*

*

Ads

Jumat, 24 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 099

Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lalu membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin.

Inilah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tidak sembarang orang dapat menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!

Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat ia sendiri bergoyang-goyang! Ketika ia memandang, ternyata bahwa dari tempat dimana ia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok, juga mengulur kedua tangan dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat hingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!

Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu dorong ini? Ia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu telah dapat menirunya dan pada saat tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.

“Eh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.

Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce telah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,

“Ke Ce, kalau sudah gatal-gatal tubuhmu ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.

Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa biarpun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, namun kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi.

Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan penyerangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio ia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio, ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apabila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.

Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba dengan bentakan keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan ketika Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, akan tetapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali.

Cin Hai berseru keras dan sekali tubuhnya berkelebat ia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak.

Ketika kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya, “Brett!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!

“Hebat!” serunya sambil melompat mundur lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!

“Sampai lain kali!” kata Ke Ce dan pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lain merasa kagum sekali.

Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkangnya belum tinggi! Setelah kedua orang berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!

“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.






Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayah, kenapa kau tadi tidak memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya. “Kalau aku tahu, tentu aku takkan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”

Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau ia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu ia juga tidak akan melepas mereka!

Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.

“Biar aku mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tak lama kemudian ia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.

“Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.

“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.

“Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata!

Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan ia merasa demikian menyesal hingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.

Lin Lin merasa amat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu,
“Ayah… maafkanlah kami berdua… kami tidak menyalahkan kau. Ayah… biarkan Hai-ko saja yang turun.”

“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”

Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tidak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang!

Lin Lin bergidik dan ngeri.
“Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.

“Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.

“Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,” kata Cin Hai. “Peganglah tambang kuat-kuat!”

Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.

“Ko-ko… hati-hatilah kau…”

Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian ia lalu turun ke bawah menyusur tambang. Karena ia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja ia merayap melalui tambang itu.

Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar. Setelah kedua kakinya merasa telah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih tergantung di udara dan belum sampai ke tanah.

Ia lalu mengayun tubuh ke depan hingga tambang itu ikut terayun. Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama makin keras dan akhirnya ia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras ditumbuhi rumput dan pohon kecil.

Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke atas, tentu saja tak mungkin baginya untuk mendarat di situ. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.

Baik Cin Hai maupun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tak pernah menyangka dan menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka telah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan,

“Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”

“Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,

“Dara manis itu… ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergapnya, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkapnya?”

Sambil berkata demikian, kedua mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum. Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini, akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan ia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya ia anggukkan kepalanya yang gundul mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.

Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Lin Lin dan Yousuf. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang dimana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.

Alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka tak perlu diceritakan lagi. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa kini mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.

“Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.

Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biarpun sebenarnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena perasaan takut kalau kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka ia memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.

Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.

Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika ia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiru-biruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah.

Ia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon. Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar dan daun pohon kecil, ia lalu memegang akar pohon kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, ia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya.

Dengan demikian, ia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.

Pada saat Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh kedua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.

“Kongciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.

Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiannya melihat Yousuf dikeroyok itu timbul, lalu ia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!






Tidak ada komentar :