*

*

Ads

Selasa, 05 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 126

“Congsu siapakah dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan Ngo Lian Suthai?” tanya nikouw tua penyambut itu.

“Beritahukan bahwa Luan-ho Oei-Liong datang hendak bertemu,” kata laki-laki itu.

Mendengar nama kepala bajak ini, terkejutlah nikouw tua itu.
“Baik-baik, silahkan Congsu duduk menanti sebentar, pinni (aku) akan melaporkan kepada Ngo Lian Suthai,” katanya dan cepat-cepat masuk ke belakang untuk melaporkan hal itu kepada ketuanya.

Akan tetapi Luan-ho Oei-Liong tidak sabar lagi. Ia segera bertindak masuk ke ruang tengah dimana terdapat patung besar dari perunggu itu sambil tersenyum puas dia lalu mengangkat patung itu dengan kedua tangannya, terus diangkat keluar dan diletakkan di ruang tamu.

Semua nikouw yang melihat itu menjadi gempar. Mereka tidak berani mencegah, apalagi setelah melihat betapa dengan mudahnya laki-laki kasar itu mengangkat dan memindahkan patung. Patung itu beratnya hampir seribu kati dan selain Ngo Lian Suthai, tidak ada yang kuat mengangkatnya.

Tak lama kemudian, dari dalam keluarlah seorang nenek yang berpakaian pendeta serba putih, memegang sebatang tongkat hitam yang panjang dan kecil. Nenek ini gerak-geriknya lemah-lembut, demikian pula wajahnya membayangkan sifat yang mulia akan tetapi sepasang matanya amat berpengaruh. Ketika ia melirik ke arah patung perunggu yang sudah berdiri di ruang tamu, ia menggerakkan alisnya yang sudah hampir putih itu dan memandang Luan-ho Oei-liong.

“Congsu, pinni telah keluar, ceritakan apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula kau memindahkan patung itu?”

Melihat sikap yang halus dan sinar mata yang berpengaruh itu, Luan-ho Oei-liong yang bermuka kuning berubah sikapnya, tidak sekasar tadi dan dia menjura memberi hormat.

“Ngo Lian Suthai, telah lama siauwte mendengar namamu yang besar sebagai seorang gagah yang berhati mulia dan pemurah. Oleh karena itu, hari ini aku sengaja datang untuk memberi hormat dan untuk mohon pertolonganmu.”

“Pertolongan apakah yang dapat diberikan oleh pinni yang tua dan lemah ini kepada Congsu yang muda dan gagah perkasa?”

“Hanya pertolongan sedikit saja, Suthai, yakni harap Suthai memberikan patung perunggu ini kepadaku, atau kalau Suthai berkeberatan aku bersedia membelinya,” jawab kepala bajak itu sambil menunjuk ke arah patung yang berdiri di ruang itu.

Ngo Lian Suthai nampak heran sekali,
”Patung ini? Untuk apakah kau membutuhkan patung ini, Congsu?”

“Terus terang saja, Ngo Lian Suthai patung ini hendak kupergunakan untuk tumbal dan jimat penunggu perahu sehingga pengaruh jahat akan merasa takut untuk menggangu kami. Pendeknya, patung ini akan kami sembah sebagai juru pelindung keselamatan.”

Ngo Lian Suthai mengerutkan keningnya.
“Salah sekali, Congsu. Patung ini adalah lambang kejahatan dan kepalsuan, tidak seharusnya dipuja-puja. Maaf, untuk keperluan itu terpaksa pinni tidak dapat memberikan patung ini kepadamu.”

Berubah air muka kepala bajak itu mendengar ucapan ini, akan tetapi dia masih tersenyum menyeringai.

“Sebetulnya keinginan memiliki patung ini atas desakan adikku perempuan Sin-jiu Siang-kiam (Sepasang Pedang Tangan sakti) yang bernama Oei Hwa. Dialah yang selalu merasa khawatir akan marabahaya yang dapat menimpa kami, maka mendesak agar supaya aku datang kesini minta atau membeli patung ini, Suthai. Harap kau orang tua suka mengalah dan menolong kami.”

Ngo Lian Suthai tentu saja sudah mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa, nama seorang gadis cantik jelita akan tetapi berwatak seperti siluman, yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi, lebih tinggi dari Luan-ho Oei-liong, kakaknya. Maka ucapan kepala bajak tadi boleh dibilang selain memperkenalkan adiknya, juga merupakan ancaman halus. Namun pendeta wanita itu tidak merasa gentar karena hatinya sudah bersih dari perbuatan menyeleweng, maka rasa takut pun lenyap dari lubuk hatinya.

“Menyesal sakali, Congsu. Patung ini buatan sucouw (kakek guru) yang membuatnya dengan maksud membuat peringatan kepada mereka yang menyeleweng daripada garis-garis kehidupan manusia sesuai kehendak Thian. Pinni amat membutuhkan untuk memberi peringatan kepada murid pinni khususnya dan masyarakat umumnya.”






