*

*

Ads

Sabtu, 23 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 167

“Ilmu siluman…… !” beberapa orang berbisik.

Akan tetapi hanya Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo saja yang setengah dapat menduga akan tetapi mereka masih sangsi akan semacam ilmu sinkang (tenaga dalam yang sakti) yang pernah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan yakni tentang lweekang yang dapat disalurkan melalui suara itu sehingga dengan bentakan-bentakan saja orang yang memiliki kepandaian ini dapat merobohkan lawan atau menangkis pukulan!

Benar-benarkah pemuda ini dapat memiliki kepandaian seperti itu? Hanya seorang yang sudah yakin yakni Yok-ong. Dia menduga bahwa pemuda yang dia kenal Kwan Cu adanya itu tentu telah mewarisi kepandaian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kalau hal ini betul maka tidak heran kalau Kwan Cu memiliki sinkang sehebat itu.

Siok Tek Tojin masih penasaran dan hendak menerjang lagi akan tetapi tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai melompat maju dan menahannya.

“Siok Tek Toyu biarkan pemuda itu melanjutkan dongengannya agar kita dapat mendengar baik-baik.”

Ketua Kim-san-pai ini menahan sambil memegang lengannya. Siok Tek Tojin merasa lengannya lumpuh dan menggigil ketika terpegang oleh ketua Kim-san-pai ini, maka tahulah dia bahwa pencegahan itu bukan main-main. Ia lalu menjura dan mengundurkan diri.

Kwan Cu tertawa.
“Tentu Cu-wi Locianpwe ingin sekali mendengar siapa orangnya yang berjubah hitam dan yang sesungguhnya merupakan pembunuh tulen dari Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Sian Su. Sebelum boanpwe menyebutkan namanya baiklah boanpwe melanjutkan dongeng ini. Siok Tek Tojin yang sudah bersekongkol, lalu pura-pura menolong dua orang pendeta yang sudah hampir tewas itu, menceritakan bahwa dia pun diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dan karena dua orang pendeta itu memang mendengar percakapan antara Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian di luar jendela yang tentunya diatur pula oleh si jubah hitam dan Siok Tek Tojin, maka mereka percaya penuh dan tidak ragu-ragu membuat sehelai surat yang ditujukan kepada Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tentu saja mereka menulis bahwa mereka terbunuh oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!”

Kiam Ki Sianjin membentak,
“Orang muda, jangan kau sembarangan bicara! Urusan ini bagaimana kau berani mengacaukan? Sudah ada bukti surat dan saksinya Siok Tek Tosu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh Ji-wi Beng-yu dari Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Bagaimana kau dapat mengarang cerita busuk tanpa bukti-bukti?”

“Bukti? Locianpwe menghendaki bukti? Belum selesai ceritaku! Setelah si jubah hitam itu lari di malam gelap, dia bertemu dengan seorang yang berhasil mencuri sedikit kain dari jubahnya. Inilah sobekan kain itu!”

Kwan Cu mengeluarkan kain yang dulu dia ambil dari jubah Coa-tok Lo-ong, kemudian katanya sambil tersenyum sindir,

“Orang berjubah hitam itu sekarang hadir di sini! Tanyakan apakah ini bukan kain dari jubahnya! Dan bukti ke dua, ketika dia mengeluarkan asap obat bius di kelenteng itu sama benar dengan obat bius yang tadi merobohkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian kedua Locianpwe yang mulia. Nah, dialah orangnya yang membunuh dua tokoh Kim-san-pai dan Bu-tong-pai kemudian menggunakan nama kedua orang Locianpwe itu dengan maksud mengadu domba!”

Baru saja ucapan ini habis dikatakan, Coa-tok Lo-ong mengeluarkan seruan keras,
“Jadi kaukah orang muda yang kurang ajar itu?” Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan asap hitam mengebul di dekat Kwan Cu.

“Para Locianpwe, awas!”

Dengan cepat sekali Kwan Cu mendorong tubuh Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dua orang ketua itu terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Mereka mengalami kekagetan hebat, akan tetapi mereka selamat, terbebas dari pengaruh asap hitam yang jahat. Adapun Yok-ong yang melihat ini, cepat membagi-bagi pil penawar racun di antara Pak-lo-sian sekawanannya sehingga mereka tak usah takut menghadapi serangan asap itu.

Kwan Cu sendiri lalu menahan napas dan meniupkan hawa murni dari tenaga sinkangnya sehingga dia tidak sampai mengisap asap, dan selain itu, dia pun lalu menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut sehingga seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang menolak asap hitam ini. Cepat melompat dan sudah berada di depan Coa-tok Lo-ong.






