*

*

Ads

Senin, 27 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 101

Yousuf menggeleng-geleng kepala dan memejamkan matanya karena pembicaraan ini walaupun dilakukan sambil berbaring, cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf adalah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.

Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasihat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.

“Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le-kiam-sut serta kedua Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na baik-baik untuk menjaga bahaya mendatang, karena aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.

Lin Lin juga mengatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya, hingga ia tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu.

Demikianlah, mereka berlatih siang malam tanpa mengenal lelah hingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.

“Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini benar-benar telah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau disini, seorang diri saja kau akan sanggup memukul roboh mereka semua.”

“Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”

Cin Hai tersenyum
“Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri takkan pernah terasa atau terlihat sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa Beliau tidak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Kalau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”

Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.
“Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.

Yousuf tersenyum dan mengangguk-angguk dan Lin Lin lalu bersilat dengan pedang pendeknya di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar dan merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang menari-nari dengan gaya indah.

Walaupun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tidak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan penyerangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.

Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya sambil memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan, Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.

“Ah, sungguh sukar dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”

Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata,
“Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku hendak turun gunung dan mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”

Lin Lin mengerling tajam.
“Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”






“Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”

Kemudian, setelah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.

“Lin Lin, kau bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan gembira.

Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.

Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Ia terus turun sampai di kaki bukit, lalu mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam dimana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.

Ternyata bagian ini, ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar dan lereng gunung itu walaupun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya karena sekali kedua kaki masuk ke situ, orang takkan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam!

Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai lalu mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan bambu itu ke atas rumput itu. Ia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian ia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya. Dengan cara demikian ia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat diinjak tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!

Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan karena ia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu.

Akhirnya ia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika ia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira dimana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak gua di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di sebuah di antara gua-gua ini!

Ia meneliti tiap gua dan memeriksa tanah lembek di depan gua. Kalau gua itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan gua itu, karena betapapun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas.

Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah gua, akhirnya ia berseru perlahan. Di depan gua yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya. Ia lalu mengerahkan ginkangnya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali, akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam daripada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat ia duga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi daripada ginkangnya sendiri!

Cin Hai berlaku makin hati-hati karena ia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia lalu membuat api dari kayu, kering dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya daripada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki gua itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan.

Gua itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, dan makin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa.

Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam gua. la menjadi kecewa dan tiba-tiba kepalanya tertumbuk paIu, sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit gua. Ia mengangkat obornya ke atas dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!

Ia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Ia memeriksa makin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Ia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang tengah bermain silat!

Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyak ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah ia pelajari dari Kwi-sianseng gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,

Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!

Ia teringat kepada Kwi-sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut,

“seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah bunda, tak dapat tiada harus mengetahui tentang perikemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”

Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka!

Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari gua itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah! Ia harus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk gua untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa, akan tetapi, jangankan orangnya, bayangannyapun tidak dilihatnya!

Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega oleh karena tidak melihat bukti-bukti bahwa kedua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andaikata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.

Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki gua yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Ia anggap bahwa gua itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti gua lain, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni gua itu datang hingga ia dapat bertemu dengannya! Ia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang telah mengirim berita ketika ia berada di atas dengan Lin Lin dan ia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!

Karena merasa asing di dalam gua seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api, lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Lukisan-lukisan itu ternyata mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatiannya pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.

Tiba-tiba ia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala kekotorannya, dan sebuah muka yang jahat sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!

Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang amat menarik hatinya. Ia membaca dengan penuh perhatian,

Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu! Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya aku pergi, meninggalkan semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!

Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasa bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!

Ia bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya karena ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.






Tidak ada komentar :