*

*

Ads

Rabu, 13 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 146

Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah menderita luka yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Demikian pula dengan Bin Hong Siansu!

Tiba-tiba masuklah Siok Tek Tojin, sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk terpincang-pincang.

“Aduh, Ji-wi Bengyu, celaka….” katanya terengah-engah. “Hampir saja pinto sendiri tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!”

“Kau…. bertemu dengan mereka… ?” tanya Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-ragu sambil menahan sakit.

“Tentu saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini sambil berkata bahwa dosa pinto tidak terlalu besar maka pinto diampuni. Kesalahan pinto hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!”

“Apakah mereka bilang mengapa mereka menyerang kami?” tanya Bin Hong Siansu penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian tiba-tiba dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!

Siok Tek Tojin menjadi bingung dan dengan tangan kanannya dia mencoba menyadarkan tosu dari Kim-san-pai. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong Siansu dapat sadar juga, akan tetapi sudah tidak kuat duduk lagi. Adapun Bian Ti Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata terengah-engah,

“Lekas ceritakan….. apa yang mereka katakan….”

Dengan suara hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,
“Kiu-bwe Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi mengadakan perhubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana.”

Akan tetapi kedua orang pendeta itu sudah payah sekali. keadaan mereka sehingga sukar untuk mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,

“Ji-wi, harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa pembunuhan ini agar pinto dapat membawanya ke Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tanpa ada penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap diri pinto.”

Kedua orang pendeta ini maklum akan maksud Siok Tek Tojin ini. Karena luka yang diderita oleh Bin Hong Siansu lebih hebat daripada Bian Ti Hosiang, maka hwesio Bu-tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan pelayanan Siok Tek Tojin, dia lalu menuliskan beberapa huruf di atas kertas dengan tangan gemetar.

“Teecu murid berdua diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian.”

Kemudian tulisan itu ditandatangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Sian-su. Setelah menandatangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan roboh pingsan tidak pernah siuman kembali!.

Adapun Kwan Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari jauh dia pun tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu takkan tertolong lagi, karena sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio tinggi kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti Hosiang menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapapun juga dia lalu meloncat keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah melarikan diri.

Pemuda ini merasa terheran-heran. Ia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah dijumpainya di rumah Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan dengan kunjungan mereka di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu kaisar penjajah, akan tetapi mengapa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh mereka?






Ia sudah mengenal watak dua orang tokoh besar itu, yang kebesaran namanya, berendeng dengan mendiang suhunya, yang termasuk dalam Lima Tokoh Besar di dunia kang-ouw, mengapa mereka melakukan pembunuhan secara curang? Mengapa pula mereka mempergunakan asap beracun?

Bagaikan kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya ada orang yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo- sian dan kalau dugaannya benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah hwesio berjubah hitam tadi! Ia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari keterangan lebih jelas!

Akan tetapi dia telah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan Cu mengejar cepat, namun sia-sia. Ia tidak melihat bayangan hwesio aneh itu dan dengan putus asa dia menghentikan pengejarannya.

Ketika dia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil tua itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi saksi dan telah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia sendiri juga ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali! Benar-benarkah hal itu terjadi? Kalau tidak benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi komplotan hwesio jubah hitam yang sengaja berpura-pura dan memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh besar itu!

Mendapat pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulal lelah, bukan karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tidak tentu arahnya, akan tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat, kembali ke kuil dimana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.

Setelah tiba di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, dia hanya mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan dengan wajah membayangkan penasaran. Adapun tosu yang menjadi pengurus kuil tidak kelihatan mata hidungnya.

Ia memasuki kamar-kamar lain, memanggil-manggil, namun tidak seorang pun menjawab. Ketika dia melakukan pemeriksaan, temyata bahwa semua pakaian tosu itu tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua pakaiannya. Ini berarti bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar di tempat dekat, tapi tentu akan melakukan perjalanan jauh. Tentu untuk menyampaikan warta pembunuhan ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!

Kwan Cu menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting daripada urusan ini. Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya dan tidak ada sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur mereka dengan baik-baik di halaman kuil, kemudian dia melanjutkan perjalanannya sambil mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.

Pertama-tama dia harus mencari musuh besar kong-kongnya yang hanya tinggal seorang lagi saja, yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya. Adapun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang ringan dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan mampu menghadapi dan mengalahkan mereka.

Diantara tiga orang tokoh besar ini, dia merasa paling benci kepada Toat-beng Hui-houw. Tidak saja kakek yang seperti siluman ini mengeroyok dan ikut membunuh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi juga dia mendengar akan kejahatan kakek ini dan terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng, wanita gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban keganasan kakek itu.

Ia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw, tidak saja untuk membalaskan kematian suhunya, akan tetapi juga untuk membalaskan dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.

Teringat akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan matanya dan Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan dia menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya tentang Sui Ceng.

Selain mencari musuh-musuh besar gurunya, kong-kongnya dan Pek-cilan Thio Loan Eng, juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah pentingnya. Ia harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui Ceng. Ia harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan….. dirinya sendiri.

“Aku cinta kepadanya….. ah, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui Ceng !”

Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya. Dahulu tidak mempunyai perasaan seperti ini, akan tetapi semenjak dia bersumpah di depan gadis raksasa secara main-main untuk menghindarkan desakan gadis itu, bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan, yakni yang bernama Bun Sui Ceng, semenjak itu entah mengapa dia selalu terkenang kepada Sui Ceng. selalu terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu.

Sekarang, setelah dia bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul. Akan tetapi helaan napasnya makin berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimanapun juga sudah bertunangan dengan Kun Beng pertunangan yang sah karena disahkan oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian Siang-koan Hai guru dari Kun Beng!

Menghalangi perjodohan itu berarti dia akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan mungkin juga dengan Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik muridnya!

“Beraaaaat ….” pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka, “mengapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan tokoh-tokoh besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih kecil?”

Lamunannya makin menjauh, kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan ketika dia teringat betapa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio mengurungnya, mendesaknya dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya bersinar-sinar.

“Biarlah, biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu diantara Lima Tokoh Besar dunia kang-ouw!”

Dengan adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu melanjutkan perjalanannya, mencari keterangan tentang An Kai Seng, musuh besar gurunya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu.

**** 146 ****





Tidak ada komentar :