*

*

Ads

Senin, 25 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 172

Bu Kek Sian terkekeh.
“Nama besar Kiu-bwe Coa-li siapakah yang belum mendengarnya? Tentu saja aku tidak berani memandang rendah, akan tetapi setelah aku melayani nona ini beberapa jurus, aku masih mengharapkan sedikit petunjuk darimu.” Kata-kata ini saja sudah menunjukkan kesombongan Bu Kek Sian, karena dengan kata-kata ini dia mau menyatakan bahwa dalam beberapa jurus saja dia pasti akan dapat mengalahkan nona muda ini. Kalau dia menganggap bahwa dia takkan dapat mengalahkan dan sebaliknya dia yang akan kalah, tentu saja orang yang sudah kalah tidak berani maju lagi!

Sui Ceng menjadi panas perutnya. Tangannya bergerak dan tahu-tahu sinar merah berkelebat ketika dia telah meloloskan ang-kin (sabuk merah) yang melibat di pinggangnya.

“Bu Kek Sian Lo-sicu, marilah kita mengadu senjata.” tantangnya.

Bu Kek Sian terkejut dan heran sekali. Benar-benarkah nona ini akan menghadapi rantai bajanya dengan sehelai sabuk sutera? Akan tetapi dia pun bukan seorang yang tidak dapat mempergunakan pikirannya. Kalau seorang lawan sudah berani berlaku demikian berani, tentulah lawan itu memiliki kepandaian yang tinggi. Pula nona ini mempergunakan sabuk sutera atas kehendaknya sendiri, maka amat kebetulan sehingga dia tak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

“Baiklah, kau sambut seranganku, Nona!”

Bu Kek Sian lalu menggerakkan tangannya dan rantai bajanya meluncur dengan lengkungan lebar menyerang kepala Sui Ceng. Gadis ini merendahkan tubuhnya kemudian mengelak ke kiri karena ia tahu bahwa setelah luput menghantam kepala, rantai yang panjang itu ujungnya masih akan menghantam tubuh bagian lain.

Benar saja dugaannya, ujung rantai itu melayang dan dari pinggir menotok ke arah iganya. Sambil mengelak cepat, sabuk merah meluncur bagaikan ular merah yang hidup, gerakannya tak terduga dan berlenggang-lenggong, cepat menotok ke arah leher tokoh Go-bi-pai itu.

Bu Kek Sian kagum melihat gerakan nona yang cepat ini. Ia segera menyendal rantainya sehingga ujung rantai yang tak berhasil menotok iga, tiba-tiba tertarik kembali dan menyambar ke arah sabuk merah. Bu Kek Sian sengaja mengerahkan tenaganya agar supaya sabuk merah itu akan terbetot putus oleh rantai bajanya.

Akan tetapi, sabuk merah itu bergerak memecut dan terdengar suara “tar! tar!” dua kali seperti bunyi cambuk seorang penggembala sapi. Kemudian ujung sabuk merah yang terbentur rantai itu melayang kembali dan dengan lengkungan yang amat manis, ujung sabuk ini menotok ke arah jalan darah Im-yang-hiat yang berada di ulu hati kakek ini.

Bu Kek Sian mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia melempar dirinya ke belakang. Bukan main hebatnya serangan itu dan alangkah ganasnya! Baru mempergunakan sehelai sabuk saja, gadis ini sudah demikian lihainya, apalagi gurunya, Kiu-bwe Coa-li yang mempergunakan pecut dengan sembilan ekornya!

Bu Kek Sian menjadi hati-hati sekali dan kini dia memutar rantainya cepat sekali untuk mendesak Sui Ceng. Akan tetapi, Sui Ceng adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja dalam hal kesaktian ia telah mewarisi kepandaian gurunya, maka dengan mudah ia dapat mengimbangi gerakan senjata lawan, bahkan ia kini bergerak demikian cepatnya sehingga tubuhnya lenyap dan yang kelihatan hanya bayangannya saja yang didahului oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuk suteranya.

Beberapa jurus kemudian, terdengar suara rantai terlepas di atas tanah dan Bu Kek Sian melompat mundur dengan muka pucat. Sambungan sikunya telah terkena totokan ujung sabuk yang menyebabkan tangannya lumpuh dan rantainya terlepas. Kakek ini memandang kepada Sui Ceng dengan mata terbuka lebar-lebar kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil mengomel,

“Aku Bu Kek Sian sungguh manusia tak berguna! Bagaimana masih berani menantang Lu-taihiap?? Bagaimana mataku buta tidak melihat bahwa murid Kiu-bwe Coa-li demikian hebatnya?”

