*

*

Ads

Senin, 11 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 142

“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, mari kita bersama menjumpainya, memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari pernikahan.”

Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap ia melirik kearah Kwan Cu dan bukan main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng yang demikian mengerikan dan dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu membayangkan kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.

“Marilah,” katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.

Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya dua orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenungkan dan kadang-kadang menggigit bibir, mengepalkan tinju, wajahnya pucat seperti seorang yang kehilangan semangatnya.

“Suheng.”

Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu. Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh wajahnya merah sekali ketika dia melihat pandang mata pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.

“Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?”

Kwan Cu menjadi sadar betul-betul dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.

“Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau bisa menjadi murid suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa mainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?”

Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.

“Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh bala tentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sukar bagiku untuk menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintah Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu pemberontak. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh daripada mencukupi untuk berhadapan dengan tokoh-tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu lalu menyuruh aku menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahkan semua itu adalah pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah dapat memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?”

Kwan Cu mengangguk.
“Sute, ilmu silatmu sendiri sudah amat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu adalah petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Berseri wajah Han Le yang tampan.
“Ah, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!” Wajahnya bersinar penuh kekaguman.

Kwan Cu menarik napas panjang.
“Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apabila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri.”






Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Ia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang menyakitkan hatinya. Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!

“Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”

“Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para penjajah belum terusir dari negara kita.”

“Bagus, kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah perjuangan membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya.” Kwan Cu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sutenya.

Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum pahit.

“Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?”

Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman tentang hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biarpun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia sudah dapat menduga dengan tepat sekali.

“Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat jauh sekali?”

Lu Thong menarik napas panjang.
“Memang aku bodoh dan mudah tertarik oleh kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi apakah yang dapat kulakukan sekarang? Keluargaku telah terbinasa, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka.” Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.

Kwan Cu terharu.
“Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit hati orang tuamu.”

Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.
“Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apalagi kalau menghadapi barisan penjajah? Pula di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain.”

“Kau tidak berdiri sendiri, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?”

“Membantu para pemberontak?”

“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang rakyat itu disebut pemberontak oleh penjajah, akan tetapi bagaimana orang-orang gagah yang membela tanah air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah.”

Lu Thong melompat bangun.
“Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku.”

Kwan Cu sebaliknya menjadi girang sekali.
“Bagus, kalau begitu kau benar-benar saudaraku! Kau ikutlah dengan suteku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Aku akan menyusul kelak.”

Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju ke markas pasukan pejuang rakyat yang terdekat, karena memang sebelum pergi ke kota raja, Han Le sudah dengah aktif sekali membantu para pejuang ini.

Adapun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Ingin sekali dia membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suhengnya sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan kong-kongnya.

“Urusan pribadi harus dikesampingkan,” pikirnya dengan hati getir, “lebih dulu aku harus mencari mereka yang telah menewaskan suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng.”

Kwan Cu teringat akan tantangan, Pek-eng Sianjin, maka dia lalu menuju ke Bukit Leng-san. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhunya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak ikut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai.

Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Kalau dia tidak meladeni tantangan ini yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.

“Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu baru aku akan mencari tempat tinggal Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-beng Hui-houw,” pikimya sambil berlari cepat sekali ke selatan.

**** 142 ****





Tidak ada komentar :