*

*

Ads

Senin, 11 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 145

Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan rakyat amat kuatnya dan mengancam kedudukan yang dipertuan. Ia tahu bahwa kekuatan perjuangan rakyat itu karena rakyat dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin pula serta dibantu oleh orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik. Ia mengirim surat kepada semua partai persilatan yang besar-besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thian-san-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang kepada tokoh-tokoh besar seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-lun-pai dan fihak-fihak yang kelihatannya anti kaisar penjajah untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan.

Diam-diam tentu saja Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang kiranya akan berdiri di fihaknya, yakni seperti Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang-hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu Shan dan setelah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, lalu menyerah dan membantu pula kepada Si Su Beng.

Masih banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apabila fihak yang anti kaisar masih tidak mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat pembasmian mereka!

Banyak ketua-ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki Sianjin untuk minta penjelasan setelah menerima surat itu. Diantara mereka yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan telah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah mereka bertemu dengan Kiam Ki Sianjin.

Biarpun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.

“Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu tentang bocah yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai itu?” di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya.

Mereka melakukan perjalanan sambil menggunakan ilmu lari cepat sehingga tubuh mereka bergerak seperti terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih dapat bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.

Bin Hong Siansu menghela napas panjang.
“Kita harus mengaku bahwa kita sudah tua dan ketinggalan jaman. Belum pemah selama hidupku melihat seorang pemuda yang demikian lihainya.”

“Kalau begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat daripada fihak yang membantu kaisar,” kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai itu.

“Belum tentu demikian. Biarpun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur mempergunakan meja, hal yang amat aneh!” jawab Bin Hong Siansu.

“Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tak mau membantu kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada rakyat. Kalau pemberontakan-pemberontakan itu ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan kaisar, telah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang ditentukan oleh Thian?”

Bian Ti Hosiang mengerutkan kening.
“Pinceng masih belum dapat mengambil keputusan, terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja.”

Memang di dalam hatinya, hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu-ragu untuk menyetujui pendapat tosu dari Kim-san-pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia tahu bahwa Suhengnya sering kali menyatakan tidak sukanya kepada pemerintah penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan.

Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa gelap sekali, agaknya akan turun hujan.

“Kita harus mencapai tempat bermalam,” kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.






“Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada goa untuk berlindung di hutan ini?”

“Jangan khawatir,” kata Bin Hong Siansu, “di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah kuil.”

Mereka mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti mata burung.

Bian Ti Hosiang yang berpemandangan awas, dapat menduga bahwa tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam, akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong Siansu dan menyambut mereka dengan ramah, dia pun tidak memperlihatkan kecurigaannya.

Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan tuan rumah, Bian Ti Hosiang tahu pula bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji kaisar dan memuji-muji pula Kiam Ki Sianjin.

Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati tamu-tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi tamunya.

“Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-sungkan,” katanya berkali-kali sambil tersenyum.

Menjelang tengah malam, ketika Bian Ti Hosiang masih duduk bersamadhi di atas tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka mata dan memandang, terkejutlah dia melihat asap bergulung-gulung masuk dari jendela itu!

Ia melompat turun akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya bau yang harum dan keras sekali. Ia maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang dapat membius orang akan tetapi sebentar saja dia telah pingsan. Ketika dia sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekangnya, ternyata bahwa seluruh tubuhnya telah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai sekali.

Asap telah menghilang akan tetapi hwesio ini masih merasa pening. Dengan tubuhnya yang amat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,

“Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu lebih dulu?” Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,

“Kiu-bwe Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?” suara itu bertanya, dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.

“Sudah, hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana, Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?”

“Ha, ha, ha, sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu” kata suara pertama yang besar dan parau.

Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Benar-benarkah dua orang yang herada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya itu melakukan perbuatan seperti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka dia cepat berseru sambil mengerahkan lweekangnya,

“Bin Hong Toyu !! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini….. !”

Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong Siansu.

“Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah… ??”

Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya. Akan tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, tiba-tiba dari jendela menghembus asap tebal, asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.

“Bin Hong Siansu, hati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepat-cepat kau pergilah!” teriak Bian Ti Hosiang.

Mendengar ini Bin Hong Siansu kaget sekali dan cepat melompat keluar dari kamar. Akan tetapi baru saja sampai di pintu sudah penuh oleh asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi.

Bin Hong Siansu terhuyung-huyung tanpa disadarinya mengisap asap itu dan roboh pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biarpun sudah berusaha dengan merebahkan tubuhnya di atas lantai agar jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu.

Di dalam kamar yang penuh asap itu, berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini perlahan kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap.

Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurnya.

“Siapakah Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?”

Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak mulai perjalanannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Ia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi kecil, bermuka menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!

Ketika hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi kecil seperti suara wanita!

“Bedebah perlu apa kau bertanya tanya? Minggirlah!”

Dan tangan hwesio itu mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali! Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini menyambar, dia. mencium bau yang amat amis, dan dia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula.

Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi.

Kwan Cu diam-diam mempergunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia telah berhasil menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di dalam tangannya.

Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari cepat. Ia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia terus mengejar maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di dekat situ, dari mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya.

Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersamadhi di atas Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan untuk “menyaring” napas yang memasuki paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.

Setelah Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa betapa kepala mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti Hosiang lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya sakit sekali.






Tidak ada komentar :