“Ngo Lian Suthai, kalau begitu percuma saja kau berjubah pendeta dan memakai nama sebagai orang suci!” tiba-tiba Luan-ho Oei-liong berkata marah. Sudah habis kesabarannya.

“Dengan alasan yang mana kau dapat berkata begitu, Congsu?” Ngo Lian Suthai masih bersikap tenang, sabar dan bibirnya tersenyum ramah.

“Kau berpura-pura menjadi orang suci, akan tetapi masih pelit dan kikir. Jangankan menolong orang lain, memberikan patung yang bahkan akan kubeli saja kau tidak rela! Mana sifat-sifat kesucianmu?”

Ngo Lian Suthai mengeleng-gelengkan kepala dan berkata sungguh-sungguh.
“Congsu, tidak ada manusia yang benar-benar suci, kalau pun ada yang mengaku suci, itu hanya pura-pura dan bohong belaka. Pinni sendiri seorang manusia berdosa yang berusaha untuk memperbaiki diri dan menjauhkan segala macam nafsu keduniaan. Memberi itu sifatnya bermacam-macam, demikianpun menolong. Pemberian atau pertolongan yang mendatangkan keburukan, apalagi mendatangkan kejahatan dan penyelewengan, bukanlah pertolongan atau pemberian lagi namanya. Patung ini lambang kejahatan, seharusnya dianggap sebagai peringatan bukan untuk dipuja-puja. Kalau pinni memberikan kepadamu untuk kau puja-puja, hal itu berarti bahwa pinni bahkan menolong kau berbuat sesat. Dan ini adalah dosa besar, Congsu. Kewajiban pinni bukan menolong manusia menjadi sesat, sebaliknya bahkan mengulur tangan untuk mencegah mereka berbuat keliru dalam hidupnya. Sekali lagi menyesal sekali, pinni tidak dapat memberikan patung ini.”

“Biarpun dibeli mahal?” Luan-ho Oei-liong mendesak sambil bangkit berdiri dari bangkunya.

“Patung ini hanya dapat dibeli dengan budi pekerti yang baik dan kesadaran. Kalau Congsu sudah sadar betul dan dapat memperbedakan baik dan buruk, mengejar kebajikan meninggalkan kejahatan, barulah patung ini patut kau bawa agar kau selalu ingat betapa buruknya kejahatan dan kepalsuan seperti digambarkan pada diri patung ini.”

Merah sekali wajah kepala bajak yang berkulit muka kuning itu. Ia mencabut goloknya dan membentak,

“Nikouw tua bangka yang sombong dan bosan hidup. Kalau begitu hendak kubeli dengan golokku!”

Setelah berkata demikian, Luan-ho Oei-liong lalu menyerang nenek tua itu dengan goloknya, disabetnya ke arah leher! Memang kepala bajak ini sudah mendengar bahwa nenek itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka dia mendahului menyerangnya.

“Omitohud, untuk membasmi kejahatan, terpaksa pinni melayanimu, Luan-ho Oei-liong!” kata nikouw tua itu yang cepat mengangkat tongkatnya menangkis sambaran golok itu.

Ngo Lian Suthai adalah ahli lweekang, akan tetapi ketika ia menangkis sambaran golok, ia merasa tanggannya gemetar. Ia telah tua sekali dan selama menjadi kepala nikouw di Kwan-im-bio, ia tidak pernah bertempur dan hanya melatih ilmu silat untuk menjaga kesehatan jasmani saja. Maka tenaganya banyak berkurang dan memang tenaga dari bajak laut itu besar sekali.

Para nikouw yang berada di situ tak seorang pun berani maju karena mereka maklum bahwa kepandaian bajak laut itu hebat sekali, jauh melebihi kepandaian mereka yang tidak seberapa.

Akan tetapi Ngo Lian Suthai memang patut dipuji. Biarpun sudah amat tua, ia masih gesit dan tongkatnya merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembus. Kepala bajak itu menjadi penasaran dan gemas, goloknya diputar makin cepat dan serangan yang dilakukan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Kalau saja pertempuran itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, belum tentu Luan-ho Oei-liong dapat menahan nikouw ini. Akan tetapi sekarang nikouw itu sudah kehabisan tenaga dan hanya dapat bertarung sampai tiga puluh jurus.

Ia mulai lemah dan setiap kali menangkis serangan, tongkatnya terpental ke belakang. Akhirnya, kepala bajak laut itu berhasil membacok ke arah pundak kiri, akan tetapi dia membalikkan goloknya sehingga bagian yang tidak tajam yang memukul pundak. Namun pukulan itu bahkan lebih hebat akibatnya, karena tidak saja meremukkan tulang pundaknya, juga mendatangkan luka di dalam dada! Ngo Lian Suthai terguling dan pingsan.

“Ha, ha, ha, Ngo Lian Suthai, kau mencari penyakit sendiri. baiknya aku Luan-ho Oei-liong bukanlah orang yang kejam. Kalau aku mempergunakan mata golokku, bukankah tubuhmu sudah putus menjadi dua?”

