*

*

Ads

Sabtu, 02 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 122

“Berbahya sekali.”

Pikirnya. Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja.

Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali. Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi!

Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian warna abu-abu yang amat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.

Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa dimana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.

Kui Lan membuka matanya perlahan dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu melihat bahwa ia terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya ketika ia menengok ke bawah melihat betapa dada dan punggungnya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian. Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolongnya.

“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang.

Tanpa pikir panjang lagi ia lalu menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepala, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.

“Nona, mengapa kau menyerangku?”

“Kau…. orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, berani….. merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!’

Biarpun hatinya berdebar tidak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,

“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Biarpun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”

“Kau….. kau kurang ajar!” seru Kui Lan dan kini ia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya.

Pergerakan ini membuat lumpur yang kering rontok sehingga nampak kulit yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.

“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian agar kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapapun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu. Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah…. tampannya! Berpikir sampai disini, Kui Lan menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba ia menjadi pucat. Baru sekarang ia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.

“Ayah…… ibu……..!”

Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali. Ia belum tahu dengan jelas bagaiman nasib ayah bundanya, karena ketika terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, ia segera melompat ke dalam kembali setelah ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang! Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.
“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”






Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel di tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali.

Setelah ia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biarpun hanya pakaian wanita petani.

“Terima kasih, kau baik betul……” kata gadis itu dari dalam goa.

“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” tanya pemuda itu dan tiba-tiba terasalah dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.

Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng telah berdiri di depan goa dan mereka kini berhadapan.

“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.

Kui Lan menunduk dengan muka merah.
“Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”

“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.”

Kun Beng memuji lagi. Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, sedangkan rumahnya terbakar musnah!

Berdebar hati Kui Lan mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikinya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguhpun berbeda sekali.

Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan…… suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.

“Kau….. siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat ia merasa malu-malu.

“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”

Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya, ia cepat meloncat dan berkata,
“Aku harus pulang……!”

Akan tetapi tiba-tiba ia merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.

“Eh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.

Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.
“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”

Gadis itu membuka matanya lebar-lebar.
“Mengapa aku kau larang pulang dan apa maksud dan kehendakmu pula menahanku?”

“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan dan kita bicara dengan tenang.”

Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis ia teringat akan orang tuanya maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.

“Taihiap…… katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku…….? Dengan orang tuaku……..??”

Kun Beng mengerutkan alisnya.
“Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Mari kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”

“Tidak, tidak! lekas kau katakan sekarang juga, atau…… lebih baik aku pulang!”

Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.

“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”

“Ayah dan ibu…..?”

Kun Beng mengangguk perlahan.
“Ayah bundamu tewas dan rumahmu dibakar oleh mereka…..”

Kui Lan semalam mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika ia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk dan memondongnya.

Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.

Untuk menjaga ini pula, ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, agar tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.

Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali dan pemuda ini merawatnya baik-baik.

Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan, namun berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan ia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.

“Makanlah Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu,” katanya halus.

Kui Lan untuk sejenak merasa nanar dan dikumpulkannya ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang telah terjadi. Kemudian ia menangis sambil menutupkan kedua tangan dimukanya, teringat ia akan ayah bundanya yang tewas.

“Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati,” Kun Beng menghibur.

“Aku…… sebatang kara….” Kui lan mengeluh.

“Apa kau kira aku bukan orang?” Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, maksudnya hanya untuk menghibur.

Kui Lan bangun duduk, akan tetapi meramkan mata karena pusing. Kun Beng cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.

“Minumlah bubur ini dulu.”

Tanpa membuka matanya, Kui Lan makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Habislah bubur hangat itu dan ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang berlutut di dekatnya.

“Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?”

“Kau terkena demam, selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari hanya mengigau saja,” kata Kun Beng tersenyum. “Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali.”

“Tiga hari? Dan selama itu….. kau telah menjaga dan merawatku di sini?”






Tidak ada komentar :