*

*

Ads

Senin, 25 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 174

Dusun Kiang-cee sudah bukan merupakan dusun lagi karena semua penghuninya sudah pindah, meninggalkan dusun yang menjadi kosong dan sunyi. Hal ini disebabkan karena dusun itu termasuk daerah pertempuran antara para pejuang dan tentara kaisar, maka penduduk menjadi ketakutan dan lari mengungsi.

Banyak pula diantara penduduk laki-laki yang masih muda menggabungkan diri dengan para pejuang rakyat yang sebagian besar terdiri dari para petani yang dipimpin oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang berjiwa patriot.

Dusun itu dijadikan markas kalau malam dan kalau siang menjadi kosong karena semua penghuninya maju perang. Di sebuah kuil kuno yang besar menjadi semacam “hospital” setelah datang Ngo Lian Suthai dan muridnya yang bukan lain adalah Gouw Kui Lan.

Semenjak tinggal di kuil Ngo Lian Suthai, gadis ini mendapat banyak petuah dan akhimya ia membuka semua rahasianya kepada wanita suci itu. Ngo Lian Suthai menghibumya dan menyatakan bahwa dosa itu hanya dapat ditebus dan dicuci dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik lahir batin sebanyak mungkin. Maka dengan suka rela Kui Lan lalu menjadi muridnya dan ikut membantu perjuangan dengan jalan merawat para pejuang yang terluka dalam peperangan.

Pada hari itu di dalam dusun kedatangan dua orang pemuda yang datang dari lain jurusan. Pemuda pertama adalah The Kun Beng dan orang muda ini setelah mendengar bahwa Kui Lan berada disitu, langsung menuju ke kuil. la merasa amat menyesal akan semua perbuatannya dan ingin minta ampun kepada Kui Lan, akan tetapi oleh karena cinta kasihnya sudah dicurahkan kepada Sui Ceng, setelah mendapat pengampunan dia akan pergi lagi bertapa.

Ia tahu bahwa tak mungkin dia menjadi suami Sui Ceng setelah rahasianya terbongkar dan dia tidak mau pula menjadi suami Kui Lan karena memang dia tidak mencinta gadis ini.

Kebetulan sekali, baru saja dia tiba di depan kuil, dari lain jurusan datang Gouw Swi Kiat, suhengnya!

“Bagus, Kun Beng, kau datang menebus dosa! Lekas-lekas kita menemui Lan-moi dan pernikahan akan dapat dilakukan di sini juga,” kata Swi Kiat girang.

Hati kakak ini tak lain hanya ingin menolong keadaan adiknya yang tentu akan rusak namanya kalau tidak menjadi isteri Kun Beng.

“Bukan itu maksud kedatanganku, Suheng. Aku memang datang untuk mohon ampun dari adikmu, akan tetapi aku takkan menikah dengan siapapun juga.”

Tentu saja Swi Kiat menjadi marah sekali, mukanya merah dan alisnya berdiri.
“Orang she The!” bentaknya menudingkan telunjuknya. “Apakah sampai saat ini, setelah rahasiamu diketahui oleh suhu, kau masih membandel dan tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Kau harus mengawini adikku, kalau tidak, terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu untuk menebus hinaanmu!”

Dengan marah sekali Swi Kiat mencabut keluar senjatanya yakni sepasang kipas maut yang amat lihai. Biarpun menghadapi ancaman ini, Kun Beng sudah bulat hatinya. la menghela napas dan menjawab,

“Biar kau akan membunuhku, aku tak dapat memilih jalan lain, suheng. Kalau aku memaksa diri mengawini adikmu, aku hanya akan membikin dia menderita selama hidupnya, karena terus terang saja, aku tidak mencinta adikmu. Dulu perbuatan kami dilakukan karena kami sudah mata gelap dan terdorong oleh nafsu jahat.”

“Keparat, jadi kau mencinta Sui Ceng?”

Pada saat pertanyaan ini diajukan, datanglah Kwan Cu dan Sui Ceng, akan tetapi Kwan Cu cepat menarik tangan Sui Ceng, diajak bersembunyi di belakang tembok kuil sambil mengintai dan mendengarkan. Hati Sui Ceng berdebar mendengar percakapan yang menyangkut namanya itu.

“Benar, Suheng. Aku mencinta Sui Ceng.”

“Jahanam!”

“Mungkin aku jahanam, Suheng. Akan tetapi itulah suara hatiku dan aku tidak bisa melakukan sesuatu di luar suara hatiku.”

