*

*

Ads

Rabu, 27 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 176

Akan tetapi kalau gerakan Kun Beng tadi masih dapat dilihat oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga nenek ini keburu mengubah arah cambuknya, adalah gerakan Kwan Cu sekarang amat cepatnya, maka nenek itu tidak keburu menahan pukulannya.

Sembilan cambuk itu melayang dan menghajar sembilan jalan darah kematian di tubuh Kwan Cu. Karena inilah Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. la maklum bahwa pukulan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li ini adalah jurus yang paling berbahaya dari ilmu cambuknya dan tidak seorang pun tokoh persilatan di dunia ini yang berani menerima serangan jurus ini yang dia kenal sebagai jurus Kiu-coa-toat-beng (Sembilan Ekor Ular Mencabut Nyawa).

Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri juga terkejut, akan tetapi ia tidak dapat menarik kembali sambaran sembilan ujung cambuk itu, hanya ia bisa mengurangi tenaganya sehingga hanya dua pertiga tenaganya saja yang tersalur di ujung senjatanya yang lihai.

Akan tetapi seruan kaget Pak-lo-sian berubah menjadi seruan tertahan saking herannya, demikian pula Kiu-bwe Coa-li menjadi pucat setelah sembilan ujung cambuk itu tiba di tubuh Kwan Cu, ternyata tidak berakibat apa-apa!

Kwan Cu tetap tersenyum saja seakan-akan serangan hebat ini tidak terasa sama sekali olehnya. Padahal, diam-diam Kwan Cu tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan sinkangnya yang telah menjadi satu dengan perasaannya, otomatis menolak tenaga pukulan ini dan dia menambah perisai tubuhnya dengan pengerahan ilmu menutup jalan darah dan mengumpulkan hawa murni yang terasa hangat mengelilingi seluruh tubuh secara cepat sekali. Namun, tetap saja dia merasa kulit tubuh di mana cambuk itu tiba, panas-panas!

“Terima kasih atas petunjuk dari Suthai,” kata Kwan Cu sambil menjura dan membungkukkan tubuhnya.

Gerakan ini perlu sekali karena dengan membungkuk, dia dapat menggerakkan tubuh dan sinkangnya berjalan lebih cepat mengusir bekas-bekas pukulan yang betapapun juga akan mendatangkan bahaya kalau tidak segera dilenyapkan.

Sampai lama Kiu-bwe Coa-li membelalakkan matanya. Belum pernah ia mengalami hal sehebat ini. Pukulan dengan jurus Kiu-coa-toat-beng diterima tanpa berkejap mata oleh pemuda ini!

“Sudahlah aku sudah tua dan tak tahu malu! Lu-sicu, lain kali kalau aku masih hidup, aku hendak mencoba kelihaianmu sekali lagi!” katanya sambil menggerakkan kedua kaki dan lenyaplah wanita sakti itu dari situ.

Kwan Cu menarik napas panjang.
“Hm, apakah artinya semua keributan ini? Orang yang dicurangi dan yang paling menderita dalam urusan ini adalah nona Gouw Kui Lan. Orang-orang berlancang hendak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya kepadanya. Benar-benar tidak adil!”

Kata-kata ini menyadarkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Memang tepat sekali ucapan ini. Mereka ribut-ribut karena Kun Beng telah melakukan hal amat tidak baik terhadap diri Gouw Kui Lan dan kini orang ramai-ramai datang untuk menghukum Kun Beng tanpa bertanya kepada nona Kui Lan sama sekali!

“Mari kita temui dia di dalam!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan semua orang mengikutinya masuk ke dalam kuil yang amat besar itu.

Keadaan kuil sunyi saja dan pintu depan yang amat kuat dan tebal itu sukar sekali dibuka, agaknya dipalangi dari dalam. Namun dengan sekali dorong saja Pak-lo-sian berhasil mematahkan palangnya di sebelah dalam, pintu terbuka!

Semua orang tertegun dan berdiri di ambang pintu, tidak bergerak seperti patung. Kalau di luarnya sunyi saja, di sebelah dalam kuil itu penuh orang. Sedikitnya ada tiga ratus orang terbaring disitu, orang-orang yang terluka dalam peperangan melawan penjajah. Beberapa orang perawat sibuk sekali melayani mereka ini dan diantara mereka yang paling sibuk adalah Ngo Lian Suthai dan…. Gouw Kui Lan. Akan tetapi, melihat Kui Lan terdengar seruan dari mulut Swi Kiat.

“Lan-moi …!”






Nona itu menengok, ia telah menjadi seorang nikouw muda (pendeta wanita) berkepala gundul. Melihat kakaknya, ia tersenyum, akan tetapi mukanya berubah ketika ia melihat Kun Beng berada pula disitu.