“Kau sudah mengaku sendiri? Bagus!” bentak pemuda ini.

Coa-tok Lo-ong marah sekali, cepat dia lalu memukul dengan tangannya. Ia merasa menyesal mengapa ular hidupnya sudah mati diremas oleh Jeng-kin-jiu tadi. Dengan mati-matian dia lalu menyerang Kwan Cu dengan tangan kosong, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mau memberi kesempatan lagi. Ia mainkan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang lihai itu dan dalam beberapa jurus saja, sebuah pukulan tangan kiri Kwan Cu tanpa mengenai kulit dadanya sudah membikin Coa-tok Lo-ong terlempar dalam keadaan pingsan! Kwan Cu melompat dan menangkap lehernya, lalu melontarkan tubuh penjahat itu ke arah Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu.

“Ji-wi Locianpwe, inilah pembunuh dari orang-orangmu!”

Bin Kong Siansu dan Bian Kim Hosiang kini tidak ragu-ragu lagi, cepat sekali keduanya bergerak dan dalam sekejap mata saja tubuh Coa-tok Lo-ong menjadi sasaran senjata mereka hingga tewas dalam saat itu juga!

Hek-i Hui-mo menggereng keras melihat sutenya tewas dan dia menyerang kedua ciangbunjin ini. Karena marahnya, Hek-i Hui-mo menggerakkan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan kebutannya, yang satu menyerang Bian Kim Hosiang, yang ke dua menyerang Bin Kong Siansu.

Dua orang ciangbunjin ini adalah tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja mereka cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan mereka membuat keduanya terjengkang. Demikian hebat dan luar biasa tenaga dari Hek-i Hui-mo!

Hek-i Hui-mo membentak,
“Kalian membunuh suteku, harus membayar kembali dengan nyawa!”

Akan tetapi tiba-tiba ada angin besar yang datang dari pukulan luar biasa menahan sepasang senjata yang hendak membunuh kedua ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ini. pukulan ini datangnya dari Kwan Cu yang sudah menghadang di depannya.

“Hek-i Hui-mo, kau masih ada perhitungan denganku!” kata Kwan Cu.

Hek-i Hui-mo marah sekali. Ingin dia sekali serang menghancurkan kepala pemuda yang sudah membuka rahasia sutenya, bahkan yang sudah merobohkan sutenya sehingga sutenya itu tewas di dalam tangan kedua ciangbunjin dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi dia pun ingin sekali tahu siapa adanya pemuda muka merah yang aneh ini.

“Kau siapakah? Mengapa memusuhi kami?”

“Dengarlah dulu aku mendongeng!” kata Kwan Cu dengan suara keras sehingga terdengar oleh banyak orang. “Hek-i Hui-mo ini semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendeta Tibet yang selalu menimbulkan kekacauan. Di Tibet sendiri dia telah mengacau agama di sana, bahkan mendirikan golongan yang disebut Golongan Jubah Hitam, dibantu oleh sutenya Coa-tok Lo-ong yang jahat. Dulu pernah dia mengancam jiwa seorang anak kecil untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kemudian dia pernah pula menawan pujangga besar Tu Fu untuk dipaksanya membaca kitab kuno Im-yang Bu-tek Cin-keng. Baiknya kitab itu palsu, sama palsunya dengan hatinya sendiri. Kemudian, sebagai anjing penjilat pemberontak, bersama-sama Jeng-kin-jiu dan Toat-beng Hui-houw, dia membunuh secara curang pendekar besar Ang-bin Sin-kai.”

“Dia itu murid Ang-bin Sin-kai! Dia Lu Kwan Cu !” tiba-tiba Kiam Ki Sianjin berseru keras dan kaget.

Memang ketika tadi Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut dan tubuhnya mengebulkan uap putih, Kiam Ki Sianjin sudah curiga, kini mendengar omongan Kwan Cu, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini tentulah Kwan Cu adanya!

Mendengar ini, Kwan Cu tersenyum. Ia merogoh saku dan mengeluarkan seguci kecil arak yang tadi memang dia terima dari Yok-ong. Dituangnya arak ini di tangan, lalu dibuat mencuci mukanya yang sebentar saja berubah, tidak lagi kemerahan seperti udang direbus, melainkan menjadi muka seorang pemuda yang tampan dan gagah.

“Memang aku Lu Kwan Cu, datang untuk membalas dendam!” katanya.

“Kwan Cu….!” terdengar teriakan kaget dan ini adalah suara Sui Ceng.

