*

*

Ads

Sabtu, 02 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 125

Cu menarik napas panj ang ketika dia mendengar penuturan itu. Kwan ang ketika dia mendengar penuturan itu.
“Kasihan sekali kau, Kui Lan. Dan terlalu Kun Beng. Tak kusangka dia akan tersesat sejauh itu.”

“Dia tidak tersesat, semua yang terjadi adalah kesalahanku. Aku sudah setengah menduga bahwa dia tidak cinta kepadaku, akan tetapi cinta kasih membuat aku buta dan akulah yang menyeretnya sehingga dia melakukan semua hal atas diriku sebagaimana yang kukehendaki.”

“Begitukah?” tanya Kwan Cu dan diam-diam pemuda itu berdebar hatinya, bukankah Kun Beng itu tunanngan Sui Ceng? Dan sekarang Kun Beng melakukan hal itu kepada Kui Lan, berarti Kun Beng tidak berharga lagi menjadi calon suami Sui Ceng.

“Memang akulah yang bersalah. The-taihiap tidak berdosa, dan aku tidak menyesal. Biarpun dia tidak mau menjadi suamiku, namun aku tetap akan bersetia kepadanya sampai mati.”

Terharu hati Kwan Cu mendengar ucapan ini. Ia mengelus-elus kepala Kui Lan seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya.

“Kau anak baik, Kui Lan. Sayang sekali kau terlalu lemah iman, tidak dapat menguasai hati menolak godaan iblis yang berupa napsu. Akan tetapi, hal itupun buka salahmu karena pada waktu itu, kau baru saja menderita tekanan batin yang hebat sehingga imanmu menjadi lemah.”

Dengan mata basah Kui Lan lalu berkata,
“Taihiap, sukakah kau menolongku mencari mereka itu dan mendamaikan mereka? Kalau sampai mereka saling bermusuhan, baik kakakku atau The-Taihiap yang tewas, aku akan kehilangan orang-orang yang paling kucinta dan kematian seorang di antara mereka akan membawa nyawaku pula.”

Kwan Cu mengangguk-angguk.
“Baiklah, Kui Lan. Mereka itupun sahabat-sahabatku, kalau aku dapat menemukan mereka, tentu akan kuusahakan sedapat mungkin untuk mencegah mereka saling membunuh.”

“Terimakasih, Lu-taihiap, terima kasih. Budimu takan kulupakan selama hidupku.”

Kwan Cu tersenyum.
“Kau memang anak baik dan perasaanmu halus sekali. Aku pun seorang yang hidup sebatangkara, biarlah kau kuanggap adikku sendiri.”

Bukan main girangnya hati Kui Lan mendengar ini.
“Terimakasih kepada Thian bahwa kau telah tergerak hatimu untuk menolongku, Koko yang baik. Tadinya aku sudah bingung sekali kemana aku harus pergi dalam keadaan seorang diri ini, akan tetapi setelah kau mengangkatku sebagai adikmu, aku tidak khawatir lagi karena kau tentu akan membawaku kemanapun kau pergi.”

Kwan Cu tertegun. Berdiri seperti patung tak mengeluarkan kata-kata lagi. Gadis ini cerdik sekali dan dapat mempergunakan kesempatan dengan amat cepatnya. Hal itu tak pernah disangka-sangkanya dan dia merasa betul, sebagai adiknya, Kui Lan tentu akan ikut dengan dia, atau setidaknya dia harus dapat mencarikan tempat yang layak bagi Kui Lan!

“Kui Lan, kau seorang gadis dan kepandainmu juga belum cukup, mana bisa melakukan perjalanan jauh yang masih tidak ada ketentuan tujuannya?”

“Dengan kau di sampingku, aku takut apakah?” kata Kui Lan sambil tersenyum.

“Tentu saja aku akan melindungimu, akan tetapi kalau kita melakukan perantauan bersama, akan menimbulkan tiga macam kerugian.”

“Kerugian? Coba sebutkan apa itu!” Kui Lan berkata dengan muka cemberut, akan tetapi bahkan menambah kemanisannya.

“Pertama akan mendatangkan kesan buruk karena orang-orang akan menganggap tidak pantas seorang gadis melakukan perantauan bersama seorang pemuda.”

“He, bukankah kau ini kakakku sendiri? apanya yang tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan bersama kakaknya?”

