*

*

Ads

Rabu, 06 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 131

“Sebentar aku rampas jala-jala mereka,”

Kata Kwan Cu yang cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena selain dia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, Sui Ceng yang lebih berbahaya kedudukannya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.

Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Ia tidak menyerang siapapun juga, hanya menanti dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya, tak dapat dipergunakan lagi. Lain jala menyambar, Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!

Sui Ceng kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguhpun ia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikannya. Ia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala, disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!

“Kanda, mengapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!” seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.

“Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, perlu digampar mulutnya!” kata Sui Ceng gemas dengan suara menghina, dan ia cepat melompat ke arah Oei Hwa, Benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.

Dalam menampar ini, Sui ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan-hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biarpun tidak hebat datangnya, namun sukar dielakkan.

“Plak!” sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan dan bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.

“Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!” seru Oei Hwa marah sekali dan ia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.

Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong-touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya buka main. Pedang itu meluncur bagaikan kilat cepatnya, menyambar ke arah dada Sui Ceng.

Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena ini benar-benar tak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada “pedang terbang” menuju ke dadanya. Ia cepat melempar tubuh ke kiri akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang kalau tidak pada saat itu, pedang yang meluncur tadi tahu-tahu berbunyi “tring…!” dan menyeleweng ke pinggir!

Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda dan Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.

Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang bekerja dengan cepat dan diam-diam, mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapapun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak mempergunakan pedang untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng.

Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!

Setelah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menenggok ke arah Kong Hoat. Alangkah kagetnya ketika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala, dan pemuda ini mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tidak berani mendekat, hanya menambah jala untuk memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala.

Ia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala, akan tetapi juga mereka yang menangkapnya tidak berani turun tangan!

Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jala-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan amat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala.






Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu. Akan tetapi, Kwan Cu diam-diam mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam telah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu telah robek dengan mudah saja dia keluar dari situ.

“Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!” seru nelayan ini dengan marah dan dayungnya mengamuk hebat sekali.

Kwan Cu kembali duduk dibawah pohon sambil menonton pertempuran. Ia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa dan Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, Tidak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu.

Adapun Kong Hoat juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat lalu berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.

Pertempuran terpecah dua, Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini dan kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar sedangkan Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.

Adapun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Oei Hwa. Setelah kini tidak dikeroyok lagi. Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya demikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tak lama kemudian ia menjerit, terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!

Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong tengah menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat, akan tetapi alangkah terkejut hati Oie Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan ketika dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu telah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.

Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.

“Saudara Kong Hoat, mengapa kau bunuh dia yang sudah tidak melawan?” tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas, karena ia menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.

“Bun-lihiap, kejahatan seperti pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Kalau kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok,” kata Kong Hoat.

Kata-kata ini segera terbukti karena para anak buah bajak yang melihat dua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.

“Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami.”

Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,

“Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu.”

Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata,

“Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami takkan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang sudah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!”

Setelah berkata demikian, Kong Hoat menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.

Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk menyatakan taat akan pesanan ini.

“Ketahuilah, bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, sedangkan aku sendiri biarpun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!”

Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.

“Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya,” kata beberapa orang bajak itu.

“Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubah cara hidup kalian,” kata pula Kong Hoat.

Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.

Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat lalu menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan sejujurnya.

“Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mempunyai keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal.” Setelah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi dari situ.

Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa
“Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaian.”

“Akan tetapi kau lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar bingung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Eh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?”

Merah wajah Kwan Cu. tadi dia sudah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini dia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng dia tiba-tiba berkata,

“Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tidak mau mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?”

Sui Ceng benar saja lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya ia menggeleng-geleng kepala dan berkata,

“Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!”

“Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?” tanya Kwan Cu dengan suara girang karena dia berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.

“Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak.”

Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, Maka dia lalu berkata cepat.

“Aah, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kong-kong Lu Pin.”

Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakn tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu. Memang, biarpun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, namun Kwan Cu mengira bahwa kong-kongnya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.

“Kalau begitu kita berpisah di sini,” kata Sui Ceng.






Tidak ada komentar :