Sambil berkata demikian, kepala bajak ini menyambar patung perunggu dan dibawanya lari keluar dari bio.

Para nikouw sibuk mengangkat ketua mereka ke dalam kamar untuk dirawat lukanya. Namun luka itu parah sekali sehingga setelah siuman, Ngo Lian Suthai tak dapat bangun dan dengan suara tenang dan perlahan nikouw tua itu menyatakan bahwa nyawanya takkan dapat ditolong lagi.

“Paling lama aku akan dapat bertahan sampai satu bulan,” katanya sambil tersenyum. “Hal ini tidak mengapa, hanya sayang sekali patung itu akan tersenyum dan setan yang menjadi penghuni di dalamnya akan bersorak kemenangan karena dia dipuja-puja oleh manusia-manusia sesat.”

Demikian peristiwa yang diceritakan oleh nikouw tua penyambut tamu kepada Kwan Cu. Pemuda ini menjadi marah sekali, kemudian dia mendapat perkenan untuk menemui Ngo Lian Suthai di dalam kamarnya.

Pendeta wanita yang sudah tua itu nampak berbaring di atas dipan sederhana dan pundaknya di balut. Mukanya pucat sekali dan tubuhnya lemah, akan tetapi begitu melihat Kwan Cu, ia tersenyum dan mengangkat tangan memberi salam.

“Ah, Lu-taihiap, kau datang? Kau baik-baik saja, bukan?”

Kwan Cu terharu. Ia telah mengenal nenek ini ketika dia melakukan perjalanan melewati dusun ini dan mampir karena tertarik akan keharuman nama Kwan-im-bio dan nama Ngo Lian Suthai yang dihormati banyak orang banyak.

Sekali pandang saja Kwan Cu dapat melihat bahwa nenek itu mengalami luka hebat di dalam dadanya dan tak dapat ditolong pula, kecuali kalau di situ ada Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat.

“Teecu menyesal sekali mendengar malapetaka yang menimpa diri Suthai.” kata Kwan Cu.

“Bukan malapetaka, orang muda. Segala sesuatu yang telah ditentukan Thian pasti akan terjadi, kita tak mampu menolak atau menawarnya. Kau datang dengan siapa?” tanya nenek itu sambil memandang ke arah Kui Lan.

Nona itu lalu maju dan berlutut, sedangkan Kwan Cu memperkenalkan,
“Nona ini adalah Gouw Kui Lan, adik angkat teecu. Kedatangan teecu ini pun hendak mohon pertolongan Suthai agar sudi menerima Kui Lan tinggal untuk sementara waktu disini, sampai teecu dapat menemukan kakaknya.”

“Boleh, boleh, jangan khawatir. Tinggalkan dia di sini, tentu akan kami jaga baik-baik. Akan tetapi, kalau kau hendak pergi Taihiap, dapatkah kau menolongku mencari Luan-ho Oei-liong di Sungai Luan-ho?”

“Untuk membalaskan sakit hati Suthai padanya? Teecu tentu akan mencari dia dan menghajarnya!” kata Kwan Cu gemas.

“Bukan begitu, Taihiap. Pinni tidak merasa sakit hati kepada siapapun juga. Yang penting adalah patung itu hendaknya kau suka merampasnya kembali. Mata biasa tak dapat melihatnya, akan tetapi pinni tahu bahwa patung itu telah dijadikan tempat tinggal pengaruh jahat atau boleh disebut siluman. Oleh karena itulah maka pinni tidak menghendaki patung itu terjatuh kedalam tangan orang lain, apalagi orang-orang yang sesat. Hal ini akan menimbulkan bahaya dan kejahatan akan merajalela. Kalau sudah terkejar olehmu hancurkan saja patung itu.”

“Baiklah, Suthai. Teecu akan pergi mencari Luan-ho Oei-liong untuk memenuhi perintah Suthai.”

Nenek itu menarik napas lega. Adapun Kui Lan lalu maju kedepan dan berkata lembut,
“Suthai, dalam keadaan seperti ini, amat tidak baik kalau Suthai terlalu banyak bicara. Biarkan teecu merawat dan menjaga Suthai.”

Ngo Lian Suthai tersenyum dan memegang lengan gadis itu, lalu melirik ke arah Kwan Cu.

“Lu-Taihiap, terimakasih kau sudah membawa anak baik ini ke sini. Ternyata ia akan merupakan perawat yang berhati mulia.”

Kwan Cu merasa bahwa dia sudah terlalu lama mengganggu nenek itu, maka dia lalu bermohon diri dan berpesan kepada Kui Lan agar hati-hati tinggal di tempat itu, menanti sampai dia dapat menemukan Swi Kiat.

Kemudian pemuda itu meninggalkan Kwan-im-bio dan cepat menuju ke utara karena terlebih dahulu, sebelum mencari Swi Kiat dan Kun Beng, dia hendak memenuhi permintaan Ngo Lian Suthai, yakni mencari kepala bajak dan merampas kembali patung setan itu.

**** 126 ****





Tidak ada komentar :