*

*

Ads

Rabu, 13 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 147

Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota besar di Propinsi Shan-tung, juga amat ramai karena selain kotanya besar dan penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan.

Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali. Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.

Diantara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan dan perahu-perahu yang disewakannya untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini memiliki kepandaian ilmu silat yang kabamya amat tinggi.

Sudah tentu saja sebagai seorang hartawan dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang di kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Di samping ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.

Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun ketika dikawin oleh Tan wangwe, seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa dan banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih daripada Kaisar Kerajaan Tang yang telah roboh oleh An Lu Shan.

Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tidak seperti gadis Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering kali keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah.

Semenjak belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang amat genit, akan tetapi karena yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki ia bahkan kelihatan makin cantik dan menarik!

Orang-orang pada tahu bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang kaya raya.

Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Biarpun dia keturunan An Lu Shan pemah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi. Akan tetapi An Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali. Oleh karena itu setelah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang, kemudian dia keluar dari istana, menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang! Padahal bukan begitu keadaannya. Ia keluar dari istana membawa harta benda yang besar sekali untuk mencari kebebasan, agar dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.

Setelah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Ia seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia seperti kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama.

Kemudian dia mendengar berita tentang kekacauan di istana, tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya.

Mulailah dia berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena dia memang semenjak kecil mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu-coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).

Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui dan An Kong, dan mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!

An Kai Seng ketakutan hebat. Ia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang.






Maka tenanglah hatinya, apalagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andaikata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Ia hartawan, berkuasa dan mempunyai banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki tangannya!

Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri telah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk mengganggunya!

Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu. Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali.

Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia pun memelihara guru-guru silat yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini menjadi pengawal pribadinya!

Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, dia dapat menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badannya, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.

Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari Tibet.

Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya itu adalah ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol.

Akan tetapi, setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihinya dalam segala-gala, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio temyata masih mengatasi kepandaiannya!

Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio telah mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika secara main-main suami isteri ini mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak dapat menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.

Biarpun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi, namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng sendiri, apalagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio.

Karena itu, tujuh orang pengawal ini amat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng amat royal terhadap para pengawalnya ini.

Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruang dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan, tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.

“Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!”

An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak itu seakan-akan berubah pahit.

“Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!”

Pelayan itu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan tugasnya, lebih dulu dia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan memanggil mereka.

“Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya.”

Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, dimana Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia telah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari majikannya itu.

“Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba melihatnya sendiri dan dia bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian dia tuliskan di buku hotel.”

“Cukup, keluar kau!” bentak Kai Seng dan pelayan itu keluar dengan mengomel panjang pendek.

Ia mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan kelihatan pucat, mendengar omongannya tadi.

Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.

“Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapapun lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apalagi, kita sudah mengatur siasat sehingga andaikata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita.”

Malam hari itu Kai Seng tak dapat tidur dan nampak gelisah sekali, sehingga Wi Wi Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.

“Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku,” kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.

“Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dari orang-orang yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali.” ,

“Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kong-kong dan pamanmu itu. Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andaikata pemuda yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!”

Kai Seng tidak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh. Namun sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya yang sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.

Akan tetapi pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya digedor pelayan dari luar.

“Siauw-ya…. lekas bangun….!”

Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.

“Ada apa?” tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak enak.

Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan itu kelihatan gugup ketika mewartakan.

“Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang sedang dihadapi oleh tujuh kauwsu.”






Tidak ada komentar :