Gadis ini menjadi bengong dan tak terasa lagi matanya basah oleh air mata. Hatinya tidak karuan rasanya. Tak disangka-sangkanya bahwa Kwan Cu-lah pemuda itu, tidak dinyana-nyana bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Dan ia pernah memandang rendah kepada Kwan Cu, dan…… dan Kwan Cu pernah menyatakan cinta kasih hatinya secara terang-terangan!

Teringatlah Sui Ceng akan pengalaman yang sudah-sudah dan tahulah dia bahwa ketika mereka ditawan oleh bajak sungai, Kwan Cu sengaja berlaku ketolol-tololan. Tak terasa lagi merahlah mukanya dan hatinya berdebar tidak karuan.

Hek-i Hui-mo menjadi pucat, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Jadi bocah gundul yang dulu menjadi permainan para tokoh besar itu, sekarang telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya? Ia mengeluarkan seruan keras dan kedua senjatanya cepat menyerang Kwan Cu.

Kali ini Kwan Cu tidak main-main lagi. Sekali tangannya bergerak, tercabutlah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin. Dengan pedang ini dia bersumpah hendak membalas dendam.

Jeng-kin-jiu sudah tewas oleh bekas kawan-kawannya sendiri dan hal ini menggirangkan hatinya, karena Kwan Cu memang menaruh hati sayang kepada hwesio itu. Ia girang karena pada akhir hidupnya, Jeng-kin-jiu membuktikan bahwa sesungguhnya dia mempunyai dasar watak yang gagah perkasa dan baik.

Toat-beng Hui-houw sudah tewas di tangan Sui Ceng, hal ini pun menyenangkan hatinya karena memang gadis itu lebih berhak membalas sakit hati ibunya. Sekarang musuh besar gurunya tinggal Hek-i Hui- mo, maka setelah mencabut pedangnya dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat sambil mulutnya berbisik,

“Suhu, dengan ilmu pedang Suhu, teecu akan membalaskan sakit hati suhu! Saksikanlah dari tempat istirahatmu, Suhu!”

Tentu saja Hek-i Hui-mo sudah tahu dan kenal akan ilmu pedang peninggalan Ang-bin Sin-kai ini, maka dia memandang rendah. Betul bahwa tingkat kepandaiannya dahulu setingkat dengan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah pemuda itu mainkan pedangnya, dia kaget setengah mati. Baru beberapa gebrakan saja, sinar pedang Liong-coan-kiam telah berhasil membabat putus sebagian dari rambut kebutannya. Bukan main!

Biarpun ilmu pedang ini tiada bedanya dengan yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai, namun gerakannya jauh berlainan. Gerakan ilmu pedang di tangan pemuda ini jauh lebih cepat dan kuat, berlipat ganda kuatnya sehingga biarpun Hek-i Hui-mo sudah mengerahkan tenaga, namun tetap saja tergetar tangannya setiap kali tongkatnya terbentur oleh pedang itu yang cepatnya bukan main sehingga beberapa kali hampir saja Hek-i Hui-mo terlambat mengelak atau menangkis!

“Eh, eh, eh, kiranya kau benar-benar Hang-houw-siauw Yok-ong!” terdengar Pak-lo-sian berseru dan tertawa bergelak.

Mendengar ini, Kiam Ki Sianjin cepat menengok dan ternyata bahwa kakek muka hitam yang amat lihai dan yang tadi mengalahkan Kiam Ki Sianjin dalam mengadu lweekang, kini seperti Kwan Cu telah mencuci mukanya dan dia itu bukan lain adalah Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Tabib!

Gentarlah hati Kiam Ki Sianjin melihat ini. Pemuda itu saja sudah amat lihai dan sukar dikalahkan, sekarang di fihak musuh ada pula Yok-ong, maka kalau pertempuran dilakukan seorang melawan seorang, fihaknya tentu akan kalah. Apalagi pada saat itu dia melihat Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu, berlari menghampiri Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li. Dua orang ciangbunjin ini lalu berkata dengan muka merah,

“Kami berdua yang bermata buta dan bertelinga tuli telah salah sangka, mendakwa Ji-wi yang putih bersih sehingga kami patut dihukum mampus.”

“Ah, tidak apa, Ji-wi Bengyu. Kalian menjadi korban tipu muslihat dari para penjilat,” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li mengejek,

“Sungguh memualkan perut, kedua ciangbunjin yang bernama besar ternyata masih mudah saja diberi makan tai oleh anjing-anjing itu!”

Mendengar ini, dua orang tua ini menjadi pucat dan kemudian makin merah wajahnya. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Semua anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai melihat ini, beramai-ramai lalu datang dan ikut berlutut pula!

“Kami orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, bersedia menerima binasa untuk menebus dosa!” kata kedua orang ketua ini.






Tidak ada komentar :