“Pengecut besar, anjing tak kenal budi, kalau begitu biarlah kita mengadu nyawa disini!” bentak Swi Kiat yang cepat menggerakkan sepasang kipasnya menyerang dengan hebat.






Kun Beng tentu saja sudah tahu benar akan kelihaian suhengnya dan akan bahayanya sepasang kipas maut itu, maka sambil melompat mundur dia pun mencabut tombaknya.

Memang Pak-lo-sian Siangkoan Hai memiliki dua macam keahlian yang membuat namanya terkenal sekali di kalangan kang-ouw, yakni permainan sepasang kipas maut dan permainan tombak.

Sesuai dengan bakat masing-masing, kakek ini menurunkan pelajaran ilmu tombak kepada Kun Beng dan ilmu kipas kepada Swi Kiat. Akan tetapi tentu saja biarpun telah memiliki keahlian masing-masing, kedua orang muda itu mengenal baik ilmu senjata yang dua macam itu.

Pertandingan antara kakak beradik seperguruan ini berjalan hebat sekali, akan tetapi masih berat sebelah. Swi Kiat menyerang dengan nekat dan dengan amarah meluap-luap hatinya sakit sekali melihat Kun Beng yang sudah merusak nama baik adiknya dan kini tidak mau bertanggung jawab untuk membersihkan nama adiknya. Tujuannya hanya satu, membunuh atau terbunuh.

Sebaliknya, Kun Beng sudah merasa akan kesalahan dan dosanya dan hatinya amat bersedih. Maka tidak mengherankan apabila permainan tombaknya tidak selihai biasanya, bahkan boleh dibilang kalut. la selalu berada di fihak yang terserang dan segera terdesak hebat.

Saat yang membuka kesempatan baik bagi swi Kiat tidak disia-siakan dan kipas tangan kirinya telah menotok pundak Kun Beng. Baiknya pemuda ini cepat mengelak sehingga hanya tulang pundaknya saja yang putus, karena kalau mengenai urat nadi, pasti dia akan tewas.

Sui Ceng sejak tadi memandang pertempuran itu dengan muka pucat. la terharu mendengar bahwa Kun Beng amat mencintanya, cocok dengan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi ia pun penasaran menyaksikan sifat pengecut dari bekas tunangannya itu. Ketika pertempuran terjadi, ia hanya memandang saja.

Akan tetapi melihat Kun Beng terluka, hatinya tidak tega. Betapapun juga harus ia akui bahwa ia mencinta pemuda ini dan tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika melihat Kun Beng terdesak hebat, ia lalu melompat dan pedangnya sudah menangkis kipas Swi Kiat.

Pemuda ini tertegun, akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Sui Ceng, marahnya makin menjadi. Wanita inilah yang menjadi gara-gara sehingga Kun Beng menolak untuk mengawini adiknya. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menyerang Sui Ceng dengan pukulan-pukulan maut dari sepasang kipasnya.

Akan tetapi sekarang dia menghadapi lawan yang amat tangguh, karena seperti juga dia, Sui Ceng amat marah dan melawan dengan sama hebatnya, tidak seperti Kun Beng tadi yang banyak mengalah.

Diam-diam Kwan Cu kagum melihat ilmu kipas yang dimainkan oleh Swi Kiat. Dari gerakannya, tahulah Kwan Cu bahwa sepasang kipas itu dipergunakan dengan dua tenaga yang berlawanan. Kipas kiri lemas dan halus gerakannya, mengandung tenaga Im yang mengandalkan lweekang tinggi, sedangkan kipas kanan kasar dan ganas, penuh tenaga Yang.

Perbedaan yang bertentangan inilah yang biasanya menyukarkan lawan, seakan-akan lawan menghadapi dua orang lawan yang berbeda kepandaian dan tenaganya. Pantas saja bahwa ilmu kipas ini disebut Im-yang Po-san dan kehebatannya tiada keduanya dalam ilmu silat kipas pada masa itu.

Namun Sui Ceng bukanlah lawan yang empuk. Gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li dan ilmu pedangnya hebat dan ganas. Apalagi sekarang Sui Ceng mengeluarkan pula sabuk merahnya sehingga dengan sepasang senjata ini, ia dapat mengimbangi senjata lawan.

Sabuknya adalah senjata yang lemas akan tetapi dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah sehingga amat tepat untuk dipergunakan menghadapi senjata kipas di tangan swi Kiat. Maka pertempuran yang terjadi sekarang lebih seru daripada tadi.

