saja.

Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main. Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!

Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru,
“Kawan-kawan, keroyok…..”

Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.

Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika masih kecil. Pemuda ini telah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biarpun matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.

Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.

Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, adapun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.

Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, adapun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan, Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.






Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Cepat dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.

Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain adalah sisa-sisa perampok yang telah dibasminya, sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!

Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya yakni batu-batu hitam biasa yang dipungutnya di mana saja. Memang, disamping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepadaiannya mempergunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia. Ia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu, akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya karena sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!

Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek dan mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek.

Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.

Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, maka sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya untuk mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!

Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyoknya telah roboh malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.

Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka biarpun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur.

Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan kemanapun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.

Akhirnya Ang Hok nekat dan lari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Tiba-tiba, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai kepinggang.

Ternyata bahwa dia telah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau di tumbuhi oleh rumput! Ia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!

“Tolong…… tolong………..!”

Betapapun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapapun berani dan tabahnya, menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbul ngeri dan takutnya.

Kui Lan biarpun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.

Tadinya Kun Beng telah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur dan rawa itu sebetulnya kurang lebih empat tombak lebarnya.

“Tolonglah aku…….!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.

Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan memutar otak bagaimana dia dapat menolong gdais itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.

“Tolonglah…… Taihiap….. tolonglah aku……” kembali Ang Hok menjerit-jerit.

“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” kata Kun Beng dengan suara dingin. “Kalau aku dapat menolong juga, bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”

Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga Ang Hok tiba-tiba menjadi beringas dan tertawa bergelak.

“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha, ha, ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, lebih dulu aku akan menekannya ke bawah Lumpur!”

Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan akan mati.

Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang dia hendak memaksaku dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.

“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.

“Tak!”

Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan kini dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan diisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!

Kini lumpur telah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan.

Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.

“Breeeettt!”

“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.

Karena kuatnya gadis itu terbenam dan kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang di sambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan “terbang”, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur.

Dengan muka merah dan bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapapun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.

Adapun Kui Lan yang telah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan semenjak tertawan oleh kepala rampok tadi, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia jatuh pingsan!

Sekali lagi Kun Beng melompat, kini menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan membawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apalagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu!

Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Pemuda ini dengan tenang menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.






Tidak ada komentar :