*

*

Ads

Senin, 11 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 141

Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang!

Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le dapat mempertahankan diri dengan kuatnya dan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggauta Si-wi.

Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini ikut menyerang empat orang kawannya. Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Ia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya.

Ia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le dan dapat memenangkannya!

Demikian pula Kun Beng sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik. Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, adapun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia sudah dapat menduga bahwa suhengnya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia telah merasai sendiri kehebatan kepandaian suhengnya.

Makin lama kurungan makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali. Apalagi Lu Thong lututnya terasa sakit dan dia menjadi makin lambat gerakannya. Akhirnya, sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu.

Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri dan dua orang panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tidak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut.

Namun, sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya dengan amat kuatnya, dan kali ini agaknya tidak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biarpun korban fihak musuh yang jatuh tak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga.

Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Kini mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.

Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki sianjin dia melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut.

Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap itu, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dua orang panglima yang belum mengenal Kwan Cu baik-baik, terus mendesak pernuda itu.

Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak-sin-na dan golok mereka terlempar. Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.

“Kawan-kawan, mari kita pergi!” katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan.

Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi ia khawatirkan. Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,

“Kun Beng, kau terima ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan menggendong Lu Thong!”






Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan, dia telah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.

“Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!” kata Kun Beng.

Sui Ceng dan Han Le mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le dan Sui Ceng sudah dapat menangkap masing-masing seorang pengeroyok dan mengamuklah tiga orang ini, mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang mereka pegang kakinya!

Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke mana perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan dia sengaja melarikan di dekat Kiam Ki Sianjin yang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.

“Bodoh, goblok! Menghadapi tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan.” Tosu ini memaki-maki anak buahnya.

“Locianpwe, mereka menggunakan kawan kami sebagai senjata untuk mengamuk,” jawab seorang perwira Si-wi.

“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, biar kawan sendiri kalau sudah mereka tangkap, perlu apa takut membacoknya?”

Demikianlah, para Si-wi itu lalu mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk menangkis dan membacok tiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu.

Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya terkejut. Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata.

Biarpun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan dan keadaan mereka tidak terdesak seperti tadi. Apalagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.

“Eh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali.

Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le, karena Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah.

Akan tetapi mengapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ? Juga kedua orang kawannya tidak tahu kemana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong, akan tetapi oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok!

Adapun Kwan Cu sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam-Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.

“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak!” serunya.

Kwan Cu tersenyum sindir.
“Kiam Ki Sianjin, dia ini adalah keturunan menteri Lu Pin, bagaimana aku takkan membelanya?”

Pemuda ini menyimpan sulingnya dan kini tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang bercahaya gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya.

Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jerih. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang pedang. Biasanya, dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apalagi sekarang memegang sebatang pedang mustika!

“Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, dan pemuda sederhana itu adalah suteku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau sampai mereka terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu.”

“Habis, apa kehendakmu?” tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.

“Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku takkan melupakan maksud baikmu ini.”

Sampai beberapa lama Kiam Ki Sian-jin diam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat sekali dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.

“Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Ia lalu membawa Lu Thong melompat ke barat!

“Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!”

Tiga orang muda itu ketika mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, menjadi terheran, akan tetapi mereka lalu memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur dan larilah mereka ke barat.

Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka. Aneh sekali, setelah mereka tiba di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit Lu Thong.

“Kau sudah di sini ?” tanya Kun Beng tak mengerti. Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suhengnya itu.

Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawan yang luka serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan memasuki hutan sebelah barat.

Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil saputangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, sungguhpun masih terasa amat sakit pahanya yang terluka itu.

“Kwan Cu, kau cerdik sekali, bisa mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita,” kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat betapa bodohnya pemuda itu diwaktu masih kecilnya. “Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan telah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang, biarlah kita berpisah dan kelak aku mengharapkan sekali kedatanganmu untuk menghadiri….. pernikahan kami.”

Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng. Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu.

Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin dia menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.

“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.

“Ke….. manakah? Aku…. aku hendak kembali mencari Suthai.”






Tidak ada komentar :