*

*

Ads

Selasa, 05 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 127

Sungai Luan-ho setelah melewati kota Ceng-tek dan mendekati laut, menjadi makin lebar dan besar. Ada bagian-bagian yang merupakan sungai besar sekali sehingga pantai di seberang nampak amat jauh, seakan-akan samudera kecil saja.

Perahu-perahu nelayan nampak di sana-sini, akan tetapi itu hanyalah perahu-perahu nelayan miskin tanpa layar. Ada pula yang mempunyai layar, akan tetapi layar yang butut dan penuh tambalan. Mereka ini boleh berlayar dengan hati tenang, akan tetapi tidak ada perahu besar para saudagar berani melintasi daerah ini, karena nama Luan-ho Oei-liong sudah amat terkenal.

Kalaupun ada yang melintas, tentulah perahu-perahu saudagar yang sudah mendapat izin dari kepala bajak laut itu, setelah membayar uang “pajak!” Di bagian timur dekat laut, memang terdapat banyak sekali perahu-perahu basar para saudagar dan dari penghasilan memunggut “pajak” inilah Luan-ho Oei-liong menjadi kaya raya. Siapa tidak mau membayar pajak, tentu kapalnya akan dirampok habis-habisan.

Semua nelayan memandang kepada Kwan Cu dengan mata kaget dan takut ketika pemuda ini bertanya dimana dia dapat bertemu dengan bajak air Luan-ho Oei-liong. Mereka mengira bahwa pemuda ini adalah sahabat bajak itu dan tentu saja seorang penjahat. Akan tetapi Kwan Cu tersenyum melihat salah sangka ini dan berkata,

“Kawan-kawan harap jangan salah lihat. Aku bukan sahabat kepala bajak itu, melainkan seorang yang mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan dia. Tunjukkan saja di mana tempat tinggalnya agar aku dapat menjumpainya.”

Biarpun merasa amat heran, namun semua nelayan tahu belaka dimana orang dapat bertemu dengan kepala bajak yang menjadi raja Sungai Luan-ho itu.

“Congsu harap menurutkan aliran air sungai ini dan setelah melalui kota Ceng-tek, di dalam hutan-hutan pohon pek kiranya Congsu akan dapat bertemu dengannya. Kalau dia tidak berada di darat dalam hutan itu, tentulah dia berada di perahunya dan sedang berlayar,” kata seorang diantara mereka.

Kwan Cu mengucapkan terima kasih dan segera melanjutkan perjalanan menurutkan aliran air sungai. Benar saja, di dalam hutan yang besar di mana sungai itu mengalir terdapat rumah-rumah para bajak air yang merupakan sebuah pedusunan kecil. Para bajak menyambut Kwan Cu dengan pandangan curiga.

“Mengapa kau mencari ketua kami?” tanya seorang diantara mereka.

“Aku datang untuk membayar pajak kepadanya,” jawab Kwan Cu sambil tersenyum. “Karena aku utusan para saudagar di kota raja yang hendak mengirim barang melalui sungai Luan-ho, tentu saja untuk hubungan pertama kali ini aku harus bertemu dengan dia sendiri.”

Para bajak itu memang telah dipesan kepalanya bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu para pembayar pajak yang bahkan harus dilindungi, maka mendengar bahwa Kwan Cu adalah “langganan” baru segera mereka memberi keterangan.

“Ketua kami sedang berada di perahunya, di sebelah timur hutan ini. Akan tetapi beliau sibuk dan pada waktu sekarang kiranya akan marah kalau ada orang mengganggunya.”

“Aku tidak mengganggunya, bahkan mendatangkankan keuntungan baginya. Tak mungkin dia akan marah,” kata Kwan Cu tersenyum. “Kalau kalian takut mengantarku, berilah pinjam sebuah sampan dan aku akan menjumpainya sendiri.”

Para bajak itu melihat Kwan Cu hanya seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak membawa senjata, tidak bercuriga apa-apa, bahkan lalu menggeluarkan sebuah sampan berikut dayungnya untuk dipinjamkan kepada Kwan Cu. Tentu saja untuk ini Kwan Cu harus lebih dulu mengeluarkan sepotong uang emas sebagai hadiahnya.

Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Kwan Cu mendayung perahunya dengan tenaga biasa. Akan tetapi setelah perahunya dibantu oleh aliran air meninggalkan hutan-hutan itu jauh di belakangnya, dia mendayung cepat sekali dan tak lama kemudian sampailah perahunya di bagian sungai yang airnya melimpah-limpah dan amat lebarnya, seperti samudera kecil. Dan di tengah-tengah samudera kecil itu dia melihat kapal-kapal atau perahu-perahu besar dengan layar hitam. Itulah tandanya dari perahu bajak sungai!

Jauh di utara, di kaki langit, nampak mega putih menjulang tinggi seperti uap dari kawah berapi. Sinar senja mendatangkan pemandangan yang amat indahnya dan air sungai mengalir tenang.

