*

*

Ads

Senin, 25 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 175

“Tak boleh kau membunuh orang begitu saja!” tiba-tiba Sui Ceng membentak marah dan pedang serta sabuk merahnya bergerak cepat menyerang jalan darah di punggung kakek itu.

Terpaksa Pak-lo-sian menunda pukulan kepada muridnya, karena serangan Sui Ceng ini benar-benar berbahaya sekali. Sambil memutar tubuhnya, kipas yang tadi hendak dipergunakan untuk membunuh Kun Beng, bergerak cepat dan seketika itu juga pedang di tangan Sui Ceng terlempar jauh dan sabuk suteranya putus menjadi dua!

“Pergilah dan jangan mencampuri urusan orang lain!” bentak Pak-lo-sian.

Akan tetapi melihat kenekatan Kun Beng, Sui Ceng tidak tega untuk membiarkan saja pemuda yang dicintanya itu terbunuh. Ia menyerang kakek itu dengan pukulan tangan kanannya.

“Buk!” tangan Sui Ceng membentur dada Pak-lo-sian, akan tetapi bukan Pak-lo-sian yang roboh, melainkan Sui Ceng sendiri yang terguling dan pergelangan tangannya terlepas sambungannya!

“Bun-siocia, jangan kau membelaku. Terima kasih banyak atas budimu, dan sampai mati aku orang she The takkan melupakanmu ” kata Kun Beng terharu.

Pak-lo-sian kembali mengangkat kipasnya untuk memukul Kun Beng, akan tetapi baru sampai di tengahnya, tiba-tiba kipasnya tertahan. la terkejut sekali karena merasa bahwa ada sambaran angin dahsyat yang memukul ke arah kipas itu sehingga tertahan. Ketika dia menoleh, ternyata bahwa Lu Kwan Cu telah berdiri di hadapannya. Pak-lo-sian terkejut dan tahulah dia bahwa pendekar sakti yang masih muda ini yang telah menahan pukulan kipasnya.

“Orang muda, biarpun kau telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak patut kalau kau mencampuri urusanku dengan muridku sendiri. Apakah kau masih belum mengerti tentang aturan dan kepantasan sebagai seorang gagah? Apakah kau belum mengerti bahwa orang gagah tidak akan mencampuri urusan rumah tangga lain orang? Manusia jahanam ini adalah muridku sendiri, berarti dia termasuk keluargaku dan aku boleh melakukan apa saja terhadapnya tanpa campur tanganmu!”

“Maaf, Locianpwe. Boanpwe sudah berani mencampuri urusan Locianpwe karena boanpwe amat kagum terhadap kegagahan dan sepak terjang Locianpwe yang sering kali dipuji-puji oleh mendiang suhu. Akan tetapi hari ini tanpa disengaja boanpwe akan melihat Locianpwe menurunkan tangan kejam kepada murid sendiri. Locianpwe, boanpwe pernah mendengar ujar-ujar emas yang menyatakan bahwa orang yang tidak mencoba untuk memperbaiki kesalahan dalam prilaku hidupnya, dialah orang yang benar-benar salah. Kun Beng memang pernah, melakukan perbuatan salah, akan tetapi dia telah mengakui hal itu dan benar-benar menyesal, maka tidak pantas kalau sampai dihukum mati.”

“Kau tahu apa tentang hati manusia? Seorang manusia yang sudah mandah disesatkan oleh nafsu buruk, adalah manusia lemah yang selalu akan mengotorkan dunia karena batinnya kurang teguh dan selalu akan menjadi korban nafsu iblis. Dia ini harus mati!”

“Boanpwe tidak dapat membiarkan saja Locianpwe melakukan pembunuhan pada seorang yang sudah bertobat, apalagi murid Locianpwe sendiri,” bantah K wan Cu.

Bergerak-gerak jenggot Pak-lo-sian yang panjang.
“Aha, kau benar-benar sombong, bocah she Lu. Kau kepala batu seperti si jembel Ang-bin Sin-kai gurumu itu. Mari, mari! Kita coba-coba sebentar dan kalau kau dapat menangkan aku, biarlah aku memandang mukamu memberi ampun kepada anjing ini.”

Kwan Cu maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. la sudah bertindak terlalu jauh dan terpaksa dia harus melayani kakek ini yang dia tahu memiliki kepandaian tinggi sekali dan tidak boleh dibuat main-main.

Akan tetapi apa boleh dia melakukan hal ini, sebetulnya bukan karena dia sayang kepada Kun Beng, melainkan karena dia hendak membela Sui Ceng, atau pendirian gadis ini. Ia tahu akan cinta kasih yang besar dalam hati Sui Ceng terhadap Kun Beng, maka dia merasa amat berdosa telah memisahkan gadis ini dari tunangannya dan saat ini dia pergunakan untuk menebus dosanya.

Ketika Pak-lo-sian mengebutkan kipasnya ke arah mukanya, Kwan Cu cepat melangkah mundur dan mencabut sulingnya. la tidak mau mempergunakan pedang karena selain dia tidak mempunyai niat bermusuhan dengan kakek ini, juga senjata kipas kakek itu lebih tepat dihadapi dengan senjata yang lebih halus dan lemas seperti sulingnya itu.






Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai, di dalam hati kecilnya memang tidak tega untuk menewaskan Kun Beng karena di antara dua orang muridnya Kun Beng lah yang amat disayangnya.

Akan tetapi sebagai seorang gagah, tentu saja dia merasa kurang adil terhadap Swi Kiat kalau dia tidak berbuat seolah-olah hendak membunuh Kun Beng. Kini melihat campur tangannya Kwan Cu, diam-diam dia merasa girang sekali. Tidak saja dia mempunyai alasan kuat untuk membatalkan niatnya membunuh Kun Beng, juga idam-idaman hatinya hari ini tercapai. Idam-idaman hati ingin menguji kepandaian pemuda yang aneh ini.

Semenjak dia menyaksikan sepak terjang Kwan Cu, melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda ini menggulingkan tokoh-tokoh besar seperti, Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, dia kagum bukan main dan merasa yakin bahwa pemuda ini tentu sudah mewarisi kepandaian dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tersohor. Maka ingin sekali dia mengukur kepandaian dan tenaga dengan ahli waris kitab itu.

Karena tahu bahwa Kwan Cu sudah memiliki kepandaian luar biasa dan bahkan lebih tinggi tingkatnya dengan kepandaiannya sendiri, Pak-lo-sian tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. la melakukan serangan dengan hebat, mengeluarkan seluruh tenaganya. Maka bukan main dahsyatnya gerakan sepasang kipasnya.

Sui Ceng dan dua orang murid Pak-lo-sian sendiri tak terasa pula melangkah mundur untuk menjauhi tempat pertempuran, karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang kipas itu terasa menyakitkan kulit muka, sebentar panas dan sebentar dingin. Yang dingin keluar dari gerakan kipas kiri, yang panas dari kipas kanan. Inilah Im-yang Po-san yang dimainkan oleh seorang ahli yang sudah mencapai puncak kesempurnaan ilmu kipas ini!

Kwan Cu diam-diam terkejut bukan main. Lihai sekali Dewa Utara ini, masih lebih lihai daripada Hek-i Hui-mo kiranya. Biarpun di dalam goa di Pulau Pek-hio-to terdapat pula lukisan-lukisan tentang orang bersilat yang hampir sama dengan gerakan kakek ini, namun harus dia akui bahwa gerakan kakek ini, jauh lebih aneh dan hebat, sehingga biarpun dia berlaku waspada dan mainkan sulingnya dengan cepat, tetap saja dia terkurung oleh angin pukulan yang bergelombang datangnya dan tidak tentu sifatnya itu!

Kalau saja Kwan Cu tidak memiliki tubuh yang sudah penuh dengan tenaga murni atau sinkang yang tinggi, serta tidak memiliki kewaspadaan sehingga dia dapat menduga tujuan setiap gerakan lawan, tentu dia harus mengakui keunggulan lawan.

Dengan mengumpulkan semangat dan mengerahkan seluruh tenaganya, Kwan Cu segera mainkan sulingnya secara hebat, menurutkan tipu-tipu lihai dari isi pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak-gerak mainkan Pek-in-hoat-sut. Dari kaki sampai ke jidatnya mengebulkan uap putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya!

Pak-lo-sian menahan seruan tertahan saking kagum dan herannya. la tahu bahwa pukulan kipasnya disertai tenaga sepenuhnya, tenaga lweekang yang sudah dia latih berpuluh tahun. Jaranglah orang dapat menahan sambaran angin pukulan kipas ini, akan tetapi anehnya, ketika angin pukulannya menyambar ke arah jalan darah di tubuh Kwan Cu, hawa itu terpental kembali jika bertemu dengan uap putih itu.

“Hebat sungguh Im-yang Bu-tek Cin-keng!” katanya perlahan, akan tetapi kini Kwan Cu benar-benar memperlihatkan “tanduknya”!

Sulingnya digerakkan dengan sepenuh kegesitannya, sehingga jangan kata baru Pak-lo-sian seorang, biarpun dia dikeroyok oleh sepuluh orang Pak-lo-sian, kiranya sepuluh orang ini akan pening kepalanya dan kabur pandangan matanya.

Tubuh pemuda ini benar-benar lenyap dari pandangan mata, yang kelihatan hanya uap putih mengebul di sekeliling Pak-lo-sian dan diselingi oleh kelebatan sinar mengkilap dari sulingnya.

Tak lama kemudian terdengar suara “krak! krakkk!” dua kali dan Pak-lo-sian melompat mundur, terhuyung-huyung dan keningnya penuh peluh dingin, napasnya terengah-engah. Ketika Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat memandang, kakek ltu hanya memegang gagang kipas yang sudah hancur !

Kwan Cu menjura, pemuda ini hanya merah mukanya dan dari kepalanya masih mengebul uap putih, akan tetapi dia tenang dan napasnya biasa saja.