Melihat kekalahan Bu Kek Sian oleh nona muda yang cantik itu, Kong Seng Kak Hwesio kagum sekali. Ia melompat maju dengan tangan memegang sebatang toya hitam dan berkata gembira,

“Benar-benar menyenangkan sekali hari ini bertemu dengan orang-orang muda yang lihai. Bagus, bagus, biar pinceng menerima beberapa jurus untuk menambah bekal membasmi iblis penjajah!”

Melihat gerakan hwesio Siauw-lim-pai ini, Kwan Cu dapat menduga bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi dan tenaganya amat besar. Selain ini, juga seorang patriot yang gagah perkasa. Oleh karena itu, dia segera maju sendiri, khawatir kalau-kalau Sui Ceng kesalahan tangan melukai hwesio kosen ini.






“Losuhu, biarlah boanpwe yang menerima kehormatan ini,” katanya dan memberi tanda dengan mata agar Sui Ceng mundur.

Gadis ini pun tidak ada nafsu lagi untuk bertempur, karena demikianlah watak Sui Ceng yakni ia akan makin bersemangat kalau menghadapi lawan-lawan yang tangguh, sebaliknya, kepandaian Bu Kek Sian dianggapnya masih belum cukup tinggi sehingga ia pun memandang rendah hwesio muka hitam ini.

Kong Seng Kak Hwesio berseri wajahnya.
“Bu Kek Sian Bengyu tidak punya peruntungan baik, berbeda dengan pinceng yang kini mendapat kesempatan belajar satu dua jurus ilmu silat dari Lu-taihiap,”

Sambil berkata demikian, toyanya diputar di atas kepalanya bagaikan kitiran cepatnya, akan tetapi hwesio ini tidak segera menyerang.

“Mulailah, Losuhu,” kata Kwan Cu.

Sebaliknya dari menyerang, hwesio muka hitam itu bahkan menurunkan kembali toyanya dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Taihiap harap segera mengeluarkan senjata.”

Kwan Cu makin kagum melihat hwesio ini. Sudah terang hwesio ini telah mendengar akan sepak terjangnya di Tai-hang-san dan tahu bahwa dia telah mengalahkan tokoh-tokoh besar, namun hwesio ini masih merasa tidak adil kalau menghadapi dia yang bertangan kosong. Timbul rasa sukanya dan dia mendapat kenyataan bahwa memang jago-jago Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang gagah.

“Kita hanya mau mencoba tenaga, berbahaya sekali kalau bertanding menggunakan senjata. Apakah tidak lebih baik kalau menguji tenaga dengan saling mendorong atau membetot toya itu? Masing-masing boleh berusaha bagaimanapun juga, boleh menonjok atau memukul, pendeknya siapa yang melepaskan toya atau roboh, terhitung kalah.”

Kong Seng Kak Hwesio girang sekali. Memang dia agak jerih menghadapi ilmu silat pemuda ini yang dikabarkan amat lihai dan aneh, akan tetapi dalam hal tenaga gwakanng maupun lweekang, dia sudah terkenal sekali. Masa dia akan kalah oleh pemuda yang kelihatannya tidak bertenaga besar itu? Usul yang diajukan oleh pemuda itu menguntungkan dirinya dan kalau dia bisa menang, biarpun dalam cara adu tenaga yang sederhana, bukankah namanya akan terangkat tinggi sekali karena dapat mengalahkan Lu-taihiap yang demikian tersohornya? Dengan cepat dia segera menerima usul ini.

Kwan Cu memegang tongkat yang diangsurkan kepadanya. Kedua orang itu memegang ujung toya dan memasang kuda-kuda.

“Lu-taihiap, bersiaplah, pinceng mulai!” seru Kong Seng Kak Hwesio sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba dia mendorong toya yang dipegangnya itu dengan tenaga sepenuhnya.

Kwan Cu merasa betapa tenaga hwesio ini memang hebat sekali dan tahu pula bahwa Kong Seng Kak Hwesio mempergunakan tenaga gwakang, maka dia lalu menahan dorongan itu dengan pengerahan tenaga lemas sehingga hwesio Siauw-lim-pai itu merasa seluruh lengannya gemetar.