“Kui Lan, pandangan mata dan pendengaran telinga orang-orang kang-ouw amat tajam, mereka akan tahu bahwa kita bukanlah saudara kandung dan tentu akan timbul sangkaan yang tidak-tidak yang kesemuanya hanya akan merusak nama baik kita. Hal yang kedua, kalau kau ikut aku, perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat dan bagaimana aku dapat menyusul mereka? Ke tiga, andaikata tersusul, dan kau berada di dekatku, tentu mereka akan naik darah karena kau yang menjadi pokok pertentangan mereka. Maka lebih baik kau jangan terlihat oleh mereka.”






Menghadapi alasan-alasan yang amat kuat ini, Kui lan menghela napas dan mengangkat pundak, katanya tak berdaya,

“Habis, apakah kau mau meninggalkan aku seorang diri di hutan ini?”

“Tentu saja tidak, adik Kui Lan. Aku mengenal sebuah tempat yang amat cocok bagimu, di mana kau boleh tinggal dengan hati tentram dan aku dapat meninggalkan engkau dengan tenang pula. Kau boleh tinggal di tempat itu dengan aman sampai aku dapat menemukan Swi Kiat dan Kun Beng.”

“Di mana tempat itu?”

Kui Lan ragu-ragu karena pada dewasa itu agaknya tak mungkin mendapatkan tempat yang aman bagi seorang gadis muda seperti dia, yang sudah banyak mengalami ganguan-ganguan dari orang jahat.

“Di dusun Kau-Ling sebelah utara kota Tan-Shan ada sebuah Kwan-im-bio (Kelenteng Dewi Kwan Im) yang besar dan para nikouw (pendeta wanita) yang berada di situ terkenal sebagai pendeta pendeta yang saleh beribadah. Kau boleh tinggal di sana untuk sementara waktu dengan hati aman dan tentram.”

Kui Lan mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya, maka berangkatlah dua orang muda ini menuju ke kota Tan-shan yang letaknya di sebelah timur laut dari kota raja.

Menurut pendapat Kui lan, mereka telah melakukan perjalanan cepat sekali karena gadis ini sepanjang jalan telah mempergunakan ilmu lari cepat yang pernah ia pelajari dari ayahnya. Akan tetapi tidak demikian menurut anggapan Kwan Cu. Kalau pemuda ini tidak melakukan perjalanan bersama Kui Lan, dalam waktu satu hari saja dia tentu akan sampai di dusun Kau-ling. Sekarang bersama Kui Lan, dalam waktu lima hari barulah mereka tiba di dusun itu dan langsung menuju Kwan-im-bio.

“Taihiap datang……!” seru beberapa orang nikouw yang kebetulan berada di pekarangan depan kuil itu untuk melakukan tugas menyapu dan lain-lain.

Agaknya mereka merasa gembira sekali melihat kedatangan pemuda ini dan tahulah Kui Lan bahwa Kwan Cu telah dikenal baik oleh semua nikouw yang sudah tua-tua itu.

“Selamat datang, Taihiap. Kebetulan sekali Taihiap berkenan mengunjungi tempat kami karena kedatangan Taihiap memang amat diperlukan,” kata seorang nikouw tua yang pekerjaannya sebagai nikouw penyambut tamu.

“Ada terjadi apakah, suthai? Dan di mana Ngo Lian Suthai? Teecu mohon bertemu dengan beliau,” kata Kwan Cu.

“Ngo Lian Suthai terluka oleh Luan-ho Oei-Lioang (Naga Kuning dari Sungai Luan) dan keadaannya payah.”

Kwan Cu terkejut sekali.
“Suthai maksudkan Luan-ho Oei-Liong si bajak laut yang merajalela di sungai Luan-ho?”

Kwan Cu memang pernah mendengar nama ini dan biarpun dia belum pernah bertemu dengan orangnya, namun sudah lama dia mempunyai niat untuk memberi hajaran kepada bajak yang dikabarkan orang amat ganas ini.

“Benar dia, Taihiap.”

“Akan tetapi mengapa demikian? Apakah Ngo Lian Suthai melakukan pelayaran di Sungai Luan?”

Nikouw tua itu menggeleng kepalanya yang gundul halus.
“Marilah kita duduk di ruang tamu, Taihiap. Di sana kita akan bicara dengan leluasa.”

“Perkenankan teecu (murid) menjumpai Ngo Lian Suthai sendiri agar teecu mendapat keterangan lebih jelas.”

“Menyesal sekali, Taihiap. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Ngo Lian Suthai tidak boleh banyak bicara dan bergerak. Beliau harus istirahat. tentu saja kau boleh bertemu dengan Ngo Lian Suthai, akan tetapi tidak baik kalau mengajaknya bercakap-cakap. Hal itu akan mengganggu kesehatannya.”