“Pak-lo-sian Locianpwe benar-benar tidak bernama kosong.”

“Cukup,” Pak-lo-sian terengah-engah, “tak perlu kau merendahkan diri lagi. Benar-benar hebat! Baru sekali ini selama hidupku aku menghadapi lawan seperti kau. Sungguh hebat! Kalau saja yang mengalahkan dan merusak kipas-kipasku bukan seorang ahli waris Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentu aku si tua Pak-lo-sian akan menghancurkan kepala sendiri.”

“Locianpwe telah berlaku mengalah…” kata Kwan Cu.

Pada saat itu, terdengar bunyi “tar! tar! tar!” dari jauh dan hampir berbareng Pak-lo-sian dan Kwan Cu berkata,

“Kiu-bwe Coa-li datang ”

Benar saja, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita sakti itu telah berada disitu dengan cambuknya yang menggemparkan dunia kang-ouw, terayun-ayun di tangannya. la melirik ke arah Kwan Cu, lalu berkata kepada Pak-lo-sian,

“Tua bangka utara, apa yang terjadi dengan kedua kipas mautmu?”

Terang sekali ucapan ini adalah ejekan, akan tetapi Pak-lo-sian tertawa bergelak,
“Ha, ha, ha, Kiu-bwe Coa-li. Telah berpuluh tahun kau tidak berhasil mengalahkan kedua kipasku, sebaliknya aku pun tidak berhasil mengalahkan cambukmu. Akan tetapi, hari ini aku mengaku bahwa ilmu kipasku masih amat rendah dan perlu diperbaiki lagi.”

Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kwan Cu dan tiba-tiba ia me!ihat Sui Ceng di situ. la tertegun. Tadi ia melihat pertandingan dari jauh dan saking tertariknya ia sampai tidak melihat kehadiran Sui Ceng.

“Sui Ceng, ada apa kau di tempat ini?” la melirik pula ke arah Kun Beng dengan mata marah.

“Kiu-bwe Coa-li, muridmu itulah yang menjadi gara-gara. Aku hendak membunuh muridku yang murtad, dia menghalangi sampai-sampai dia berani menyerangku. Akhimya kejadian itu memancing datangnya Lu-siauwhiap dan rusaknya kedua kipasku.”

“Sui Ceng, kemana mukamu? Tak tahu malu, urusan orang lain kau berani turut bercampur tangan. Tua bangka utara mau membunuh muridnya, biarlah jangan kita ikut campur. Hayo kau harus pergi bersamaku sekarang!”

“Tidak, Suthai. Sebelum Pak-lo-sian Locianpwe berjanji takkan membunuh orang yang sudah menderita batinnya, teecu takkan pergi dari sini.”

Pak-lo-sian tertawa lagi bergelak, dan Kiu-bwe Coa-li marah dan malu bukan main. la menggerakkan pecutnya dan pecut yang berekor sembilan itu serentak melayang dan memukul ke arah sembilan jalan darah di tubuh Sui Ceng.

“Kau pergi atau tidak?” bentak wanita sakti itu dengan suara menyeramkan.

“Suthai, jangan bunuh dia!”

Tiba-tiba Kun Beng berseru keras dan meloncat ke depan, menghadang antara cambuk dan tubuh Sui Ceng. Oieh karena itu, cambuk ini tidak jadi menuju di tubuh Sui Ceng, melainkan menghantam tubuh Kun Beng.

Pemuda ini terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Baiknya Kiu-bwe Coa-li tidak mau membunuh murid orang lain dan hanya ingin memberi hajaran saja, maka biarpun tubuhnya sakit-sakit dan terlempar jauh, Kun Beng tidak sampai terluka hebat.

“Sui Ceng, hayo kita pergi!” bentak pula Kiu-bwe Coa-li dan kini suaranya lebih menyeramkan lagi karena nenek tua ini sudah hampir tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi.

Dibantah dan dibangkang oleh muridnya di depan orang lain benar-benar merupakan hal yang amat tidak enak dan memalukan.

Kwan Cu berkata,
“Sui Ceng, kau pergilah. Pak-lo-sian Locianpwe sudah berjanji takkan membunuh Kun Beng…” kata-kata ini adalah untuk membujuk supaya Sui Ceng mau pergi karena Kwan Cu tahu benar bahwa sekali lagi menolak, Sui Ceng pasti akan menerima pukulan yang mungkin akan merenggut nyawanya oleh Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi Sui Ceng benar-benar menggelengkan kepala lagi!
“Sebelum bertemu dengan Kui Lan aku belum mau pergi.”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, bunyi cambuk menyakitkan telinga Kwan Cu melompat dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. Ternyata bahwa sembilan ekor ujung cambuk dari Kiu-bwe Coa-li telah menyambar, ketika Sui Ceng menyatakan penolakannya untuk pergi tadi, akan tetapi Kwan Cu melompat menghadang di jalan sehingga ujung-ujung cambuk itu bukan menyambar kepada Sui Ceng, melainkan ke tubuhnya seperti yang telah dilakukan oleh Kun Beng tadi.






Tidak ada komentar :