*

*

Ads

Senin, 25 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 171

Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tak sebatang pun anak panah mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu menancap di tanah mengelilingi mereka.

Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,

“Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?”

Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar daripada lukanya yang diderita dalam pertempuran dipuncak Tai-hang-san.

Baru saja kata-kata ini dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut.

Akan tetapi baik dia maupun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini. Setelah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah dimana.

Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng dan bersikap sopan santun. Gerak-geriknya yang halus dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang sastrawan muda, sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu. Adapun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Sedangkan orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.

Melihat bahwa yang datang sebagian besar adalah orang-orang tua, Kwan Cu lalu menjura dan bertanya,

“Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?”

”Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?” tanya nikouw itu sambil memandang tajam.

Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.

“Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?”

Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya disebut-sebut oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw, karena anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai telah menceritakan peristiwa menggemparkan di atas Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang kelihatan tidak memiliki kepandaian ini telah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?

“Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai.”

“Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai,” jawab kakek kecil bongkok.

“Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai,” jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.

Mendengar ini, Kwan Cu heran dan memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biarpun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.

Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.
“Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Kalau pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?”

Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata,

“Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali.”






Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri.
“Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok.”

Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata,

“Eh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?”

Pemuda itu tersenyum dan wajahnya makin menarik.
“Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku.” Setelah berkata demikian Lai Siang Pok menundukkan muka dan menutup mulut.

Diam-diam Sui Ceng berpikir sampai dimana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu ia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.

Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu. Kemudian setelah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah binasa oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?

Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum dan bertanya,

“Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan pula sahabat ini, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai.”

Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,

“Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu disini, bukan?”

Kwan Cu menjadi merah muka nya disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, karena siapakah yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?

“Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai.” jawab Kwan Cu.

“Pinni, datang untuk bertanya mengapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio.”

Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut.
“Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?” tanyanya penasaran.

Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dahulu di waktu mudanya, nikouw ini tentu berwajah cantik dan senyumnya masih membayangkan kegenitan seperti yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio.

“Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan tahu bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut.”

Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.
“Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!”

Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.

“Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, musuh besar kong-kongku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?” setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.

Lui Kong Nikouw mengeluarkan, suara jengekan.
“Huh, siapa percaya mulut laki-laki? Mengganggu atau tidak, kau telah mengalahkan muridku yang berarti penghinaan besar bagi nama Thian-san-pai, maka sekarang pinni sengaja menunggu disini untuk minta pengajaran darimu.”

“Nanti dulu, Lui Kong Nikouw!” kata Bu Kek Sian, “Pertandinganmu melawan Lu-taihiap mempunyai dasar permusuhan, maka harus dilakukan nanti setelah aku mencoba kepandaiannya. Jauh-jauh aku datang dari Go-bi karena tertarik mendengar kegagahan Lu-taihiap, maka biarlah aku yang hendak minta petunjuk lebih dulu.”

“Betul! Demikianpun pinceng, karena murid Siauw-lim-pai takkan melewatkan kesempatan bagus menerima petunjuk dari seorang pandai!” menyambung Kong Seng Kak Hwesio.

Sambil tersenyum Kwan Cu menoleh kepada Lai Siang Pok dan berkata,
“Dan Lai-enghiong ini tentunya hendak membalaskan kematian gurunya, bukan?”

Dengan muka kemalu-maluan pemuda itu menjawab.
“Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berusaha membalas pembunuh gurunya, akan tetapi karena kepandaianku sangat terbatas, biarlah siauwte minta pengajaran paling akhir saja.”

Bu Kek Sian si kakek kecil bongkok tertawa terkekeh-kekeh dan melompat maju. Tangannya telah mengetuarkan sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya.

“Lu-taihiap, harap kau tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang lihai agar lebih terbuka mataku yang sudah agak lamur,” katanya sambil tertawa-tawa.

Biarpun dia kelihatan lucu dan bicara merendah, namun di dalam kata-katanya itu terkandung nada yang sombong. Melihat gerak-gerik orang ini, Kwan Cu merasa bahwa Sui Ceng saja akan dapat menandinginya. Semua orang ini tidak memandang mata kepada Sui Ceng, kecuali Lai Siang Pok, maka diam-diam Kwan Cu merasa tidak puas.

Melihat diri sendiri dipuji-puji dan orang-orang itu mengesampingkan Sui Ceng, dia merasa bahwa hal ini merendahkan derajat gadis itu. Sambil tersenyum, dia melirik ke arah Sui Ceng dan berkata,

“Sui Ceng, Lo-enghiong dari Go-bi ini pandai mempergunakan sabuknya dan melihat sabuk yang hebat ini hatiku sudah gentar sekali. Kau pernah mempelajari ilmu mainkan sabuk, sukakah kau sedikit mengeluarkan tenaga membagi tugas yang berat menghadapi para orang gagah ini?”

Kwan Cu sengaja memberi kesempatan kepada Sui Ceng untuk memperlihatkan kepandaiannya menghadapi orang sombong ini, karena memang tadi rantai panjang itu dilibatkan di pinggangnya seperti sabuk.

Sui Ceng mengerti kehendak Kwan Cu. Memang nona ini sudah merasa mendongkol sekali. Ia diperkenalkan sebagai murid Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi orang-orang itu kecuali Siang Pok, tidak mempedulikannya. Bukankah sama halnya dengan tidak memandang mata kepada gurunya?

Sesungguhnya bukan demikian. Orang-orang ini tentu saja sudah mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh yang memiliki kepandaian mengagumkan, akan tetapi peristiwa di puncak Tai-hang-san itu terdengar oleh mereka dan mereka tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian sudah kalah oleh fihak Kiam Ki Sianjin, maka mereka tidak begitu menaruh perhatian lagi.

“Kalau saja tokoh besar yang perkasa dari Go-bi-pai tidak menganggap terlalu rendah untuk menghadapiku, tentu saja aku mau mewakili kau,” jawab Sui Ceng.

Kwan Cu menghadapi Bu Kek Sian dan berkata,
“Bu Kek Sian Lo-enghiong. Fihak yang hendak mengujiku ada empat orang dan kalau aku hanya maju seorang diri, itu tidak adil namanya. Juga kurang memandang mata kepada nona ini sebagai murid Kiu-bwe Coa-li. Hanya yang meragukan, apakah ada yang berani menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li?!”






Tidak ada komentar :