*

*

Ads

Sabtu, 23 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 170

“Sui Ceng, terima kasih….. kau……kau menangis untukku……” katanya.

Sui Ceng memandang muka yang tadinya berada di atas pangkuannya itu. Melihat Kwan Cu “hidup kembali” ia cepat-cepat menurunkan kepala pemuda itu diatas tanah dan berkata,

“Kwan Cu, jangan kau mati…..”

Kwan Cu tersenyum.
“Tidak, Sui Ceng. Kalau kau menghendaki aku hidup, katakanlah bahwa kau memaafkan aku.”

“Aku…. aku maafkan kau, Kwan Cu.”

Sinar gembira membayang di wajah Kwan Cu. Ia mengerahkan tenaga dan berhasil bangkit duduk. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkannya bungkusan obat pemberian dari Yok-ong.

“Yok-ong locianpwe memberi obat ini untukku. Campurlah dengan air dan masukkan ke dalam luka di dadaku.”

Sui Ceng cepat menerima bungkusan itu dan pergi mencari air yang mudah didapat di dalam hutan itu, lalu tanpa banyak cakap ia mengobati luka di dada Kwan Cu. Luar biasa manjurnya obat dari Yok-ong ini, karena begitu obat itu dijejalkan ke dalam luka, rasa panas lenyap dan obat yang tadinya berwarna putih bersih setelah terkena air itu, kini perlahan-lahan berubah hitam!

Tak lama kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa dalam tubuh untuk mendesak keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang keluar dari lukanya makin deras, akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalam, lalu membuka matanya dan memakai pakaiannya lagi.

Semenjak tadi, Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar duka.

“Sui Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Kau sudah pergi dengan gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?”

Sui Ceng menjawab dengan kepala tunduk.
”Aku…. aku merasa menyesal sekali telah berlaku kasar padamu, telah……. telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu.”

Kwan Cu tertawa bergelak.
“Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tidak hanya menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau.”

Hening sesaat. Keduanya duduk dibawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya, Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini. Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,

“Sui Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?”

“Aku sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke gunung dan kelak aku akan menyusulnya.”

“Jadi kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?”

Sui Ceng mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri dan bertanya,

“Sui Ceng, setelah kau menyusulku, apakah yang hendak kau katakan? Kita terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku…. aku….”

“Kwan Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang…. Kun Beng dan adik Swi Kiat?” tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.

‘Untuk inikah kau menyusulku, Sui Ceng?”

“Ya, untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar sejelasnya.”






Untuk beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,

“Sui Ceng, kau…. kau amat mencinta Kun Beng…..?”

Merah sekali wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu amat mencintanya dan tentu saja akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.

Dengan air mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,
“Bagaimana aku tidak… tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dia adalah jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu akan tetapi dia… dia…”

Sampai di sini Sui Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu. Karena amat berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan ia menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia berada di pangkuan ibunya sendiri.

Kwan Cu merasa amat terharu dan kasihan,
“Sui Ceng, jangan berduka, adikku, tenangkanlah hatimu…. kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak perlu kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku…. aku mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan kau khawatir, marilah kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, menjauhkan diri dari segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan melindungimu Sui Ceng…..”

Tubuh gadis itu tersentak, akan tetapi ia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu. Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus ia akui bahwa kalau sekiranya tidak ada Kun Beng di dunia ini, ia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan Cu dengan hati terbuka. Ia sudah mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih baik daripada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The Kun Beng tunangannya itu. Ia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda itu pilihan ibunya sendiri?

“Sui Ceng, jangan kau takut.” Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. “Jangan kau takut kepada siapapun juga. Biarpun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang dapat membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat mengganggumu selama aku masih hidup!”

Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada pemuda itu dengan muka pucat. Ia menggelehg-gelengkan kepalanya dengan keras.

“Tidak! Tidak….. jangan begitu, Kwan Cu. Jangan menyeretku ke dalam lembah kehinaan!”

Kwan Cu terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan tetapi gadis itu menarik tangannya.

“Jangan sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku…. aku harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut kepada suthai, akan tetapi, aku harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah selamanya takkan mau menikah. Kecuali… kecuali kalau Kun Beng menikah dengan orang lain ” Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.

Kwan Cu menarik napas panjang.
“Betapapun juga, aku kagum padamu, Sui Ceng. Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu yang tidak tahu diri. Kau setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun Beng tidak melakukan perbuatan sesat itu, akulah orangnya yang akan membantu perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha menggagalkan perjodohan itu.”

Sui Ceng mengangguk-angguk terharu.
“Aku tahu, Kwan Cu, karenanya aku datang mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal itu?”

Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan menceritakan pula bahwa sekarang Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun Kau-ling sebelah utara Tang-shan yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo Lian Suthai.

Sebagaimana sudah dituturkan dibagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu dan akhirnya dia berkata dengan suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,

“Sui Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku telah menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar ceritaku, maka tentu kau juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu.”

“Kasihan? Dia seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada harganya!”

Kalau lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.

“Memang, Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda. Betapapun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani.”

Tiba-tiba Sui Ceng bangkit berdiri.
“Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin kita takkan bertemu lagi.”

“Eh, kau hendak ke mana?”

“Aku akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan agar supaya Kun Beng mengambilnya sebagai isteri yang sah!”

Kwan Cu makin kagum.
“Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur seperti ibumu.”

Tiba-tiba pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa gadis ini dapat mengambil keputusan lain tentang perjodohannya kalau saja Kun Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, dia mempunyai banyak harapan terhadap Sui Ceng! Maka cepat-cepat dia berkata,

“Tunggu dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mau mengawini Kui Lan.”

Kedua orang muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari cepat, tak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang diaku sebagai muridnya.

“Eh, bagaimana mungkin?” tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka. “Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa pergi?”

Nikouw itu tersenyum.
“Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian. Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong locianpwe.”

Kwan Cu melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia, Yok-ong malah sudah menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana-mana dan di waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak bicara.

“Kemana perginya Ngo Lian Suthai?”

“Sukar untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, Ngo Lian Suthai pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana.”

Kwan Cu menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada saat itu memang menjadi sebuah diantara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting berada di sebelah selatan kota raja, maka dua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat.

Makin kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu dan sekarang tahu benarlah gadis ini bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, jauh melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe Coa-li!

Diam-diam ia mengharapkan agar Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan, karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan Kwan Cu terhadapnya. Ia memang mencinta Kun Beng, akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah dengan Kui Lan, tentu ia akan dapat melupakannya dan kiranya tidak akan sukar baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu

**** 170 ****





Tidak ada komentar :