*

*

Ads

Jumat, 08 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 136

Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tian-kiam-kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.

Bahkan pemuda yang bergerak belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dulu digerakkan menyamping membabat pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu ketika pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Namun dalam pertemuan senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekangnya. Maka dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.

Bian Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai gerak tipu yang sama atau hampir sama dengan Tian-kiam-kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia lalu memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai-tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).

Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai-tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung mengitari tubuh Kwan Cu.

Untuk sesaat Kwan Cu melengak. Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat luar biasa. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkangnya, bergerak memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apabila terlalu mendekati tubuhnya.

Juga dengan gerakan Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.

Setelah menghadapi serangan belasan jurus, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal “jiwa” atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga. Dengan girang dia lalu memuji,

“Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!”

Akan tetapi, mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama betul seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu!

Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia mempergunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.

Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Ia mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

“Eh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?” katanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.

Kwan Cu mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,

“Gerakan ilmu pedang tidak dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapapun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!”






Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan kini sulingnya diputar cepat.

“Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin Sin-kai?”

Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.

“Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!” kata Kwan Cu.

Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia memiliki kepandaian asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali. Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri takkan sanggup mainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.

Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapapun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, makin kacaulah ilmu silat itu.

Sebaliknya, biarpun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat. Apalagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.

Setelah membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk “memperkenalkan” kelihaian Ang-bin Sin-kai, Kwan Cu lalu menggunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga tiba-tiba hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!

Dengan lweekangnya yang tinggi, dia telah dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

“Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah memiliki kepandaian yang tinggi, Lu-sicu,” katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

“Cianpwe terlalu memuji. Kalau Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boan-pwe Sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu.

Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur dan baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.

Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

“Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus.”

Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

“Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?” ia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena untuk sikap yang kasar dan memandang rendah Kwan Cu juga mengimbanginya.

“Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai.”

Kwan Cu terkejut. Ia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai.

“Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana yang patut menjadi locianpwe, tidak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?”

Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi mendongkol sekali. Ia membentak keras,

“Bin Kong Siansu adalah suhengku. Kulihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, marilah kita main-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau dapat menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai.”

“Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!”

Kwan Cu menantang dan cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.

Bin Hong Siansu bertubuh jangkung kurus dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia lalu memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).

Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lalu meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!

Bin Hong Siansu melihat sikap pemuda ini menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapinya dengan kuda-kuda biasa, betapapun tangguhnya, akan dapat dia serang dengan hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

“Awas batok kepalamu!” bentaknya keras dan tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu.






Tidak ada komentar :