*

*

Ads

Sabtu, 23 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 169

Yok-ong berhasil membawa rombongannya keluar dari kurungan tentara kerajaan dan mereka muncul di dalam sebuah hutan yang besar di sebelah kiri Bukit Tai-hang-san, sebelah selatan kota Tai-goan. Setelah menghaturkan terima kasih, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu memimpin anak murid masing-masing untuk kembali ke Bu-tong-san dan Kim-san.

Adapun Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Bun Sui Ceng, The Kun Beng, dan Gouw Swi Kiat masih menanti di situ dengan hati gelisah karena Kwan Cu belum juga muncul. Setelah menanti beberapa lama, Seng Thian Siansu bersama dua orang muridnya juga berangkat, dan menerima obat dari Yok-ong, Seng Thian Siansu merasa terharu dan berterima kasih sekali, lalu pulanglah dia ke Kun-lun-san. Tiga orang ketua partai besar ini berjanji akan mendidik murid-murid mereka, karena negara membutuhkan orang-orang gagah untuk menghadapi keganasan penjajah.

Diantara mereka yang menanti munculnya Kwan Cu, yang kelihatan gelisah sekali adalah Yok-ong karena kakek ini merasa suka sekali kepada Kwan Cu. Akan tetapi sebenarnya, hati Sui Ceng lebih gelisah daripada Yok-ong, cuma saja gadis ini tentu saja menyembunyikan perasaannya.

Mereka menanti munculnya Kwan Cu sambil tiada hentinya memuji dan membicarakan murid Ang-bin Sin-kai itu. Tahulah mereka semua bahwa pemuda itu tentu telah mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Tak lama kemudian, muncullah Kwan Cu dari goa itu.
“Kwan Cu….. kau terluka….. ?”

Sui Ceng berseru lebih dulu tanpa dapat menahan mulutnya ketika melihat baju pemuda itu penuh darah dan sebatang anak panah menancap pada dada kirinya. Juga Yok-ong menghampiri dan hendak memeriksa lukanya, akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya.

“Tidak apa….. tidak apa, hanya luka sedikit. Biarlah sementara waktu anak panah ini tidak dicabut dulu.”

Kata-kata ini cukup memberitahukan bahwa anak panah itu mengandung racun. Memang, kalau dicabut maka racun yang berada diujung anak panah akan lebih lekas menjalarnya dan berbahaya sekali, akan tetapi kalau dibiarkan dulu dan dengan pengerahan tenaga lweekang, racun itu tidak mudah menjalar.

Yok-ong merasa heran mengapa pemuda itu belum mau diobati. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengacuhkan lukanya, bahkan lalu berkata,

“Aku sudah khawatir sekali kalau Cu-wi sudah pergi dari sini. Aku ingin sekali menyampaikan sesuatu mengenai diri Sui Ceng.”

Semua orang melongo. Sui Ceng menjadi merah mukanya dan Kun Beng memandang dengan rasa cemburu.

“Apa kehendakmu mengenai diri muridku?” Kiu-bwe Coa-li bertanya dengan marah.

“Suthai, aku pernah ditinggali pesan oleh ibu dari Sui Ceng, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, bahwa aku harus melindungi Sui Ceng. Sekaranglah waktunya aku harus mentaati pesan itu. Terang-terangan kukatakan bahwa perjodohan antara Sui Ceng dan Kun Beng harus dibatalkan!”

Sui Ceng menjadi pucat, juga Kun Beng menjadi pucat, sedangkan Swi Kiat memandang dengan mata bersinar-sinar sambil menduga-duga mengapa Kwan Cu mengemukakan hal yang memang menjadi isi hatinya.

“Kwan Cu, sepak terjangmu tadi mengagumkan hatiku, akan tetapi omonganmu sekarang ini benar-benar membikin aku marah sekali,” kata Kiu-bwe Coa-li. “Katakanlah alasan-alasannya mengapa kau bicara begitu.”

Melihat Kwan Cu ragu-ragu, Pak-lo-sian yang juga merasa tersinggung karena Kun Beng adalah muridnya, mendesak,

“Kwan Cu, lekas ceritakan mengapa kau menghendaki demikian.”

Kwan Cu memandang kepada Kun Beng, lalu kepada Swi Kiat, kemudian dia bicara dengan suara lantang,

“Bukan hak dan kewajiban teecu untuk menceritakan alasan itu. Lebih baik Kun Beng dan Swi Kiat yang bercerita tentang diri Kun Beng dan Gouw Kui Lan.”

