*

*

Ads

Jumat, 08 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 140

Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,

“Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir daripada Menteri Lu Pin!”

“Kau mengoceh! Justeru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!” seru Han Le yang sudah marah sekali.

Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu Thong, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Bukan main marahnya pemuda jembel ini. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.

“Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dulu!”

Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.

Kwan Cu mengelak cepat dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, dia sengaja mengelak terus sambil memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.

Adapun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai, mengapa dengan Kwan Cu mereka tidak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.

Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.

“Ceng-moi, biar aku binasakan dulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang.” Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.

“Trang!!”

Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?”

“Dia itu adalah Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini.”

Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.

“Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu…. ??” tanyanya seperti kepada diri sendiri.

Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena ketika Han Le yang pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.

“Heeeeei …..! Berhenti dulu! Siapakah kau yang bisa mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te-sin-coan {Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini ?”

Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sebegitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya.

Akan tetapi ia terkejut sekali karena lawannya bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!

“Nanti dulu, kau siapakah? Dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat? Dari mana pula kau bisa mainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te-sin-coan? Hayo jawab!” Muka Kwan Cu menjadi tegang.






Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa lawannya dengan satu kali gebrakan saja setelah membalas serangan-serangannya telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih penasaran dan cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk daripada ukiran-ukiran di dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.

“Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa mainkan ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?” Kembali Kwan Cu mendesak.

Mendengar ini, Han Le menjadi pucat dan dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.

“Kau…..kau siapakah?”

“Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku.”

Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.

“Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurang ajaranku ” katanya.

Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, biarpun Han Le sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.

“Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!” seru Kwan Cu.

“Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-hio-to!”

Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.

“Kwan Cu, kau sudah lupa pulakah kepadaku?” tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata. “Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!”

Kwan Cu kembali berubah air mukanya dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.

“Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku ” Kun Beng memperkenalkan.

“Koko !” Sui Ceng menegur tunangannya itu.

Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu dengan sebutan “koko” terhadap Kun Beng terdengar begitu manis dan mesra, juga amat menusuk jantungnya. Ia memandang kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.

Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia cepat mengetuk dan mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga tersambung kembali lutut yang tadi terlepas.

“Suheng, mengapa kau mencegah siauw-te membunuhnya?” Han Le bertanya.

“Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya telah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kong-kong Lu Pin telah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu terbinasa pula. Tidak ingatkah kau kepada ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”

Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.
“Aku….. tadinya aku bermaksud mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar aku akan lebih mudah membalas musuh-musuhku…. menjunjung tinggi nama keluargaku, mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak….. ”

“Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau…… apakah kau kira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?”

Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
“Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!”

Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu juga bertolak pinggang dan sepasang matanya bersinar-sinar.

Setelah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biarpun masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.

“Kau mau apa ?” bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong. Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya.

“Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini,” katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.

“Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk menangkapmu!” terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.

“Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan nyawa bangsamu?” kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong.

Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,

“Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!”

Sambil berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun. Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang mata penuh arti.

Tiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan pembelaan Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul dan memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!

Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, namun menghadapi serbuan lima orang muda ini, sebentar saja mereka menjadi kocar-kacir. Mayat bergelimpangan yang amat mengerikan. Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dan sedikitnya ada lima orang anggauta Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!

Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak-terjangnya. ia tidak tega menjadi alat ini, entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipu dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka.

Han Le agaknya juga tidak begitu kejam karena pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya. Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggauta Gi-lim-kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong.

Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, datanglah barisan baru yang jauh lebih kuat daripada barisan Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, karena barisan ini adalah barisan Si-wi, yakni pengawal pribadi kaisar, dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin, dan panglima-panglima yang berkepandaian tinggi!

Pertempuran berjalan makin hebat. Kwan Cu yang mengetahui bahwa bagi empat orang kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh, cepat mencabut sulingnya dan menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh daripada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu.






Tidak ada komentar :