Kwan Cu tertarik oleh sebuah perahu yang paling besar dan dicat paling mewah di antara perahu-perahu yang nampak layar hitamnya di sana-sini. Ke arah perahu besar inilah dia mendayung biduknya.






Ia mendayung perahunya dari sebelah kanan perahu besar itu dan perahu itu sedemikian besarnya sehingga dia tidak melihat adanya lain sampan yang datang dari kiri perahu, yang didayung oleh seorang gadis dengan kecepatan luar biasa pula.

Yang mendebarkan hati Kwan Cu adalah sebuah patung besar sekali, dari perunggu, yang berdiri di atas perahu dengan megahnya. Tak salah lagi, itulah patung yang dirampas dari kuil Kwan-im-bio!

Dengan gerakan lincah Kwan Cu melompat ke arah perahu besar, sedikitpun tidak menimbulkan goncangan pada perahu itu. Hal ini sudah menunjukkan betapa tinggi ginkangnya, sungguh kepandaian yang dimiliki ahli-ahli silat tinggi di masa itu.

Dengan hati tertarik Kwan Cu mendekati patung itu. Di atas perahu sunyi saja dan ada terdengar suara perlahan dari percakapan orang yang agaknya berada di dalam bilik di atas perahu itu.

Patung itu memang hebat. Terbuat dari pada perunggu dan ukiranya halus sekali. Sepasang mata dan tanduknya merah dan seakan-akan mata itu mengeluarkan sinar yang ganjil. Mengingat kata-kata Ngo Lian Suthai bahwa di dalam patung ini tersembunyi pengaruh jahat, Kwan Cu bergidik.

Tiba-tiba perahu bergoncang sedikit dan ketika Kwan Cu menoleh, dia melihat seorang gadis yang cantik jelita telah berdiri di belakangnya. Gadis ini sikapnya gagah sekali, bertubuh langsing padat dan usianya paling banyak baru delapan belas tahun.

“Hm, tentu inilah Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa adik dari kepala bajak itu,” pikir Kwan Cu ketika melihat gadis itu membawa sepasang pedang yang gagangnya kelihatan tersembul di balik punggungnya.

Sebaliknya, gadis yang baru saja lompat naik dari sampan itu, terkejut melihat Kwan Cu. Akan tetapi ia segera membentak,

“Maling-dina, kau boleh mampus lebih dulu!”

Kata-kata itu disusul oleh tonjokan tangannya yang kecil mungil, menuju ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini cepat-cepat mengelak dan diam-diam dia kagum sekali karena pukulan itu mendatangkan angin pukulan yang antep dan berbahaya. Hm, lihai sekali, pikirannya. Pukulan tadi membuktikan adanya tenaga lweekang yang tak boleh dipandang ringan.

Sebaliknya ketika gadis tadi melihat cara Kwan Cu mengelak, dia tertegun. Elakan itu demikian cepat dan mudah, sewajarnya seakan-akan orang menghadapi pukulan biasa saja. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu sepasang pedang telah di tangannya.Tanpa banyak cakap lagi gadis itu lalu menyerang Kwan Cu dengan sepasang pedangnya.

Melihat gerakan pedang ini, Kwan Cu makin heran. Bukan ilmu pedang biasa saja, pikirnya.Cepat, kuat dan ganas sekali. Gerakan ini mengigatkan dia akan ilmu silat dari tokoh-tokoh besar di kalangan Kang-ouw, tingkatnya tidak kalah oleh ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai sendiri!

Murid siapakah wanita ini? ia cepat mengelak dan untuk mengimbangi serangan-serangan gadis itu, dia lalu mengeluarkan ilmunya yang didapat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Terjadilah keanehan, Im-yang Bu-tek Cin-keng memang hebat, begitu Kwan Cu mainkan ilmunya ini, semua gerakan-gerakan silat lawanya dapat ditiru dan dimainkan sama baiknya!

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget dan membelalakkan mata dengan amat heran.
“Keparat, mengapa kau meniru-niru gerakan orang?” bentaknya dengan suaranya yang halus, akan tetapi ia tidak mengendurkan serangan-serangannya.

Kwan Cu yang memperhatikan wajah gadis itu setelah kini mendengarkan suaranya untuk kedua kalinya, menjadi berdebar hatinya. Mungkinkah? Tak salah lagi, inilah wajah Bun Sui Ceng! Ia ingat betul wajah itu, sama benar dengan wajah yang diimpikan, dan ilmu pedang yang dimainkannya ini memang tepat kalau diturunkan oleh Kiu-Bwe Coa-Li, wanita sakti itu!

Pada saat gadis itu masih menyerang dan mencoba mendesak Kwan Cu dengan sepasang pedangnya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang wanita.

