*

*

Ads

Sabtu, 23 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 168

Melihat ini, Kiu-bwe Coa-li merasa terharu.
“Ji-wi jangan seperti anak kecil. Orang-orang yang berdosa adalah penjilat-penjilat penjajah, mereka berada di depan dan terang-terangan mereka memusuhi kita. Mengapa tidak lekas-lekas memukul mereka?”

Serentak orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai bangkit berdiri dan memandang kepada Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya dengan mata penuh kemarahan. Melihat ini, Kiam Ki Sianjin lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk dan meniupnya keras sekali. Itulah tanda bagi semua tentara yang memasang baihok (barisan sembunyi) untuk bergerak!

Maka keluarlah barisan yang mengepung bukit itu dari segenap jurusan, dengan senjata di tangan mereka berbaris rapi dan mulai menyerbu ke atas. Juga Kiam Ki Sianjin dibantu oleh kawan-kawannya lalu mencabut senjata dan menyerbu!

Kwan Cu masih bertempur ramai dengan Hek-i Hui-mo. Melihat hal ini dia lalu berseru,
“Yok-ong Locianpwe, harap jangan melawan dan menyelamatkan kawan-kawan berlari lebih dulu. Biar teecu yang menahan mereka!”

Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, dia lalu menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali dan tangan kirinya juga mainkan Pek-in-hoat-sut dengan jurus-jurus yang paling berbahaya.

Mana Hek-i Hui-mo kuat menahan serangan dari seorang yang sudah mengisap semua pelajaran tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Tenaga yang dipergunakan oleh Kwan Cu pada saat itu, adalah tenaga sepenuhnya, maka terdengarlah suara keras. Tongkat Kepala Naga putus oleh pedang Liong-coan-kiam yang terus menyabet sehingga pinggang Hek-i Hui-mo terbabat putus menjadi dua!

Kemudian Kwan Cu mengamuk hebat. Pertama-tama yang diserbunya adalah Kiam Ki Sianjin karena diantara semua lawan, yang terberat adalah kakek ini. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh banyak kawannya mengurung Kwan Cu dan sebagian pula menyerbu kepada Yok-ong dan kawan-kawannya.

Akan tetapi, Yok-ong lalu memberi tanda kepada Pak-lo-sian dan yang lain-lain untuk mengikuti dia mundur. Sambil mundur, mereka ini tidak tinggal diam saja. Yok-ong menggunakan kaki tangannya merobohkan setiap orang yang berani dekat. Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil tertawa terbahak-bahak menggunakan kedua kakinya. Biarpun kedua tangannya tak dapat digerakkan, namun sepasang kakinya berpesta-pora dan menendang para pengeroyok. Siapapun juga yang kena tendangannya pasti terpental jauh untuk bangun dihadapan Giam-lo-ong (Raja Maut)! Demikian pula Kiu-bwe Coa-li yang mengamuk dengan sepasang kakinya.

Seng Thian Siansu yang sudah tua dan yang remuk tangan kanannya, hanya mempergunakan tangan kiri menangkap-nangkapi para pengeroyok dan melempar-lemparkan mereka. Adapun Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat juga mengamuk hebat membabati para tentara yang tentu saja bukan menjadi lawan mereka yang seimbang. Dua orang murid Kun-lun-pai juga mengamuk, demikian pula Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, dan para murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Namun jumlah tentara yang naik banyak sekali sehingga kalau pertempuran itu diteruskan, tenaga mereka pasti akan kalah juga.

“Lari, ikut padaku!” kata Yok-ong dan Raja Tabib ini lalu membawa semua kawannya menuju ke jalan rahasia yang tadi pernah dia perlihatkan kepada Kwan Cu.






Karena mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan ilmu lari cepat, apalagi para tentara juga gentar menghadapi mereka, sebentar saja Yok-ong sudah dapat membawa mereka memasuki goa dan melarikan diri melalui terowongan di bawah tanah.

Kwan Cu masih mengamuk hebat. Tidak terbilang banyaknya orang yang roboh di bawah amukan pedangnya. Lama-lama dia merasa tidak tega melihat banyaknya orang tewas. Entah sudah berapa puluh musuh yang tewas, mayat mereka bertumpuk-tumpuk dan bergelimpangan. Darah membanjir membuat hatinya ngeri. Namun dia tidak sempat merobohkan Kiam Ki Sianjin yang amat kosen.

“Untuk apa membunuhi orang-orang yang hanya menjadi alat?” pikirnya, maka dia mulai mundur. Akan tetapi, dimana-mana dia terkurung oleh tentara yang seperti semut banyaknya itu.

Di bawah hujan senjata yang luar biasa banyaknya itu, tiba-tiba meluncur anak-anak panah yang cepat sekali datangnya. Kwan Cu salah hitung. Ia mengira bahwa panah-panah itu datangnya dari tentara biasa yang memang semenjak tadi kalau ada kesempatan lalu menghujankan anak panah mereka.

Akan tetapi semua anak panah itu dengan sekali sampok saja dengan tangan kirinya, sudah runtuh berhamburan. Kali ini, dia pun menggunakan tangan kirinya menyampok, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa kulit lengan kirinya sakit dan berdarah, tanda bahwa yang melepaskan adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar.

Lebih kaget lagi ketika anak-anak panah seperti itu makin gencar datangnya. Ketika Kwan Cu melihat ke arah pelepas anak-anak panah itu, dia melihat bahwa yang melepaskan adalah Kiam Ki Sianjin dan Kam Cun Hong, perwira tinggi kepercayaan Si Su Beng. Memang, dalam hal ilmu silat panglima she Kam ini tidak sangat hebat kepandaiannya, akan tetapi dalam ilmu memanah, dia ahli dan lihai sekali.

Kwan Cu sibuk menangkis, namun tetap saja sebatang anak panah meleset dari lengannya dan menancap di dadanya sebelah kiri dekat pundaknya! Baiknya tubuhnya telah terisi oleh sinkang yang luar biasa, maka dia keburu menolak anak panah itu dan yang menancap tidak sampai menembusi dagingnya dan tidak melukai anggauta tubuh sebelah dalam.

Namun, ini sudah cukup mengejutkan Kwan Cu yang cepat melompat dan mempergunakan ilmu ginkangnya, melompati kepala para pengeroyoknya dan sebentar saja dia sudah lenyap!

Kiam Ki Sianjin memimpin kawan-kawan dan anak-anak buahnya melakukan pengejaran namun pemuda itu tidak kelihatan lagi karena dia sudah masuk kedalam jalan terowongan di bawah tanah, mengejar rombongan Yok-ong yang sudah lari terlebih dulu.

Dengan amat berang dan kecewa, Kiam Ki Sianjin mengobrak-abrik hutan, membakari alang-alang, dan akhirnya menjelang senja dia menarik mundur pasukannya dan kembali ke kota raja dengan hati penasaran, kecewa, dan juga gentar.

**** 168 ****





Tidak ada komentar :