*

*

Ads

Sabtu, 02 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 123

Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.

“Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan.”

“Ahh…. The-taihiap…. kau baik sekali…” kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa dalam penderitaannya yang hebat, ia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.

“Hushh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu,” kata Kun Beng sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat.
“Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?”

Mata gadis itu memandang tajam dan kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda dan membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.

“Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu…….”

“Taihiap, kau…. kau suka kepadaku?”

Makin merah muka Kun beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi dia maklum gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.

Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?

“Tentu saja, Kui lan. Aku suka sekali padamu,” jawabnya sambil tersenyum manis.

Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika ia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.

“Dan cinta kepadaku?”

Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini lain lagi halnya. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.

Semenjak Kun Beng sudah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng. Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali.

Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biarpun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan mencocoki hatinya setiap gerak-geriknya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?

Akan tetapi, bagimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita hebat ini? Wajahnya yang agak pucat yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ah, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan. Pula, dia hanyalah seorang pemuda yang masih lemah pertahanan imannya menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!

Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suaranya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Ia lalu menubruk pemuda itu dan menyandarkan muka pada dada Kun Beng.

Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi biduk akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!






Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-lari naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa.

Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng (Terbang di Atas Bumi).

Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluargannya. Ketika dia bertanya tentang adik perempuannya, penduduk di dusunnya tidak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala rampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.

“Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana,” demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.

Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biarpun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.

Setalah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun tiba di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya orang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap diantara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!

“Taihiap, sungguh aneh dan lucu kalau kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan dan cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya kau pun yang sudah dapat dikatakan menjadi suamiku, belum mengetahui betul keadaanku…” suara ini terdengar demikian manja dan mesra, dan Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu.

Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sutenya sendiri!

Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.

“Kui lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu.”

“Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini.”

Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira dan berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasa sesuatu sungguhpun tangan kirinya mengelus-elus rambut kepala gadis itu.

“Sayang sekali iblis menggangu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa…. dan kita melakukan pelanggaran yang hebat…. aku menyesal sekali.”

“Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa raga kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku…. aku girang dan bangga dapat menjadi….”

Sebelum Kui Lan mengatakan “istrimu”, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.

“Kui lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatangkara……”

“Aku tidak sebatangkara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?”

“Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatangkara seperti aku pula.”

“Salah!” Kui Lan tertawa kecil. “Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sesunguhnya aku masih mempunyai seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula, Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sia Siangkoan Hai, seorang……”

“Apa katamu ? Siapakah nama kakakmu itu?” Kun Beng bertanya kaget sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.

“Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat.”

“Aduhai, Kui Lan. Mengapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka…….!kukira kau..”

“Kau kira apa, Taihiap?” Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.

“kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan….. dan… kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suhengku, aku takkan….. takkan berani…”

“Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan halmu.”

“Memang suhu melarang kami membicarakan tentang keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku….. aku telah….”

Tiba-tiba terdengar suara di luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.

“Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!”

Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan belum tentu mereka akan sekaget itu. Apalagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata,

“Suheng…”

“Kiat-ko..” keluh Kui lan yang sudah mencucurkan air mata melihat kakaknya itu,”Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu…”

Wajah Swi Kiat menjadi makin muram.
“Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?”

“Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku….. aku cinta padanya. Kiat-ko, kami…. kami saling mencinta…. harap kau ampunkan kami….”

Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia menarik napas panjang lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.

“Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan kepada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!”

Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.
“Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adikmu…. tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu, suhu akan marah sekali.”

“Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!”

Kun Beng menggeleng kepalanya
“Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi…”

“Apa? Kau tidak cinta padanya?”

“Aku…. terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku… aku kasihan dan dia…. dia menderita sakit, kurawat..dan… dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa…”






Tidak ada komentar :