“Siapa berani main gila di perahuku? Apakah belum mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa?” Bentakan ini disusul oleh keluarnya seorang gadis dari pintu bilik.

Gadis itu otomatis menghentikan serangannya dan Kwan Cu menoleh ke arah pintu. Ia melihat seorang gadis yang bertubuh langsing dan hampir sama dengan tubuh gadis yang menyerangnya. Juga gadis yang baru muncul ini memegang sepasang pedang, akan tetapi pedangnya itu berwarna dua macam. Yang kiri putih dan yang kanan hitam. Wajahnya cantik sekali, pakaiannya mewah dan bedanya dengan gadis yang tadi menyerang Kwan Cu adalah sikap yang sangat genit dari gadis yang muncul dari pintu ini. Matanya menggerling tajam penuh gairah pada Kwan Cu, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi ketika ia mengerling kearah gadis yang menyerang Kwan Cu, sinar matanya berapi-api dan bibirnya cemberut.

Dari belakang Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa ini muncul seorang laki-laki pula, seorang laki-laki tinggi besar yang berkulit muka kuning. Menjadi kebalikan dari sikap Oei Hwa, laki-laki ini memandang kepada gadis penyerang Kwan Cu tadi dengan mata kagum dan kurang ajar sebaliknya memandang kepada Kwan Cu dengan marah.

“Kau siapakah, berani lancang naik keperahu Luan-ho Oei Liong? Apakah kau sudah tidak menyayangi kepalamu lagi?” tanyanya sambil menudingkan jari telunjuknya kepada Kwan Cu.

Pertanyaan yang diajukan oleh Oei Liong ini membuat gadis yang baru saja menyerang Kwan Cu itu menjadi kaget dan ia menoleh memandang ke arah Kwan Cu dengan bingung. Ternyata bahwa pemuda ini bukan anggota bajak jadi siapakah gerangan pemuda tampan yang kelihatan bodoh akan tetapi telah berhasil mengelak dari seranggan-seranggan pedangnya ini?

Adapun Oei Hwa yang memandang ke arah gadis itu dengan marah, menyambung pertanyaan kakaknya sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kepadanya,

“Dan kau ini, bocah lancang, siapa pulakah kau?”

Setelah Oei Hwa muncul, memang Kwan Cu makin yakin di dalam hatinya bahwa gadis yang disangkanya Sin-Jiu Siang-kiam Oei Hwa itu adalah pendatang dari luar dan kalau dia tidak salah sangka, tentulah gadis ini Bun Sui Ceng adanya!

“Luan-ho Oei Liong, soal namaku tidak penting. Adapun kedatanganku ini adalah untuk mengambil kembali patung ini yang hendak kukembalikan ke kuil Kwan-im-bio dan memberi hajaran padamu atas kekurang ajaran terhadap Ngo Lian Suthai!” Kata Kwan Cu sambil tersenyum.

“Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa, adapun tentang aku, soal namaku juga tidak penting. Kedatanganku sengaja hendak membasmi bajak sungai Luan-ho agar kalian tidak menganggu lagi kepada mereka yang berlalu-lintas di sungai ini!” kata gadis itu sambil melirik ke arah Kwan Cu.

Pemuda inipun memandangnya dan keduanya tersenyum, merasa geli dan lucu serta gembira dapat mempermainkan pemimpin-pemimpin bajak itu.

“Keparat! Kalau begitu biar kuantar kau ke neraka!”

Oei Liong mencabut golok besarnya. Akan tetapi adiknya mencegah, kemudian Oei Hwa melangkah maju dan bertanya,

“Kalau kedatangan kalian ini sama-sama hendak memusuhi kami, mengapa datang-datang kalian bertempur di atas perahuku?”

Memang Oei Hwa jauh lebih cerdik daripada kakaknya dan gadis ini hendak menyelidiki lebih dulu keadaan dua orang penyerang yang tidak mau memperkenalkan nama itu.

Menghadapi pertanyaan ini, dan melihat betapa sepasang mata yang bening itu memandangnya penuh perhatian dan agak mesra, Kwan Cu menjadi bingung, lalu menjawab sekenanya saja.

“Kami… kami hendak berlatih dulu sebelum menghadapi kalian.”

Gadis yang tadi menyerangnya itu memandangnya dengan sinar mata lucu, lalu menyambung sambil mengangguk-angguk.

“Betul, kawan yang baru datang ini hendak mempelajari beberapa petunjuk agar dapat dipergunakan menghadapi kalian kepala-kepala bajak yang sudah tiba masanya mampus!”

Kwan Cu menjadi geli dan gemas. Ternyata gadis itu, kalau benar Sui Ceng, masih sama dengan dahulu, lincah jenaka dan suka mempermainkan orang. Juga agak sombong seperti gurunya, Kui-bwe Coa-li sehingga datang-datang berani mengaku bahwa tadi ia telah memberi petunjuk kepadanya!






Tidak ada komentar :