*

*

Ads

Rabu, 06 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 134

“Eh, eh, eh, dia sudah membunuh An-ciangkunl” seru Kiam Ki Sianjin kaget. “Anak muda, bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana ?”

Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum.
“Benar, Kiam Ki Sianjin. Kau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?”

Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.

“Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang.”

Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, dia telah menjadi panas perutnya. Inilah seorang diantara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu, maka seketika itu juga dia mempunyai niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.

Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.

“Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?”

Kiam Ki Sianjin bertanya setelah dia mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.

“Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan kaki tangannya.”

“Hm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, sayang sekali masih ada seorang yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan.”

“Siapakah dia ?”

Kwan Cu mendesak karena dia memang tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.

“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan.”

“Aku pasti akan mendapatkannya!” kata Kwan Cu tegas.

“Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!” kata Kiam Ki sianjin yang merasa diri amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini bertemu dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.

“Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, memualkan perutku benar! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!”






Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.

“Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!”

Kwan Cu tertawa mengejek.
“Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!” la melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. “Pek-eng Sianjin, mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?”

“Pinto (aku) pinto tidak tahu apa-apa ” jawab tosu itu dengan gugup.

Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah gentar sekali.

“Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau harus mampus, kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!”

“Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!” Kiam Ki Sianjin membentak marah. “Kau bersikap seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!”

Adapun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,

“Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?” Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.

“Nanti dulu, Pek-eng Toyu, pinto yang menjadi tuan rumah dan pinto yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!”

Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang.

“Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula.”

Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

“Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang hendak kau nyanyikan!”

Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulan-pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,

“Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!”

Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan senjata tajam.

la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,

“Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!” Pemuda ini menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, “Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!”

“Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!”

Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk menghindarkan diri, tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya.

Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya!

Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat serangannya!

Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka.

Oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekangnya.

Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu.

Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.

Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!

Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.

Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga kewalahan. Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

“Roboh kau!” seru Kiam Ki Sianjin.






Tidak ada komentar :