*

*

Ads

Jumat, 08 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 139

“Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!”

“Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi kau sebagai keturunan terakhir bukannya bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!” kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.

“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia telah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!” Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.

Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), dia segera mempergunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.

Han Le cepat mengelak sambil memaki,
“Kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!”

Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya. Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan setiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasai sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Hati Sui Ceng berdebar. Tanpa disengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong maupun Han Le telah mewarisi kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seakan-akan mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu dilakukan sering kali, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.

Sayangnya, akhir-akhir ini Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Kalau hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.

Dari atas genteng, sui Ceng tiada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat.

Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang kuat sekali, dan dia adalah seorarg ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.

Akan tetapi, biarpun kedua orang muda itu belum dikenalnya, sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat. Adapun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang telah membantu penjajah, apalagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.

Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan kini gerakannya amat aneh dan sukar diduga lebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang amat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.

Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,

“Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu belum pernah aku melihatnya! Saudara sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu”

Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak,

“Hah!” kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok.






Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali. Han Le merasa betapa dari dua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan hebat.

Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biarpun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!

Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbareng dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi!

Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!

Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,

“Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!”

Setelah berkata demikian, LuThong berlari memasuki gedungnya dan tak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan hebat.

Sementara itu, Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu dengan muka terheran. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat, tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.

Adapun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling pandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bilamana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang HanLe.

Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebatang po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.

Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru daripada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong memperlihatkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.

Sungguhpun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, namun pertahanan Lu Thong tidak dapat di-bobolkan. Beberapa kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan tiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri.

la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata.

Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.

Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,

“Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona ini nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”

Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,

“Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? siapakah saudara?”

Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak makin tampan.

“Sekali bertemu aku sudah menduga! Apalagi menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”

Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Ia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata,

“Ah… ahhh… ”

Bagaimana ia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!

Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,

“Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlumba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dulu!”

Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.

Sui Ceng berani lagi mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan tidak menyenangkan hati. Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula sambil mengangguk ia mencabut pedangnya. Keduanya lalu melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.

Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah amat tinggi, tidak kalah oleh tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.

Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apalagi kini ditambah oleh pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapapun tangguh ilmu toyanya, dia terdesak hebat sekali.

“Kalian curang! Main keroyokan!” bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.

“Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tak perlu menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat daripada anjing penjilat atau ular!” seru Kun Beng sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.

“Traaang! Traaang!”

Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang dan tombak Sui Ceng dan Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya terlepas dari tangannya dan pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas! Ia tak berdaya lagi dan meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.

“Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!” tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan tahu-tahu ketika bayangan orang berkelebat, di depan Lu Thong telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.

Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, ia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apalagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.

“Hm, siapakah kau dan mengapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le penasaran dan sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu.






Tidak ada komentar :