Pucatlah wajah Kun Beng dan tubuhnya gemetar. Melihat ini, Sui Ceng menjadi berdebar. Ia sudah jatuh cinta kepada tunangannya ini dan sekarang hal apakah yang akan didengarnya? Swi Kiat menggigit bibirnya, karena hal ini menodakan nama baik adiknya, nama baik keluarganya. Sakit hatinya mendengar Kwan Cu membongkar rahasia ini. Tadinya dia hendak mengurus hal ini dengan Kun Beng secara diam-diam jangan sampai terdengar oleh orang lain.






Pak-lo-sian membanting kakinya diatas tanah.
“Kalian muridku berdua! Mengapa diam saja? Hendak menyembunyikan rahasia dari gurumu?”

Kun Beng hanya menundukkan kepalanya, tak berani bergerak. Swi Kiat lalu menelan ludah beberapa kali kemudian terpaksa dia menuturkan dengan suara gemetar tentang perbuatan Kun Beng terhadap Kui Lan, adiknya. Bukan main kagetnya semua orang mendengar ini. Sui Ceng menjadi pucat sekali dan air matanya mengalir turun membasahi pipinya.

Kiu-bwe Coa-li lalu bangkit dan berkata,
“Sui Ceng, tidak ada apa-apa lagi yang perlu dibicarakan. Perjodohanmu putus sampai di sini! Hayo kita pergi!” Kiu-bwe Coa-li lalu melompat dan berlari pergi dari situ.

Sui Ceng ragu-ragu, lalu menghampiri Kwan Cu. Sambil menggigit bibir dia berkata,
“Kau iri hati, kau… kau….!”

Tangannya menampar dan “plak!” pipi Kwan Cu sudah ditamparnya. Pemuda itu hanya memandangnya dengan tenang. Sui Ceng terisak lalu berlari mengejar gurunya.

Pak-lo-sian marah bukan main.
“Kun Beng, murid macam engkau harus binasa, memalukan nama baik gurumu!”

Kakinya menendang, akan tetapi bukan Kun Beng yang terjungkal, melainkan Swi Kiat! Pemuda ini telah menubruk dan memasang dirinya sehingga dia mewakili sutenya. Tubuhnya terlempar bergulingan. Pak-lo-sian terkejut sekali, akan tetapi Swi Kiat yang patah tulang pundaknya terkena tendangan, telah maju berlutut,

“Suhu, mohon mengampuni nyawa sute. Dia… dia… adalah suami adik teecu, dia harus mengawini Kui Lan !”

Melihat ini semua, Kun Beng tiba-tiba berdiri dan sambil tertawa bergelak, dia melompat dan sebentar kemudian lenyap dari situ. Mendengar suara ketawa ini, semua orang bergidik, dan Yok-ong berkata seorang diri,

“Kasihan….. suara ketawa itu menunjukkan bahwa batinnya terpukul hebat dan mungkin otaknya terkena getaran” Ini hanya berarti bahwa ada kemungkinan Kun Beng menjadi gila!

Pak-lo-sian marah dan mengejar Kun Beng diikuti oleh Swi Kiat. Namun mereka tak dapat menemukan jejak Kun Beng lagi. Yok-ong lalu menghampiri Kwan Cu dan alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu menangis terisak-isak.

Ternyata bahwa Kwan Cu merasa menyesal setengah mati melihat akibat daripada pembongkaran rahasia itu. Ia dapat merasa betapa Sui Ceng terluka hatinya, Kiu-bwe Coa-li kecewa, Pak-lo-sian Siangkoan Hai malu dan marah, Swi Kiat berduka dan Kun Beng mungkin…. gila!

“Locianpwe…… aku…… aku berdosa besar…….”

“Sudahlah, hati yang menanggung cinta kasih memang membikin orang menjadi buta dan sembrono. Biar kuobati lukamu.”

Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya dan pergi sambil menundukkan mukanya. Yok-ong tahu akan kekerasan hati pemuda ini, maka dia lalu memasukkan sebungkus obat di kantong pemuda itu sambil berkata,

“Pakai obat ini pada lukamu, pasti akan sembuh.”

Akan tetapi Kwan Cu tidak menjawab dan terus berjalan dengan kepala tunduk. Mukanya pucat dan kakinya limbung. Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan segera pergi karena tahu bahwa dia tidak dapat menghibur pemuda yang luka hatinya itu.

Kwan Cu berjalan terus tanpa tujuan, memasuki hutan yang besar itu. Dadanya yang terluka sakit sekali rasanya, namun dia tidak ambil peduli. Kematian bukan apa-apa baginya pada saat itu. Rasa panas di pipinya lebih menyakitkan hati daripada rasa panas pada luka di dadanya. Anak panah itu masih menancap di dada, tidak dipedulikannya pula.