“Kui Lan, mengapa kau telah menjadi nikouw….? Apa maksudmu?” teriak Swi Kiat sambil berlari menghampiri adiknya. “Aku datang untuk mengusahakan pernikahanmu dengan Kun Beng ”

Merah wajah nikouw muda itu, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum penuh kesabaran dan ketenangan,

“Hushhh…. Kiat-ko, omongan apa yang kau ucapkan itu? Lihatlah baik-baik, aku adalah seorang nikouw, bagaimana kau bisa bicara tentang pernikahan?”

Swi Kiat merasa ditampar mukanya, dia tak dapat menjawab dan menjadi bingung. Juga Kun Beng merasa terharu sekali. Penglihatan ini menikam ulu hatinya dan dia merasa betapa dosanya makin besar. Ia tahu bahwa masuknya Kui Lan menjadi nikouw adalah karena perbuatannya. Dua titik air mata tak terasa lagi turun membasahi pipinya. Sui Ceng berdebar. Kemarahannya terhadap Kui Lan lenyap seketika, terganti oleh rasa kasihan. Adapun Kwan Cu memandang dengan penuh kekaguman.

Di dalam kesunyian ini, terdengar Kui Lan berkata, suaranya lantang dan biasa saja, penuh kesabaran.

“Kiat-ko, Kui Lan yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang adalah Kui Lan Nikouw murid Ngo Lian Suthai. Tidak ada urusan sesuatu antara pinni (aku) dengan The-taihiap atau siapapun juga ”

“Adikku!” teriak Swi Kiat.

“Kiat-ko, aku sudah bersumpah menjadi orang beribadat, aku melupakan kehidupan lalu. Sudahlah, harap Cu-wi sekalian suka keluar, jangan mengganggu orang-orang yang menderita luka, mereka ini adalah para pejuang rakyat, dan ….”

Tiba-tiba dari luar menerobos masuk beberapa orang laki-laki yang membawa senjata. Mereka ini adalah para perajurit pejuang rakyat yang cepat berkata,

“Ngo Lian Suthai, celaka. Pasukan kita terpukul dan sebarisan musuh menuju kesini. Mereka sudah mendengar bahwa kawan-kawan yang terluka berada disini!?”

Seorang di antara mereka menyambung.
“Kita harus membawa kawan-kawan ini pergi dari sini, pertahanan sudah bobol dan kawan-kawan ini tentu akan menjadi korban semua!”

Tiba-tiba Kwan Cu berkata nyaring,
“Pak-lo-sian Locianpwe! Kun Beng! Swi Kiat dan Sui Ceng. Kita semua harus malu! Rakyat berjuang melawan penjajah, bahkan nona Gouw sendiri membaktikan diri untuk membantu bangsa yang tertindas, sebaliknya kita semua ribut-ribut urusan tetek bengek! Dalam menghadapi bahaya bagi bangsa, urusan pribadi harus dilupakan, hayo kita gempur musuh!”

Kata-kata ini sebagai aliran listrik menggetarkan jiwa kepahlawanan dalam orang-orang gagah itu. Pak-lo-sian berseru nyaring.

“Mana musuh! Akan kuhancurkan kepalanya!”

Beramai-ramai mereka lalu lari bersama para perajurit pejuang itu yang menjadi petunjuk jalan.

Benar saja, di tengah jalan mereka bertemu dengan puluhan pejuang yang melarikan diri, dikejar oleh barisan musuh yang lebih besar jumlahnya. Banyak di antara mereka yang terluka.

Pak-lo-sian segera memimpin mereka dan mengatur pertahanan. Teriakan dan sorak-sorai musuh sudah terdengar dekat. Pak-lo-sian mengatur kawan-kawan pejuang bersembunyi di balik pohon-pohon, menghadang di dalam hutan.

Ketika barisan musuh yang terdiri dari dua ratus orang lebih itu tiba, Pak-lo-sian memberi aba-aba dan menyerbulah mereka, menghantam musuh. Kwan Cu, Kun Beng, Swi Kiat dan Sui Ceng mengamuk hebat!

Tiap kali senjata mereka bergerak, tentu seorang serdadu penjajah roboh tak bemyawa lagi. Biarpun kepandaian Kwan Cu lebih tinggi daripada Pak-lo-sian, namun sepak terang pemuda ini tidak sehebat Pak-lo-sian, karena di dalam hatinya Kwan Cu penuh welas asih dan dia tidak tega menyebarkan maut, biarpun kepada musuh bangsanya. Maka dia hanya menotok merobohkan mereka tanpa merampas nyawanya.

Sebaliknya, Pak-lo-sian benar-benar hebat. Sepasang kipasnya telah rusak oleh Kwan Cu dan kini ujung lengan bajunya menyambar bagaikan sepasang kupu-kupu, akan tetapi jangankan sampai terkena ujung lengan baju ini, baru terkena sambaran anginnya saja, para musuh terlempar dengan mata mendelik dan napas putus!

Para pejuang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh roboh malang-melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi cepat-cepat melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan-menghadapi para pendekar itu.

Terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lain dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.

Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, pengganti Kaisar Sin Cong juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Ouigur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah.

Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan sekelompok kecil yang cerai-berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini.

**** 176 ****





Tidak ada komentar :