Tiba-tiba Kong Seng Kak Hwesio melakukan gerakan membetot dengan tiba-tiba dan disentakkan untuk mencabut toya agar terlepas dari tangan Kwan Cu atau kalau pemuda itu menahan, agar tubuh Kwan Cu terbawa ke depan.

Akan tetapi kembali dia kecelik karena sedikit pun pemuda itu tidak bergeming. Ia tak menyangka hanya dengan melihat pundaknya saja, Kwan Cu sudah dapat mengetahui terlebih dulu gerakan apa yang hendak dia lakukan, maka pemuda itu dapat berjaga-jaga lebih dulu.

Mendadak hwesio itu mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya merendah, lalu dengan pengerahan tenaga luar biasa dia mendorong toya ke atas untuk mengangkat tubuh Kwan Cu atau untuk memaksa pemuda itu melepaskan toya.

Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa tenaga gwakang dari lawannya ini benar-benar besar sekali. Ketika dia melirik ke arah wajah hwesio itu, tahulah dia bahwa kalau dia melawan dengan lweekang, maka tak dapat tidak tenaga gwakang itu akan memukul kembali dan dapat mendatangkan luka pada Kong Seng Kak Hwesio. Oleh karena itu, Kwan Cu mengambil jalan lain. Ia menyimpan tenaga dan ketika lawannya menyontekkan toya ke atas, dia menurut saja sehingga tubuhnya terbawa ke atas! Akan tetapi, biarpun begitu, Kwan Cu masih memegangi ujung toya dan keadaan tubuhnya masih tetap dalam kuda-kuda seperti tadi.

Tidak hanya Kong Seng Kak Hwesio, juga yang lain-lain merasa kagum sekali. Hwesio itu menggerak-gerakkan toyanya dengan tenaga besar, mengobat-abitkan toyanya dengan maksud agar pegangan Kwan Cu terlepas, namun sia-sia belaka, agaknya tubuh pemuda itu sudah menjadi satu dengan toya yang dipegangnya.

Tiba-tiba Kwan Cu berseru nyaring dan kedua kakinya bergerak di udara, tubuhnya melengkung dan dengan sekali mengenjotkan kaki, dia melompat dengan toya masih dipegangnya.

Kong Seng Kak Hwesio merasa betapa tenaga betotan itu luar biasa sekali, akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan memegangi ujung toya seeratnya. Oleh karena ini toya yang dipegangnya itu terputar dan tubuhnya ikut terputar-putar.

Kwan Cu bergerak terus, mengerahkan tenaga dan ginkangnya sehingga bagaikan seekor burung yang kakinya diikat tali yang dipegang oleh Kong Seng Kak Hwesio, dia “terbang” mengelilingi hwesio itu. Setelah beberapa belas kali putaran, akhimya Kong Seng Kak Hwesio tidak kuat lagi menahan. Ia melepaskan pegangan toyanya dan meramkan mata mengatur napas melenyapkan rasa pening di kepalanya. Kemudian dia memberi hormat kepada Kwan Cu sambil menerima kembali toyanya.

“Aduh, nama besar Lu-taihiap bukan omong kosong belaka. Pinceng mengaku kalah.”

Melihat betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya.

“Lu Kwan Cu, kau menjadi makin sombong dan kepala besar saja mendengar pujian-pujian itu. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurang ajaranmu terhadap muridku.”

“Suthai, aku tidak hendak mencari permusuhan.”

“Jadi kau bersedia minta maaf dan berjanji takkan mengganggu muridku lagi ?”

“Muridmu itu aku takkan mengganggu seujung rambutnya, akan tetapi suaminya, An Kai Seng, adalah musuh besarku dan harus kubunuh!”

“Kau berjanji tidak akan mengganggu muridku akan tetapi mau membunuh suaminya? Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!”

Biarpun berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Ni kouw sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam hoat, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang itu mengurung dengan gulungan sinamya yang berkilauan.

Diam-diam Sui Ceng kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, diam-diam ia memperhatikan dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah. Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu.

Sebaliknya, Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang cepat itu.

Sampai puluhan jurus dua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan Cu bahkan kini pemuda itu mulai mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk mencoba merampas pedang lawan.

Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya telah kena dirampas oleh Kwan Cu. Nikouw itu hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,

“Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Mari kita membalas sakit hati suhu!”

Kwan Cu terheran-heran karena dia tadi tidak pernah melihat suheng (kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya telah menyerangnya dari samping.






Tidak ada komentar :