“Kwan Cu…. !” Ia menengok dan melihat Sui Ceng berdiri di depannya. “Kau…. kau kenapa?”

Kwan Cu melihat air mata mengalir di pipi gadis itu. la menarik napas panjang,
“Kau tentu tak mau mengampuni aku….. ” katanya lemah.

“Lukamu itu….. ! Mengapa belum diobati?”

Kwan Cu menundukkan mukanya dan tiba-tiba timbul pikiran yang amat aneh di kepalanya. Dengan tangan, dia menekan anak panah itu yang tentu saja masuk makin dalam ke dadanya! Ia merasa sakit sekali, akan tetapi dengan senyum aneh dia berkata,

“Lebih baik aku mati saja ”

Rasa sakit tak tertahankan lagi dan Kwan Cu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Tubuhnya sebetulnya kuat sekali dan biarpun anak panah itu menancap makin dalam, dia takkan apa-apa kalau batinnya tidak menerima pukulan hebat akibat peristiwa tadi.

Ketika dia siuman kembali, dia melihat dirinya duduk dan bersandar pada pohon. Bajunya yang atas sudah tidak ada, entah ke mana. Ia bertelanjang sebatas pinggang ke atas. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semua ini, karena dia melihat Sui Ceng telah duduk di depannya dan sedang merawat luka di dadanya. Anak panah itu telah dicabut dari dadanya dan kini dengan saputangannya, Sui Ceng tengah membersihkan lukanya.

Darah muda Kwan Cu memanaskan seluruh tubuhnya. Alangkah cantiknya wajah yang berada dekat di depannya. Alangkah indahnya rambut yang terurai itu, bibir yang merah dan penuh, mata yang masih membayangkan tangis.

“Sui Ceng…. kau baik sekali…. ”

Gadis itu tidak menjawab, hanya menggigit bibir menahan isak, akan tetapi kedua tangannya masih tetap bekerja membersihkan darah dari luka yang membiru itu.

“Sui Ceng….. alangkah….. alangkah cantiknya engkau……”

Dua tetes air mata mengalir di pipi gadis ini, matanya dikejap-kejapkan karena pandangan matanya terganggu dan bibirnya gemetar.

“Sui Ceng, sekali lagi….. aku…. aku cinta kepadamu….. ” suara Kwan Cu menjadi bisik-bisik karena kepalanya sudah berdenyut-denyut pula, pandangan matanya berkunang-kunang. “Kau…. Kau ampunkan aku, Sui Ceng, aku…… aku berdosa besar….. ”

Air mata dari mata gadis itu turun makin banyak dan kini bukan hanya bibirnya yang gemetar, bahkan sepuluh jari tangannya yang merawat luka ikut menggigil. Akan tetapi ia tetap membungkam dan matanya tak pernah melirik wajah Kwan Cu.

“Sui Ceng….. ” suara Kwan Cu lemah dan lirih sekali, “biarkan……. aku mati…… aku lebih suka mati daripada menyakiti hatimu….. ” Dan tiba-tiba kepala Kwan Cu terkulai, dia pingsan lagi untuk kedua kalinya!

Melihat ini, Sui Ceng menjadi kaget sekali. Ia memeluk tubuh pemuda itu dan menggoyang-goyangnya.

“Kwan Cu……. dengarlah….. aku ! Jangan mati, Kwan Cu…..!” Namun Kwan Cu tetap tidak bergerak.

Tubuh Kwan Cu tanpa dia ketahui sendiri, telah memiliki kekuatan yang aneh berkat latihan-latihan lweekang menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Racun yang dipasang di ujung anak panah yang dilepaskan oleh Kiam Ki Sianjin, adalah racun pemberian dari Coa-tok Lo-ong dan amat ganas. Kalau saja di dalam tubuh Kwan Cu tidak mengalir hawa murni dari sinkang yang sudah dilatihnya, pasti racun itu akan cepat menjalar dan menewaskannya.

Berkat kekuatan ini Kwan Cu siuman kembali. Ia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dari jauh. Suara itu makin lama makin dekat dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Sui Ceng menangis sambil memanggil-manggil namanya.

Ia tidak tahu bahwa wajahnya sudah pucat seperti mayat dan detak nadinya sudah berhenti, maka gadis itu mengira bahwa dia sudah mati! Padahal, hentian detak nadi ini adalah akibat dari pengerahan lweekang yang sudah tak dapat diukur tingginya lagi.

Tadi sebelum pingsan Kwan Cu menahan sakit dan mengerahkan lweekangnya sehingga dia berhasil menghentikan jalan darahnya, maka ketika Sui Ceng meraba urat nadi, tidak merasa ada detaknya lagi.






Tidak ada komentar :