Terpaksa Kwan Cu membenarkan pendapat ini dan dengan menggandeng tangan Kui Lan, dia mengikuti nikouw itu ke ruang tamu.

“Siapakah Siocia ini, Taihiap?”

Nikouw tua itu bertanya sambil memandang kepada Kui Lan dengan sepasang matanya yang bening.

“Dia ini adalah Gouw Kui Lan adik angkatku. justru kedatanganku ini untuk minta pertolongan Ngo Lian Suthai agar suka menerima adikku sementara waktu tinggal di sini.”

“Tentu saja boleh, Taihiap. Jangan khawatir, Nona, kau boleh tinggal disini seperti di dalam rumahmu sendiri.”

“Terima kasih, Suthai, Tentu saja sambil menanti datangnya saudaraku, aku akan membantu pekerjaan yang dapat kulakukan di dalam bio ini,” kata Kui Lan sambil memandang ke sekeliling.

Tempat itu memang menyenangkangkan sekali, selain bersih, juga dikelilingi oleh tanaman bunga, nampaknya aman dan penuh kedamaian.

“Sekarang ceritakanlah, Suthai. Apa yang terjadi dengan Ngo Lian Suthai?”

Nikouw tua itu lalu menuturkan apa yang telah terjadi lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu dan Kui Lan tiba di depan kuil itu.

Ngo Lian Suthai adalah nikouw berusia enam puluh tahun yang menjadi ketua dari Kwan-im-bio. Selain seseorang ahli batin yang patuh akan semua isi kitab dari Dewi Kwan Im, juga Ngo Lian Suthai memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, karena dia adalah murid dari Bu-tong-pai.

Lebih dari dua puluh tahun Ngo Lian Suthai memimpin para nikouw di Kwan-im-bio itu dan selama itu, kuil menjadi lebih terkenal dan mendapatkan banyak penyumbang. Kuil itu dibangun sehingga merupakan kuil terbesar di daerah utara. Selain perabot-perabot yang berada dalam kuil terdiri dari barang-barang berharga sumbangan para penderma, juga di situ terdapat patung-patung yang sukar didapat, di antaranya terdapat sebuah patung setengah badan yang amat besar. Tinggi patung itu sama dengan tinggi seorang manusia biasa akan tetapi karena hanya setengah badan, maka ukuran badannya dua kali lebih besar dari ukuran badan manusia.

Patung itu terbuat daripada perunggu dan indah sekali. Hanya bentuknya amat menyeramkan, karena biarpun dia merupakan sebuah patung pendeta laki-laki yang berpakaian sebagai pendeta biasa, namun di kepalanya terdapat sepasang tanduk seperti tanduk kerbau dan mulutnya bercaling seperti mulut babi!

Jarang ada orang yang mengerti apakah arti patung ini dan patung dewa atau iblis manakah gerangan. Akan tetapi Ngo Lian Suthai yang mendapatkan dan membawa patung itu dapat menceritakan dengan jelas.

Patung ini dibuat oleh seorang pendeta Budha yang pandai, dan arti daripada patung ini adalah untuk menggambarkan betapa pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang mengaku pendeta dan berpakaian seperti pendeta, namun sebenarnya masih mempunyai akhlak yang bejat. Oleh karena itu, untuk menyindir bahwa kepala pendeta macam itu masih terisi pikiran-pikiran busuk, maka kepala patung di tumbuhi sepasang tanduk, dan karena banyak di antara pendeta itu mengeluarkan kata-kata yang tidak selayaknya seorang suci pada mulut patung itu dipasangi caling!

Jadi singkatnya patung itu adalah untuk memperingatkan kepada para pendeta atau orang yang menganut penghidupan suci, agar supaya digunduli dan jubahnya merupakan jubah pendeta, namun isi hati dan pikirannnya masih kotor.

Patung yang amat indah dan sukar didapat ini oleh Ngo Lian Suthai ditaruh di ruang tengah sehingga setiap anak muridnya dapat melihatnya tiap hari, merupakan patung peringatan yang mengerikan hati setiap muridnya.

Pada suatu hari, lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu datang, di dalam bio kedatangan seorang tamu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning yang membawa golok besar terselip di punggungnya. Laki-laki itu sikapnya kasar sekali, akan tetapi nikouw itu menyambutnya, karena mengira bahwa orang itu hendak bersembahyang minta berkah dari Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im, yakni Dewi Welas Asih).

“Di mana Ngo Lian Suthai? Aku hendak bicara dengan dia!” Laki-laki tinggi besar itu berkata dengan kasar dan matanya jelalatan ke dalam.






Tidak ada komentar :