*

*

Ads

Sabtu, 02 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 124

“Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah suteku dan aku akan habiskan perhitungan ini dengan senjata!”

Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-Lo-sian Siang-Koan Hai ini.

“Apa boleh buat, Suheng. Aku….. aku tidak bisa melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula…. aku tidak ingin menjadi suami Kui Lan…”

“Keparat pengecut!”

Swi Kiat cepat menyerang sutenya dengan kipas ditangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apabila mengenai sasaran. Kipas ini di bagian gagang dan rangkanya terbuat daripada gading gajah, sedangkan permukaanya terbuat daripada kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kun Beng cepat mengelak sambil berkata,
“Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, jangan menambah dosaku, jangan menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu….”

Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.

“Kiat-ko… jangan kau serang dia….!”

Kui Lan menjerit sambil menangis. Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, tahulah ia kini bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa sesungguhnya pemuda itu tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan.

Rasa suka yang timbul karena hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni. Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapapun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu takkan mudah hilang begitu saja.

Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san-coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san-koan-jit (Buka kipas menutup matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang-san-hoat.

Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, melainkan menyerang untuk mengarah nyawanya!

“Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!”

Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh suhengnya.

“Mampuslah, bedebah!”

Swi Kiat maju mendesaknya. Karena cepatnya Swi Kiat menyerang kipas maut di tanganya telah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang mengeluh sambil terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.

“Kiat-ko…..! Jangan bunuh dia…!”

Kui lan menubruk kakaknya. Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga sudah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini, dia membalas serangan suhengnya, karena dia merasa telah dilukai.






Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi kiat, akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan membetot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.

“Brett!” baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walaupun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah.

“Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini…..! The-taihiap, cukuplah…. kasihanilah aku….!”

Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya. Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.

Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.

“Kiat-ko…., ayah dan ibu…”

Kui Lan terisak-isak. Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-lari cepat sekali, merupakan bayangan hitam dikala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi.

“Kiat-ko, dia sudah pergi…” kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.

“Aku akan mengejarnya,” kata Swi Kiat.

“Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapapun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimanapun juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng…”

Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sutenya sudah sedemikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan jalan kasar maupun halus dia harus mengusahakan hal itu.

“Aku akan mengejarnya, Kui lan. Jangan khawatir, aku takkan membunuhnya. Andaikata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku sanggup karena kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali kepadamu, suka menjadi suamimu.”

Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelabat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu.

Jangankan Kui Lan yang kepandaianya masih rendah sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.

Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.

“Siapa kau….?” tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.

Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaiannya amat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya maupun dari pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan manapun juga memakai kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.

“Aku bernama An Kong, seorang pangeran,” kata pemuda itu sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. “Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu dan kini kakakmu bermusuhan dengan sutenya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup berbahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!” Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong lalu mengulur tangan menagkap pergelangan tangan Kui Lan.

Kui Lan cepat menarik tangannya, namun terlambat. Pemuda itu gerakkannya cepat sekali dan sebelum ia dapat memberontak, ia diangkat dan dipondong! Kui Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi sebuah totokan yang tepat telah membuat ia tidak kuasa lagi membuka mulut.

Bagaimana pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para pejuang rakyat dan membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah menjadi marah sekali. An Kong adalah putera dari An Lu Kui, dan pemuda ini secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat. Karena dia pun sedang membantu usaha ayahnya berlomba mencari jasa dan kedudukan di kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat.

Hanya dia saja yang sanggup melakukan hal ini, karena An Kong adalah murid dari Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia mengikuti jejak Swi Kiat, tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum akan kelihaian murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih dulu di mana tempat tinggal pemuda itu sehigga dia dapat membawa kawan-kawannya untuk menangkapnya.

Demikianlah, dia mengikuti Swi Kiat terus sampai tiba di pegunungan itu dan secara kebetulan sekali dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong adalah seorang pemuda mata keranjang maka begitu melihat Kui Lan, hatinya menjadi tertarik sekali.

Apalagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui Lan adalah adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini amat baik sekali baginya. Ia dapat menangkap Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan hampir saja Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini kalau saja tidak datang Lu Kwan Cu yang menolongnya.

Semua itu diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas pada apa yang diketahui oleh gadis itu. Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa yang terjadi seluruhnya.

**** 124 ****





Tidak ada komentar :