Kwan Cu menjadi bingung dan juga berduka sekali. Ketika dia mendapat kenyataan betapa Sui Ceng mencinta Kun Beng sehingga melupakan sakit hati dan masih mau membantu ketika melihat Kun Beng terancam bahaya, dia merasa sedih sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Kun Beng tidak mau menikah dengan Kui Lan yang berarti Sui Ceng juga tidak akan menikah selamanya, hatinya tertindih perasaan duka dan kecewa yang hebat. Maka kini bingunglah dia.

Melihat Swi Kiat, dia amat kasihan dan kalau saja Swi Kiat tadi membunuh Kun Beng, tentu Kwan Cu takkan mau peduli. Sekarang dia melihat Swi Kiat bertempur mati-matian dengan Sui Ceng, bagaimana dia harus bertindak? Menghentikan pertempuran dengan Sui Ceng, pemuda ini tentu berkukuh hendak membunuh Kun Beng, dan Sui Ceng pasti akan melindungi Kun Beng dengan mati-matian. Apa akalnya?

Sebelum Kwan Cu yang kebingungan melihat pertempuran makin menghebat itu dapat mengambil keputusan, tiba-tiba berkelebat bayangan dan terdengar seruan Pak-lo-sian Siangkoan Hai

“Berhenti, tahan senjata!”

Mendengar suara suhunya, Swi Kiat cepat melompat ke belakang dan segera menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu… !”

Sui Ceng juga menahan senjatanya tanpa melompat dan berdiri tegak, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan ia sama sekali tidak merasa takut biarpun menghadapi kakek yang luar biasa itu.

“Swi Kiat, apa artinya ini? Mengapa kau bertempur melawan Bun-siocia murid Kiu-bwe Coa-li?” tanya kakek itu sambil menyapu keadaan di situ dengan matanya. Melihat Kun Beng berada di situ dan terluka pundaknya, dia makin tidak mengerti.

“Suhu, teecu bertemu dengan Sute di sini dan teecu minta pertanggungan jawabnya terhadap Lan-moi. Ketika Sute menolak, teecu berdua lalu bertempur mati-matian.”

“Bagus, manusia macam Kun Beng memang harus dibikin mampus,” kata Pak-lo-sian, akan tetapi dalam suaranya terdengar nada sedih.

“Teecu berhasil melukainya, akan tetapi tiba-tiba muncul Bun-siocia yang membelanya dan teecu terpaksa melawannya.”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada Sui Ceng dengan pandang mata terheran-heran, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,

“Sungguh hebat dan patut dipuji kesetiaan nona Bun. Melihat bangsat Kun Beng mengkhianati pertunangannya, ia masih tetap mencinta. Sukar dicari cinta kasih yang demikian besar!”

Wajah Sui Ceng menjadi merah sampai ke telinganya.
“Locianpwe, jangan bicara sembarangan! Dia itu bekas tunanganku yang dipilih oleh mendiang ibu, maka melihat dia hendak dibunuh orang dengan alasan dipaksa menikah, tentu saja aku tidak tinggal diam!”

Pak-lo-sian mengeluarkan jengekan dari hidungnya.
“Hem, dia itu bukan tunanganmu lagi dan dia adalah muridku yang murtad. Urusan antara kami guru dan murid, kau murid Kiu-bwe Coa-li ada sangkut-paut apakah? Aku mau membunuh muridku sendiri yang berdosa, kau mau apa?”

Setelah berkata demikian dengan langkah lebar Pak-lo-sian menghampiri Kun Beng yang melihat gurunya demikian marah, segera berlutut dengan kepala tunduk.

“Kun Beng kau sudah tahu akan dosamu?”

“Sudah, Suhu. Teecu berdosa besar dan menanti hukuman mati di tangan Suhu.”

“Bangsat rendah! Mengapa kau tidak mau mempertanggung-jawabkan kesalahanmu terhadap adik suhengmu?”

“Teecu hanya akan merusak hidupnya dan hidup teecu sendiri kalau teecu menikah dengan adik Suheng. Di dalam dunia ini hanya dengan satu orang teecu mau menikah, yakni dengan tunangan teecu. Kalau tidak, lebih baik teecu tidak menikah. Terserah kepada Suhu memutuskannya.”

“Busuk…. busuk sekali! Kalau begitu, mengapa kau merusak nona Gouw Kui Lan? Hayo jawab!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan suaranya menunjukkan bahwa tiada pengampunan bagi Kun Beng.

Dengan kepala masih tunduk, pemuda itu menjawab lemah,
“Teecu sudah mengaku dosa, harap Suhu segera menjatuhkan hukuman.”

“Hm, kalau begitu matilah dengan tenang.”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangkat kipasnya dan hendak menjatuhkan pukulan kematian kepada muridnya.






Tidak ada komentar :