*

*

Ads

Jumat, 15 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 151

Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi bayangan Wi Wi Toanio. Ia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu di kota dan akhirnya dia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!

Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan lama dia mencari dan setelah bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan sudah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.

“Biarlah, aku tentu akan dapat menemukannya kembali,” katanya sambil menghela napas dan terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk tubuhnya yang menggalrahkan dan keharuman yang menawan hati masih tercium oleh hidungnya.

Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang wanita yang cantik, pandai dan….. berbahaya sekali!

Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon, berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung bajunya dia menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh hawa panas matahari.

Seperti biasa, dalam menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia menyempurnakan jalan darahnya. Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya.

Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya daripada meniup sulingnya. Telah penat otaknya berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhunya dan kong-kongnya.

An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga diri baik-baik, apalagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan waktu lama untuk bisa menemukannya kembali.

Lebih dulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.

Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi dan dia masih mempunyai waktu beberapa pekan, maka Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat kalau dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.

Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang seringkali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat, dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu.

Sulingnya adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu dimana adanya orang pandai itu sekarang. Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan dapat menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sekiranya Raja Tabib itu berada di tempat terjadinya malapetaka yang menimpa diri dua pendeta itu.

Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali dan Kwan Cu harus mengakui bahwa suara itu amat empuk.

Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan sulingnya dan kini terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong. Diam-diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring.

la tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh. Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!

Yang amat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata.






Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapat kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja. Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan dan kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga,

“Hutan sungai tetap murni tak berubah
apabila tiada tangan kotor orang menjamah,
mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan manusia berakal budi
katakan manusia mahluk tertinggi
aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.
Katakan dusun kota indah dan damai,
aku lebih cinta hutan dan sungai!”

Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh pakaiannya.

Bajunya lebar panjang, berkembang dan kepalanya ditutup oleh kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek. Lagaknya kelihatan angkuh dan tinggi hati, akan tetapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar dan memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.

“Eh, bocah!” katanya dengan lagak sombong. “Siapa kau yang dapat meniup suling menyanyikan lagu itu?”

Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia bangkit berdiri dengan tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban. Yang membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh wanita dan alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar amat lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.

“Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?”

“Aku tidak tuli, juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini.”

“Apa katamu? Aku lucu?” la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada dan tersenyum puas. “Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi gagah!”

Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau mencium bau yang tidak enak.
“Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ah, kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!”

Pemuda aneh itu mengangkat alisnya.
“Apa? Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda hijau berani berlancang mulut. Kau kira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?”

la menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).

“Hm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali dipergunakan oleh anak-anak yang sedang belajar menulis,” kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.

“Belajar menulis telingamu!” Pemuda itu memaki gemas. “Dengan pit di tangan kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit di tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!”

Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sebetulnya hanyalah dibuat-buat belaka.

Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia, melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh, juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini semuda itu sudah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami batin yang hancur penuh kecewa dan duka.

“Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?” bentak pemuda berkopyah itu.

Kwan Cu memperlihatkan sulingnya.
“Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Akan tetapi dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Kau masih pernah apakah dengan Hang-houw-siauw Yok-ong?”

Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo, kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget melihat betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.

“Hm, kau tentu Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!” katanya tiba-tiba dan lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.

Kwan Cu terkejut.
“Eh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?”

Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.

“Sulingmu adalah pemberian suhu.”

Berseri wajah Kwan Cu.
“Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong, locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara yang gagah perkasa?”

“Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang awaslah, aku hendak menyerangmu dengan poan-koan-pit!” Baru saja kata-kata ini diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan hebatnya!

Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang.
“Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin menyerangku?” tanyanya mendongkol sekali.

“Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, hendak kulihat apakah kau patut menerima hadiah itu” jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan hebat.

Ketika dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.

Kwan Cu kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun lihai dan tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan suling di tangannya.

Ketika dia melihat Hok Peng menusuk kearah iganya dengan totokan yang lihai, dia cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga kalau-kalau pit kiri lawannya bergerak. Benar saja, Hok Peng berseru,

“Bagus sekali!”

Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga tergetar lengan kanannya dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya menusuk leher Kwan Cu.

Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya memapaki pit itu dengan jari-jari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak-sin-na yang lihai!






Tidak ada komentar :