*

*

Ads

Jumat, 08 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 138

Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja daripada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagaimana telah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati dan setelah kehilangan pedangnya, ia ingin mencari senjata dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam ia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.

Hatinya kesal sekali dan pada hari ke lima itu, ia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang suka mengobrol tentang keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.

Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan telah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.

Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebatang pedang dari gudang senjata. Pedang ini biarpun bukan pusaka yang ampuh, namun merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat daripada logam putih seperti perak.

Dengan girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Ia bukan seorang bodoh dan tidak nanti ia mau menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan ke dalam sarung pedang baru, ia berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Pada keesokan harinya, kembali ia mendatangi rumah makan itu untuk mendengar berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri. Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus dan sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

“Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tidak terbuka.” Kemudian disambungnya dengan suara berbisik. “Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!”

Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biarpun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!

Tiba-tiba. terdengar suara orang di pintu luar.
“He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!”

Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang datang itu bukanlah tamu kaya atau seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis, celananya tambal-tambalan, bajunya sudah butut, rambutnya dipotong pendek dan berdiri bagaikan rambut landak, demikian pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum.

Kalau pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali. Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu ia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi sepasang mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Pelayan tua itu, benar seperti dugaan Sui Ceng, adalah seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

“Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untukmu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya….”

“Tak peduli berapa harganya keluarkan saja. Cukup ini untuk membayarnya?”

Pemuda itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya sama dengan tiga jari tangan.

Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyap kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,

“Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum, hanya memancing datangnya pencopet dan perampok.”






Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir.
“Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil siapakah yang takut? Nona itu biarpun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apalagi aku seorang jantan!” katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.

Sui Ceng mengerutkan kening dan tadinya mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tidak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.

Tak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu lalu makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk meja jauh dari tempat itu.

Sambil makan minum, pemuda pengemis itu menggerutu seorang diri,
“Tunggu saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, aku akan menenggak darahmu seperti ini!” Ia minum arak dari cawannya. “Aku akan menusuk matamu seperti ini!” Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?

Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan.

Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya, lalu melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.

“Hm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini,” pikir Sui Ceng.

Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Ia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Ia pun sudah mendengar bahwa keluar An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja dan cepat-cepat ia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagah ke arah kota raja, dan langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.

Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

“Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya telah dibunuh orang!”

Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya.
“Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita celaka.”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

“Anjing-anjing penjilat mampus! Ha, ha, ha, kalau daging mereka itu dimasak, biarpun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha, ha, ha!”

Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik rumah, tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, dia mengikutinya dari jauh.

Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah tiba di depan sebuah rumah gedung yang amat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!

Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.

“Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!”

Pengemis muda itu tertawa bergelak.
“Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!”

Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.

Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang naik ke atas genteng. Ia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

“Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?”

Tak lama kemudian Sui Ceng melihat dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan. Yang seorang adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, datang dari sebelah kiri rumah dan kedatangannya amat mencurigakan karena pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah!

Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ. Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.

Pada saat itu, terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan dan dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.

Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah amat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

“Hm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?” bentak pemuda yang bertubuh gagah.

Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

“Ha, ha, ha, kau kah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!”

Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

“Ha, tepat sekali makian itu….. ” katanya. perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng.

Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.






Tidak ada komentar :