*

*

Ads

Rabu, 06 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 135

“Sabar, orang tua,” jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga.

Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

“Bagus sekali!”

Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.

Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya!

Ilmu silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam-diam mengintainya?

Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.

“Krakkk!”

Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa kaki meja yang dipegang oleh kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga “senjata” itu masih berada di tangannya.

Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan kirinya memukul meja dan berkat lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya.

Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata,

“Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu.” .

Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh,

“Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas.” Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek,

“Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!”

Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berkata kepada Kwan Cu,

“Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapapun juga.”

Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.

“Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?”






“Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar, akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?” jawab Kiam Ki Sianjin.

Sebetulnya, tosu ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

“Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu,” akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.

Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik. Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,

“Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto.”

Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah memberi tamparan kepada batinnya.

“Pek-eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu.” Kembali Kwan Cu tertawa.

Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-nyala dia berkata,

“Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?”

Kwan Cu tersenyum menyindir.
“Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!”

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.

Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil tersenyum.

“Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?”

Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

“Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?” jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.

Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata,

“Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu.”

Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,

“Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apakah kau berani menghadapinya?”

Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tiada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!

“Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran,” jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan memandang kepada Bian Ti Hosiang.

Hwesio ini mencabut pedangnya dan berkata,
“Omitohud, hari ini pinceng benar-benar gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu.”

Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Ia telah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya jika menghadapi musuh-musuh besarnya.

Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.

Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.

“Ah, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat {ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apalagi di antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini.”

Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.

Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi.

Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai, yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Kl Sianjin segera tersenyum berkata,

“Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?”

Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekangnya,

“Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!”

Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam-kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.






Tidak ada komentar :