*

*

Ads

Jumat, 24 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 100

Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah dan tajam itu meluncur dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya!

Ketika Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu. Akan tetapi merak itu bukanlah burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan hingga ia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, ia tidak gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.

“Blekk!” dan Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas.

Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu. Namun Merak Sakti agaknya yang telah maklum akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini hingga tiap kali Ke Ce memukul, ia selalu mengelak cepat. Betapapun juga, serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.

Biarpun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi daripada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya!

Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!

Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai, tiba-tiba ia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isarat yang ia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.

“Hai-ko… lekas kau naik…!”

Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah. Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya!

Lin Lin segera mempergunakan tangan kiri untuk menahan tambang sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya! Ia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apabila ia kalah, ia takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!

Sementara itu, Sin-kong-ciak ketika melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce memukul merak itu mengelak terbang lagi ke atas dengan jerih. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,

“Nona manis, kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…” pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak dilanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.

“Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Kalau aku dapat menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!”

Akan tetapi Merak Sakti itu hanya terbang mengelilingi di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga, apalagi karena ia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.

Sementara itu, berkat sambaran-sambaran Sin-kong-ciak, Ke Ce tiada mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apabila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biarpun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.

Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,

“Hai-ko, lekas… lekas keluar…!”






Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang ia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, ia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,

“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”

Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit.

Akan tetapi berkat ilmu lweekangnya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih! Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi cukup untuk menewaskan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja.

Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam ia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat? Karena hatinya telah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak ia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!

Ketika Cin Hai telah mendarat dan berada di atas tebing, ia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri!

Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka di dalam tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.

“Keparat betul kedua bangsat rendah itu!” katanya sambil menggertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!”

Cin Hai agak lega melihat bahwa biarpun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu telah cukup kuat untuk melindungi jantung dan paru-parunya hingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian ia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin ia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.

Setelah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!

“Lain kali akan kubalas dia…” katanya lemah.

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika ia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.

“Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”

Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan.
“Ah… mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka.”

Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.

“Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hao. Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.

Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.

“Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi.

Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka. Setelah tiba di tebing, Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,

“Kong-ciak-ko dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka sampai dapat!”

Setelah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!

Lin lin merasa begitu tegang dan gembira hingga ia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di tepi tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hanya hati kedua anak muda ini yang berdebar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!

Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apabila ia menghadapi seorang lawan! Berkali-kali merak itu memekik dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,

“Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”

Cin Hai juga tak dapat menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang putih gelap tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.

Setelah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan sayap merak itu dan muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin.

Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh dan ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa di kaki merak itu telah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat daripada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan hingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.

Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya takkan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.

Cin Hai cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa disitu terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,

Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
“Aneh…” kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?”

Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong.

“Tentu ada seorang yang luar biasa pandai di sebelah bawah yang penuh rahasia itu,” katanya, “dengan batu ia dapat membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua disini. Sungguh heran dan ajaib!”

Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti.
“Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu telah mengetahui bahwa kita berdua berada disini dan menyuruh pergi tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, sedangkan kata-kata kalau ada jodoh kelak bertemu adalah ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama tentang keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”

Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan peristiwa itu sambil memperlihatkan surat itu. Yousuf juga merasa heran akan tetapi ia berkata dengan suara mengandung penuh harapan,

“Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau ia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu ia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!”

“Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa ia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali kesini?” tanya Lin Lin.






Tidak ada komentar :