*

*

Ads

Senin, 27 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 102

Tiba-tiba terdengar suara “Ah, ah… uh… uh…!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya. Ia melihat seorang tua kurus dan tinggi tahu-tahu telah berdiri di pintu gua tanpa terdengar olehnya.

Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai. Bukan main terkejutnya karena tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali, Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!

Di dalam gua menjadi gelap sekali. Jangankan melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapapun tinggi kepandaian seseorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata takkan ada gunanya lagi.

Maka ia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding gua. Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia maklum bahwa biarpun angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakannya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apabila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau ia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut!

Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan orang itu. Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itupun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!

Semalam itu Cin Hai duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersamadhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini ia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya hingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.

Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari gua dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan gua sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!

“Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.

Akan tetapi, orang itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seakan-akan mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara,

“Ah-ah-uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena ia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!

“Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang telah mengirim surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”

Kakek itu menggeleng-geleng kepala dengan keras, hingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?

“Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahu tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.

Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata “ah-ah, uh-uh” tidak karuan dan tangannya makin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena ia beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.

“Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu,” kata Cin Hai sambil menggeleng kepala.

Tiba-tiba kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, ia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biarpun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam gua itu.

Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai dimana kelihaian orang aneh ini. Lima jurus kakek itu menyerang dan makin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa ia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai.






Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna. Maka ia maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanya kawan atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.

Setelah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit. Biarpun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali.

Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.

Ia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar akan tetapi ia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya? Kalau ia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap. Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.

Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi di bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang, karena masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.

Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Ia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat dimana kedua pasukan bertemu.

Dan setelah ia tiba di situ, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu, dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika ia melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan orang-orang Mongol, ia segera menyerbu dan membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, ia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.

Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka.

Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, dimana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena dengan kedua tangan dan kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling!

Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat pasukan kerajaan hingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat hingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau.

Akan tetapi, ketika Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, ia melihat seorang panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang.

Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!

Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkah menemukan tandingan, melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga yang tewas. Ia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,

“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”

Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.

Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar ketika melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.

“Ha, ha, ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.

Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia bertanya,
“Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”

Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini.
“Hm, dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”

Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi.

Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, ia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.

“Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?”

“Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.

Balaki tertawa terbahak-bahak.
“Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha, ha, baiklah, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!”

Sambil berkata demikian, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat hingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati.

Para anak buah tentara kedua pihak ketika melihat pertempuran hebat ini, menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini lalu menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing!

Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.

Cin Hai seperti biasa hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walaupun benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai hingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.

Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang dapat menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat, Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia maka ia berlaku waspada dan siap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh.

Akan tetapi Balaki tidak mempergunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri dan golok di tangan kanannya masih menyerang ganas. Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu sebuah sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai.

Sinar ini demikian cepat datangnya hingga tak mungkin dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru. Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakan untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu digunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya hingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.






Tidak ada komentar :