“Ha,ha,ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tidak percuma aku bermain gila seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kau yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?”
“Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan tubuhmu, akan tetapi ketika kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu.”
Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biarpun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Benar-benar orang aneh sekali pemuda tinggi besar ini, aneh, seperti juga Kwan Cu.
“Ha, ha, ha, saudara Kwan Cu. Apakah kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai terkentut-kentut?” sambil berkata demikian, Kong Hoat memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Kalau bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu tertawa terbahak-bahak.
“Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!” Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka dia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.
“Eh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?”
Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng.
“Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-Bwe Coa-li.”
Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata,
“Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun-lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh.”
Sui Ceng tertawa, semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, ia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa tiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
“Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini,” kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang mata memandang rendah. “Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu.”
“Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biarpun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, kalau kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka.” Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
“Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau ceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?”
Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena ia sendiripun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.
“Aku memang mendapat tugas dari ibuku yang menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Ibuku memang semenjak mudanya menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tak pernah melakukan kejahatan, apalagi merampok rakyat yang bermata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan dapat menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkannya. Kemudian aku lalu mempergunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu.”
Setelah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.
Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan ia lalu mencela,
“Saudara Kong Hoat, kau….. cengeng (mudah menangis) sekali!”
Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia menjawab,
“Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!”
Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawa-tawa.
Tiba-tiba terdengar suara orang-orang berteriak dan para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
“Nah, mereka benar-benar datang. Tentu mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!” kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat.
“Apakah kau bersenjata?” tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu. Pemuda itu mengeleng kepalanya.
“Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apalagi ikat pinggangku masih ada!”
Gadis ini meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak seperti seekor ular merah yang menyambar-nyambar.
Diam-diam Kwan Cu kagum sekali dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Ia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Ia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.
Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap
“Dimana adanya keparat yang telah menipu kami dan menghina Dewa Sungai!” Oie Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
“Aku disini, siap untuk mengemplang pecah kepalamu!” tiba-tiba terdengar teriakan keras dan Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.
“Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!”
Seru Oei Liong dan Oei Hwa. Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.
“Kwan Cu, mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!” kata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi dua orang kepala bajak itu dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang hendak menonton pertunjukan bagus, akan tetapi diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu ini.
Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Oei Hwa ketika melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, Bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
“Calon suamiku, apakah kau tidak mengalami kekagetan tadi? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!”
“Cih, perempuan hina-dina!”
Sui Ceng memaki dengan marah dan sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa. Kepala bajak ini kaget sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti aka terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng.
Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian ia menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
“Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon So-somu (kakak ipar perempuan)!” kata Oei Liong yang maju pula membantu adiknya, bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.
Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biarpun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, namun gadis ini lihai sekali.
Tadinya para bajak mengira bahwa betapapun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang, ujungnya “mencium” tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah jalan darah kematian daripada lawan!
Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur!
Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui “batunya”. Dayung di tangan nelayan muda ini benar-benar lihai dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk.
Banyak kepala anak buah bajak pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu. Para bajak menjadi kocar-kacir dan banyak pula yang tidak tahan menghadapi Kong Hoat lalu melarikan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.
“Pergunakan jala wasiat!” tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada anak buahnya.
Barulah para bajak itu ingat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, melainkan untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh.
Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa lalu mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng.
Gadis ini cepat mengelak, akan tetapi sehelai jala lain yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, semua ilmu silatnya takkan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia terdesak hebat.
Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.
“Kwan Cu, mengapa kau diam saja?”
Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
“Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan tubuhmu, akan tetapi ketika kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu.”
Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biarpun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Benar-benar orang aneh sekali pemuda tinggi besar ini, aneh, seperti juga Kwan Cu.
“Ha, ha, ha, saudara Kwan Cu. Apakah kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai terkentut-kentut?” sambil berkata demikian, Kong Hoat memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Kalau bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu tertawa terbahak-bahak.
“Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!” Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka dia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.
“Eh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?”
Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng.
“Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-Bwe Coa-li.”
Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata,
“Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun-lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh.”
Sui Ceng tertawa, semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, ia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa tiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
“Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini,” kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang mata memandang rendah. “Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu.”
“Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biarpun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, kalau kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka.” Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
“Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau ceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?”
Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena ia sendiripun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.
“Aku memang mendapat tugas dari ibuku yang menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Ibuku memang semenjak mudanya menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tak pernah melakukan kejahatan, apalagi merampok rakyat yang bermata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan dapat menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkannya. Kemudian aku lalu mempergunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu.”
Setelah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.
Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan ia lalu mencela,
“Saudara Kong Hoat, kau….. cengeng (mudah menangis) sekali!”
Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia menjawab,
“Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!”
Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawa-tawa.
Tiba-tiba terdengar suara orang-orang berteriak dan para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
“Nah, mereka benar-benar datang. Tentu mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!” kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat.
“Apakah kau bersenjata?” tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu. Pemuda itu mengeleng kepalanya.
“Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apalagi ikat pinggangku masih ada!”
Gadis ini meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak seperti seekor ular merah yang menyambar-nyambar.
Diam-diam Kwan Cu kagum sekali dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Ia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Ia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.
Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap
“Dimana adanya keparat yang telah menipu kami dan menghina Dewa Sungai!” Oie Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
“Aku disini, siap untuk mengemplang pecah kepalamu!” tiba-tiba terdengar teriakan keras dan Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.
“Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!”
Seru Oei Liong dan Oei Hwa. Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.
“Kwan Cu, mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!” kata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi dua orang kepala bajak itu dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang hendak menonton pertunjukan bagus, akan tetapi diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu ini.
Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Oei Hwa ketika melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, Bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
“Calon suamiku, apakah kau tidak mengalami kekagetan tadi? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!”
“Cih, perempuan hina-dina!”
Sui Ceng memaki dengan marah dan sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa. Kepala bajak ini kaget sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti aka terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng.
Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian ia menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
“Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon So-somu (kakak ipar perempuan)!” kata Oei Liong yang maju pula membantu adiknya, bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.
Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biarpun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, namun gadis ini lihai sekali.
Tadinya para bajak mengira bahwa betapapun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang, ujungnya “mencium” tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah jalan darah kematian daripada lawan!
Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur!
Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui “batunya”. Dayung di tangan nelayan muda ini benar-benar lihai dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk.
Banyak kepala anak buah bajak pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu. Para bajak menjadi kocar-kacir dan banyak pula yang tidak tahan menghadapi Kong Hoat lalu melarikan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.
“Pergunakan jala wasiat!” tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada anak buahnya.
Barulah para bajak itu ingat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, melainkan untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh.
Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa lalu mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng.
Gadis ini cepat mengelak, akan tetapi sehelai jala lain yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, semua ilmu silatnya takkan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia terdesak hebat.
Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.
“Kwan Cu, mengapa kau diam saja?”
Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar