*

*

Ads

Jumat, 08 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 137

Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang merupakan serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu, siap dibuka untuk mencengkeram apabila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, maka dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!

Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, namun dia tidak gentar. Ia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari.

Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan. Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kalipun serangan tosu itu mengenai tubuh Kwan Cu.

Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apabila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan. Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi daripada ginkang Bin Hong Siansu.

Biarpun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, namun tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa. Bin Hong Siansu mempunyai julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukannya saja sudah dapat diduga bahwa ginkangnya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

“Bocah siluman, kau pengecut!” tiba-tiba Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. “Kalau kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri!”

Kwan cu .tersenyum mengejek.
“Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!”

Dan pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu kini dia tidak mau meniru-niru lagi melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in-hoat-sut!

Melihat datangnya pukulan tangan kanan Kwan Cu lambat saja dan merupakan ilmu pukulan biasa Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in-hoat-sut, dan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau tidak pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasai kelihaian ilmu pukulan itu.

Melihat datangnya pukulan lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah urat nadi di pergelangan tangan lawan.

“Brettt!”

Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur, robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.

Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

“Ilmu siluman… !” teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.

Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi marah sekali mendengar hinaan dan melihat kesombongan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak-sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin tiong Siansu.

Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,
“Aduuuhhh… kurang ajar kau…. !”






Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang telah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu telah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!

Biarpun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, namun tosu itu adalah seorang yang dapat melihat keadaan. Kalau tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya, bukan mencabut jenggot melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

“Kau telah menghinaku, lain kali Kim-san-pai akan mencarimu!” Setelah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata, “Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san.”

Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.

Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang,

“Pinceng juga masih ada urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan.” Hwesio ini berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, “Orang muda, pinceng telah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!” Lalu dia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.

Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, Kwan Cu tertarik hatinya.
“Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?” .

Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, kemudian dia tersenyum dan berkata,

“Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia.”

“Musyawarah tentang apa?”

“Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau akan menjumpai mereka.”

Berdebar hati Kwan Cu. Ia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

“Terima kasih,” katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu-Shan. Aku akan mencari An Kai Seng.”

Kiam Ki Sianjin tertawa senang.
“Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau sudah berjasa untukku.”

Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu lalu melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.

**** 137 ****





Tidak ada komentar :