*

*

Ads

Rabu, 13 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 148

Muka hartawan muda itu makin pucat.
“Lekas kau beritahukan kepada semua pelayan agar supaya apabila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak ada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau.”

“Baik, Siauwya!” kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. “Kedatangan seorang seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!”

“Wi Wi, lekas kau tukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!” kata Kai Seng yang cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang sudah disediakan sejak kemarin.

Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan makin lambat mengenakan pakaian samarannya itu.

Inilah hasil perundingannya dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa kalau Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang, Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan dan kemudian melihat perkembangan selanjutnya.

Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena memang dari kegugupannya mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.

“Eh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?” katanya menegur untuk menutupi rasa malunya.

Wi Wi Toanio mainkan bibirnya.
“Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan kalau melihatku pada tertawa geli. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini.”

Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya.
“Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!”

“Biarpun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku.”

“Bukankah kau isteriku?” Kai Seng berkata jengkel.

Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur,
“Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!”

Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu takkan diganggu oleh musuh besar itu.

“Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu dapat mengusimya.”

Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih berlaku ayal-ayalan.

“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa baru saja bangun tidur, belum cuci muka belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu orang?”

Kai Seng makin mendongkol. Baginya sehabis bangun tidur, isterinya bahkan makin cantik saja. Akan tetapi dia tidak berani membantah karena memang bagi seorang wanita, sukarlah untuk di suruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur sebelum berhias dan mengganti pakaian.

“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.

Ketika Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan miskin sekali, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah. Namun dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.






“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kau cari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan alasan.

“Siapapun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan ini.

Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Ia telah menemukan jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono. Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biarpun dia mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-she Tan. Namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya.

Apalagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan ketika dia mempergunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai Seng. Memang dia berlaku sangat teliti dan tidak buru-buru turun tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.

“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.

“Hm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang ke luar kota!” kata kauwsu tertua.

“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya sendiri di dalam rumah ini.”

Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Kau ini bocah ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan hendak memasuki rumah secara paksa, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak merampok?’

Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.
“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”

“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda dan karena dia memandang rendah secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan kanannya.

“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu yang cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua tombak lebih lalu jatuh mengeluarkan suara keras.

Debu mengebul dan makin banyak lagi debu mengebul ketika dengan meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya utuk menghilangkan debu dari celananya, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!

Melihat betapa segebrakan saja kauwsu itu dapat dilemparkan dengan mudah oleh pemuda ini, semua kauwsu mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan gemerlapanlah golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.

“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi.

Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah menubruknya dan menghujankan senjata mereka di tubuh Kwan Cu.

Melihat gerakan mereka, makin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan ghinkangnya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang mempergunakan tangan kaki untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.

“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”

Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka makin gencar. Adapun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan salah seorang diantara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.

Namun sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan angin kenyataan. Pada saat semua senjata merangsangnya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para pengeroyoknya ke kiri, kira-kira setombak jauhnya dari mereka.

Kauwsu itu cepat membalikkan tubuh dan mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat menubruk dan menggunakan gerak tipu Sian-jit-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali. Alangkah girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas kedalam dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya!

Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek. Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat sehingga tidak kelihatan olehnya!

Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerak tipu Khai-ciang-kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!

Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaganya.

Ketika melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.

“Aduuuh….. awaaaaaaas, jangan tusuk aku!”

Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para kawannya sendiri. Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan….. “ngek!” Ia terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah.

Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih. Akan tetapi kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main sehingga dia merasa seakan-akan dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya sakit sekali, tangan kanannya menggaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya seperti seekor kera kepanasan!

Enam orang kauwsu yang lain menubruk dan marah sekali melihat seorang kawan mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia memang tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apalagi para pelayan ini dianggapnya tidak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak punya kebebasan.






Tidak ada komentar :