*

*

Ads

Senin, 11 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 144

Namun Kwan Cu yang gesit dan jauh lebih tinggi tingkat ilmu kepandaiannya itu, melayani mereka dengan tabah sekali. Sulingnya bergerak-gerak bagaikan naga menyambar sehingga setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan kirinya tak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.

Namun empat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,

“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!”

Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata mereka. Kalau dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan mempergunakan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.

Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Dia belum kenal siapa adanya tiga orang kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.

Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.

Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang diantara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan ginkangnya yang paling tinggi. Kacau-balaulah pengepungan itu dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi. Membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan tetapi selalu tidak mendapatkan sasaran.

Tiba-tiba Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan marah sekalit menubruk dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram hendak memeluk leher. Inilah serangan yang disebut Pek-mo-jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main.

Pedang itu digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang tergetar, selain cepat juga amat kuatnya dapat menembus dinding baja, sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-na-jiauw yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit dan daging manusia, batu karang yang keras akan hancur terkena cengkeraman ini.

Biarpun amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa dengan lawannya. Gerakan Pek-mo-jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali dikeluarkan, kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama, kalau lawannya kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua serangan yang merupakan sepasang tangan maut itu!

Kwan Cu mendengar suara angin serangan yang dahsyat ini, yang dilakukan oleh Pek-eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini tahu bahwa lawan ini sudah berlaku nekat dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biarpun pemuda ini tidak melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang amat tajam sudah dapat membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan dengan pedang dan tangan kiri,

Kwan Cu tidak menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin menusuk perutnya dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari belakangnya, mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan macam ini tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapapun kuatnya, sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka.






Namun tendangan Kwan Cu ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak dan tombak itu terpental. Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu membanting kaki ke kanan sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng dia memukulkan sulingnya ke belakang punggung, tepat menangkis serangan pedang di tangan Pek-eng Sianjin. Adapun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.

Akan tetapi keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam kedudukan berbahaya ini tidak disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin, Te-eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk sekuat tenaga. Thian-eng Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang melakukan bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya sudah miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, memencet keras sehingga pedangnya terlepas, kemudian sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga lweekang dan tubuh Pek-eng Sianjin diangkat oleh tangan kirinya terus dibanting ke depan menjadi perisai yang menangkis semua serangan tiga orang itu!

Tombak Te-eng Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus, pedang Thian-te Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan Loan Kek Hosiang membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu! Tewaslah seketika itu juga Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang menyeramkan tadi!

Setelah melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok jalan darahnya!

Para anak murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan wajah pucat, sama sekali tidak berani bergerak. Tak pemah mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya!

“Kalian lihatlah, begini nasib seorang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh orang-orang lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi kalian semua agar mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan kebenaran. Rakyat sedang membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir penjajah, mengapa kalian tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya menimbulkan kekacauan? Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!”

Setelah berkata demikian tubuh pemuda ini berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap dari situ.

Setelah terlongong-longong untuk beberapa saat dan tidak berani bergerak atau pun membuka suara, barulah para anggauta Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang amat mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan pundaknya hampir putus pula.

**** 144 ****





Tidak ada komentar :