*

*

Ads

Selasa, 05 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 129

“Alangkah lucunya keadaanku,” akhirnya ia dapat berkata, “tak kusangka dapat bertemu dengan kau disini, dalam keadaan ini pula. Hi, hi, hi Kwan Cu, kau masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh menggelikan hati sekali. Dan kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga kau kelihatan gembira benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu.”

“Kau keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa, melainkan bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan…. melihat keadaan kita ini, aku merasa bahwa kitalah yang akan saling menikah, kau dengan aku dan aku dengan kau… bukankah ini menggembirakan sekali?”

Untuk sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh lalu tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.

“Kwan Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur, aku tentu akan menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali.”

Kwan Cu tersenyum.
“Terus terang saja Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah dengan aku daripada dengan siluman muka kuning itu, bukan?”

“Tentu saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih baik sekarang mencari jalan bagaimana kita dapat lepas dari bencana ini, atau bagaimana menanti sikap kalau mereka memaksa kita.”

“Terserah kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan.”

“Kalau mereka memaksa, aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu mendapat kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini.”

Kwan Cu mengangguk-angguk.
“Aku pun begitu,” katanya.

Hening sesaat dan mereka saling pandang.

“Kwan Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan buruk, seperti anak cacingan, sekarang…..”

“Sekarang bagaimana…..?”

“Hemmmmm, harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu.”

Merah wajah Kwan Cu, merah karena girang.
“Aah, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Kun Beng……”

“Kau sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang.”

“Aku pun belum. Akan tetapi sejak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau tentulah Sui Ceng, kau masih lincah dan jenaka seperti dulu……. dan….. lebih cantik!”

Sui Ceng menundukan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan menamatkan nyawanya, nyawa mereka berdua.

“Sayang sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, menjalankan pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya riwayat kita akan tamat sampai di tempat ini…..” Gadis itu menghela napas berulang-ulang.

“Pesanan dari Lu-kong-kong? Pesan apakah….?” Kwan Cu bertanya.

“Jadi kau belum sampai ke Goa Tengkorak?”

“Aku memang hendak menuju kesana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini.”

“Hemmm, sayang….. pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku takkan terlepas dari ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian….”

“Bagaimana bunyi pesan itu?”






“Kau harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri.”

Percakapan mereka terhenti karena dengan iringan tambur dan gembreng, diiringkan pula oleh anak buah bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya dalam pakaian pengantin!

“Ha-ha-ha-ha-ha….!” Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.

“Hush! kau cekakakan ada apakah? Girang barangkali melihat mempelai datang ?” Sui Ceng menegur

Kwan Cu makin geli.
“Lihat, alangkah lucunya mereka itu….! Mereka telah berpakaian pengantin dan kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?”

Sui Ceng benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah atau takut. Ia sendiri sejak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memutuskan belenggu, namun sia-sia belaka. Kwan Cu tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para bajak itu bagaikan seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus. Benar-benar pemuda aneh sekali!

Oei Liong dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang seguci kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan orang!

“Manisku, sebelum kau memakai pakaian pengantin, lebih dulu minumlah arak ini sebagai tanda pemberian selamat dariku,” kata Oei Liong sambil memperlihatkan guci itu.

“Kau juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku,” kata Oei Hwa yang mukanya sudah merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi sudah minum arak sampai mabuk sehingga tidak mengenal malu lagi.

“Aku tidak sudi!” Jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.

“Sayang sekali kalau harus dipaksa, Manisku. Maafkan, terpaksa aku mempergunakan kekerasan.”

Sambil berkata demikian, Oei Liong menggerakkan tangan menotok leher Sui Ceng yang tak dapat mengelak sehingga jalan darahnya terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!

Oei Liong sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika tiba-tiba terdengar suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa yang berlari-lari itu adalah para bajak yang menjaga di luar dusun.

“Celaka…. ada siluman mengamuk!”

Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.

Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Karena kalau sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belenggu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.

“Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar, tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu upacara pernikahan kami?” teriak Oei Liong dengan marah sekali.

Kepala bajak ini sudah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa sudah mencabut sepasang pedangnya, keduanya dengan hati marah dan mendongkol lalu melompat menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.

Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.

Dari luar dusun, kelihatan bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai!

Terkena sinar bulan, patung itu seakan-akan hidup, sepasang matanya yang merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.

Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng.

Tanpa sepengetahuan gadis itu, dia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya. Gadis ini merasa heran akan tetapi ia tak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya karena pada saat itu ia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan ia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.

Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang semenjak kecilnya mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada saat itu duduk melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.

Semua bajak sungai, seorang demi seorang mengambil langkah seribu dan lari tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu melompat-lompat menghampiri mereka.

Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan mereka serasa lumpuh saking takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.

“Oei Liong dan Oei Hwa, kalian berdosa besar!” demikian patung itu mengeluarkan suara, suaranya besar dan nyaring sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari keadaannya. “Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin. Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa….!”

Kemudian terdengar patung itu menggereng, dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei Hwa !

Kakak beradik ini adalah orang-orang berhati kejam dan mereka takkan merasa ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena biarpun dia berkepandaian tinggi kedua kakinya mengigil dan membuat larinya kaku sekali!

“Ha, ha, ha, ha, ha!” Kwan Cu tertawa geli setelah melihat semua bajak laut berlari pergi. “Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!”

Sui Ceng tertegun dan gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara?

Terjadilah hal yang amat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu.

Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata bersembunyi di dalamnya! Manusia ini tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah pemuda yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.

“Matamu tajam sekali, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?” tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.

Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian diapun tertawa terpingkal-pingkal.

“Ha, ha, ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri.”

Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan kaki Kwan Cu dan Sui Ceng, kemudian dia bertanya,

“Kau siapakah?”

“Lihat baik-baik, kawan. Lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li, ibumu?”

Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putra dari Liok-te Mo-li. Mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.






Tidak ada komentar :