*

*

Ads

Senin, 25 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 173

Melihat betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya.

“Lu Kwan Cu, kau menjadi makin sombong dan kepala besar saja mendengar pujian-pujian itu. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurang ajaranmu terhadap muridku.”

“Suthai, aku tidak hendak mencari permusuhan.”

“Jadi kau bersedia minta maaf dan berjanji takkan mengganggu muridku lagi ?”

“Muridmu itu aku takkan mengganggu seujung rambutnya, akan tetapi suaminya, An Kai Seng, adalah musuh besarku dan harus kubunuh!”

“Kau berjanji tidak akan mengganggu muridku akan tetapi mau membunuh suaminya? Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!”

Biarpun berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Ni kouw sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam hoat, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang itu mengurung dengan gulungan sinamya yang berkilauan.

Diam-diam Sui Ceng kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, diam-diam ia memperhatikan dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah. Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu.

Sebaliknya, Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang cepat itu.

Sampai puluhan jurus dua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan Cu bahkan kini pemuda itu mulai mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk mencoba merampas pedang lawan.

Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya telah kena dirampas oleh Kwan Cu. Nikouw itu hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,

“Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Mari kita membalas sakit hati suhu!”

Kwan Cu terheran-heran karena dia tadi tidak pernah melihat suheng (kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya telah menyerangnya dari samping.

Ketika dia menengok, temyata olehnya bahwa yang menyerangnya dengan sebatang tongkat itu bukan lain adalah pemuda bemama Lai Siang Pok tadi. Kalau saja dia tidak sedang diancam oleh tongkat dan pedang kanan nikouw, tentu Kwan Cu akan berdiri seperti patung saking herannya. Bagaimana seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan tahun disebut kakak seperguruan oleh nikouw tua ini?

Akan tetapi kenyataannya memang demikian. Seperti diketahui, Lai Siang Pok adalah murid dari Hek-i Hui-mo dan pemuda ini dapat mewarisi ilmu tongkat yang tinggi dari Hek-i Hui-mo karena dia pun ikut menghafal bunyi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.

Kemudian gurunya itu bertemu dengan Lui Kong Nikouw dan diam-diam di antara dua orang pendeta tua ini terdapat hubungan yang tidak bersih. Untuk menutupi rahasia ini, Lui Kong Nikouw yang menjadi seorang tokoh Thian-san-pai yang tersesat dan tidak diakui oleh partai Thian-san lagi, diaku murid oleh Hek-i Hui-mo.

Karena sebagai murid baru, tentu saja menurut peraturan ia harus menyebut suheng kepada Siang Pok. Hal ini pun dilakukan oleh Lui Kong Nikouw dengan girang, karena dia bekas wanita genit sekali tentu merasa senang menyebut seorang pemuda ganteng sebagai kakak seperguruannya, sungguhpun pemuda itu patut menjadi cucunya! Namun dasar kepandaian Lui Kong Nikouw adalah dasar ilmu silat Thian-san-pai, sedangkan dari Hek-i Hui-mo ia hanya menerima beberapa macam ilmu pukulan saja.






Lai Siang Pok seorang pemuda pendiam dan dia melakukan serangan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Akan tetapi ketika Kwan Cu menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang rampasannya, pemuda ini diam-diam kagum karena tenaga Siang Pok bahkan lebih besar daripada tenaga nikouw itu. Hal ini adalah karena Siang Pok melatih diri dengan lweekang menurut petunjuk Im-yang Bu-tek Cin-keng yang pernah didengamya dari pujangga Tu Fu. Namun, kalau suhunya sendiri tidak kuat melawan Kwan Cu, apalagi dia?

Sebentar saja, ketika Kwan Cu mengerahkan tenaga dan membabat dengan pedangnya, tongkat di tangan Siang Pok patah menjadi dua dan pedang di tangan Lui Kong Nikouw terbang entah kemana!

Dua murid Hek-i Hui-mo ini menjadi pucat dan memandang dengan tercengang.
“Lu-taihiap benar-benar tangguh. Sedikitnya siauwte harus belajar dua puluh tahun lagi baru berani mengukur tenaga kembali.” kata Siang Pok sambil menjura kepada Kwan Cu, lalu dia melompat dan pergi tanpa pamit kepada Lui Kong Nikouw.

Pemuda ini memang tidak suka kepada nikouw itu karena dia telah dapat mengetahui hubungan antara suhunya dan “sumoi” ini. Selain itu, juga Siang Pok tidak suka kepada suhunya yang dianggap jahat dan membantu penjajah. Bahkan diam-diam pemuda ini membantu perjuangan rakyat dan sebagai seorang pemuda Han bekas murid pujangga Tu Fu, darah kepatriotan masih mengalir di tubuhnya. Kelak pemuda ini akan menjadi seorang yang berilmu tinggi dan mendapat nama besar di dunia kang-ouw.

Lui Kong Nikouw juga tidak berkata apa-apa apa lagi, dengan muka merah ia lalu menggerakkan kedua kakinya, pergi dari situ tanpa pamit.

Terdengar tertawa terbahak-bahak dan yang tertawa adalah Kong Seng Kak Hwesio.
“Ha, ha, ha! Memang benar, gurunya naga muridnya tentu naga pula. Ang-bin Sin-kai adalah seorang perkasa yang berjiwa gagah, muridnya pun demikian. Lu-taihiap, sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi, mengapa kau tidak mau lekas-lekas turun tangan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?” ,

Kwan Cu menjura.
“Aku yang muda dan bodoh, biarpun tidak secara terang-terangan membantu perjuangan, akan tetapi sesungguhnya aku masih melakukan tugasku membalas dendam atas kematian suhu dan kong-kong Lu Pin. Lo-suhu, kau yang sering kali berada di dalam peperangan, pernahkan kau mendengar nama Ngo Lian Suthai ketua dari kuil Kwan-im-bio ?”

“Ah, dia? Benar-benar seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa suci. Dia dan muridnya berada di tempat pertempuran tidak jauh dari sini, setiap hari dia dan muridnya mengurus dan merawat para pejuang yang terluka.”

“Lo-suhu, di manakah tempat itu?” Sui Ceng ikut bertanya dengan penuh keinginan tahu.

“Di sebuah bio tua di dusun Kiang-cee sebelah barat hutan ini. Semua pejuang mengenal tempat itu baik-baik, dan setiap orang yang terluka dalam pertempuran melawan barisan kerajaan, selalu diantarkan ke tempat itu untuk dirawat.”

Mendengar ini, Sui Ceng lalu berkata kepada Kwan Cu,
“Mari kita cepat pergi ke Kiang-cee!”

“Baik,” jawab Kwan Cu dan keduanya segera memberi hormat kepada dua orang tua yang gagah itu, lalu cepat berlari menuju ke barat. Dua orang tua dari Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai itu memandang penuh kekagumam.

**** 173 ****





Tidak ada komentar :