*

*

Ads

Senin, 11 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 143

Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menanti kedatangan Kwan Cu, pemuda yang telah menghinanya di depan tokoh-tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-eng Sianjin sudah kehilangan empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, telah membentuk pula sebuah perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe (Perkumpulan Agama Garuda Putih)!

Ia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga untuk menjadi kawannya menghadapi Kwan Cu.

Dua orang tosu itu memang sudah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thian-eng Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari kalangan jalan hitam, maka cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin.

Mereka adalah pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka menerima pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati.

Adapun hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai. Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini telah melarikan diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya setelah dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang!

Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin juga menerima murid-murid yang menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayang adalah tiga orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.

Pek-eng Sianjin adalah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, sedangkan Thian-eng Sianjin memiliki ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai pula. Adapun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin.

Mereka selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali setelah mendengar bahwa tak lama lagi akan datang seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.

Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang, menghadang di tengah jalan.

“Apakah orang yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?” terdengar seorang diantara pasukan itu bertanya dengan suara heran.

Mereka ini adalah sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka itu ternyata hanyalah seorang pemuda sederhana yang bertangan kosong, berpakaian sederhana dan kelihatannya lemah, orang-orang muda ini memandang ringan.

“Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?”

Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?

“Kamu yang bernama Lu K wan Cu?” tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. “Kalau begitu, menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut daripada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang patah!” katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.






Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya.

Beginilah contohnya orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti betul akan isi daripada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri, bahkan sebaliknya makin tinggi ilmu yang dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apa-apa dan selalu berlaku merendah.

“Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?”

Si muka hitam itu tertawa mengejek.
“Ha, ha, ha! Kami mendengar bahwa orang yang bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat) dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada susah-susah kau akan menemui kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!”

Setelah berkata demikian, si muka hitam lalu memasang kuda-kuda dan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikitpun.

“Buk!”

Pukulan itu dengan kerasnya tiba di dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu terlempar ke belakang dan tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Ia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata dan sebentar saja hujan senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Akan tetapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan anak-anak muda yang dianggapnya hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.

Ketika mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak bukit! Barulah mereka beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?

Setelah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya.

Mendengar angin sambaran itu, tahulah dia bahwa yang menyambar hanyalah senjata-senjata yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Anak-anak panah yang ratusan banyaknya itu runtuh semua, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!

Ia berlari terus dan berseru,
“Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya tamu yang kau undang sendiri!”

Hati pemuda ini mulai panas dan biarpun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.

Belum juga dia tiba di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat orang yang gesit gerakannya. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, siap dengan senjata.

“Lu K wan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!” seru Pek-eng Sianjin yang cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.

Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi tetap mengelak dan menyabarkan hatinya. Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan, dia berkata keras,

“Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku sudah mengampunkan nyawamu karena kau bersumpah tidak ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kau undang mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, menyuruh orang mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa kehendakmu?”

“Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau telah menghinaku. Apa kau kira aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk mampus!”

Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya, dia mengerahkan tenaga dan menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan tetapi biarpun dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak dapat membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya. Mengertilah Kwan Cu bahwa, para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

“Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau kau memang sengaja mau mengadu nyawa!”

“Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!” jawab Pek-eng Sian-jin sambil menyerang dengan buasnya.

Kwan Cu mulai timbul marahnya. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat, menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya sendirilah yang salah besar. Empat orang adik seperguruannya takkan binasa di tangan Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Ang-bin Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar biasa, dan Pek-eng Sianjin sendiri pun tidak akan mengalami hinaan dari Kwan Cu kalau saja dia bertindak di atas jalan yang benar.

Sekarang, sebaliknya daripada menginsyafi kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tak tahu malu telah mengeroyok Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.

“Kau mencari penyakit sendiri!” seru Kwan Cu dan dia mulai melakukan serangan balasan.

Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi, demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat.






Tidak ada komentar :