*

*

Ads

Kamis, 21 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 049

Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri telinga mereka menangkap suara yang mencurigakan, sayup-sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda.

Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar lebih dulu, karena memang telinganya lebih terlatih.

“Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.

Kim Lian miringkan kepalanya, penuh perhatian.
“Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana.”

Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlumba, akan tetapi kalau biasanya mereka berlumba sambil tertawa, kini mereka beriumba dengan kening berkerut dan sikap garang.

Mereka selain berkepandaian silat tinggi, juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.

Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi.

Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah. Keadaan di situ mengerikan sekali. Semua anggauta rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.

Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di situ terdapat seorang pemuda pelajar yang melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguhpun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguhpun gerakannya menandakan bahwa ia tidak mengerti ilmu silat, namun agaknya ia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat ia masih dapat melawan dan melindungi diri.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, maka ia dibuat permainan, sengaja tidak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan.

Ada sebagian pula tentara yang mengumpul-ngumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.

“Anjing-anjing hina dina!”

Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda. Bagaikan seekor harimau betina ia menerjang dan merobohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini.

Kim Lian menyambut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.

Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadinya mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.

“Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!”

Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari lalu sinar merah ini menerjang mereka yang tengah mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!

Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah makin kagum dan herannya melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya melawan dan lemasiah ia, lalu tertunduk dengan mata bengong.

Im Giok dan Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan.

Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti takkan dapat bangun lagi untuk selamanya!






Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras,

“Kam-ciangkun…! Tolonglah kami…”

“Suci, sudahlah jangan mengejar mereka,”

Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus. Kim Lian tak puas, akan tetapi ia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Ketika dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan yang sepuluh terluka.

Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang telah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup, tubuhnya penuh darah akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.

Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, Si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan sakit-sakit.

“Ji-wi-lihiap sungguh gagah… sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini…” ia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka ini… tak tertolong lagi…” Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.

“Akan tetapi kami dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar.

Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi sekarang baru ia melihat dan ia harus mengaku bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati.

Juga tadi ia telah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara, ia tidak memikirkan keadaan diri sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.

Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.

“Biarpun aku amat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini… sebaliknya mereka ini… ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan malapetaka ini…”

Bicara sampai di situ, pemuda itu makin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu telah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya!

“Suci…!”

Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika ia melihat bagaimana sucinya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga… panas!

“Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah…”

Kim Lian membela diri sambil tersenyum, kemudian dengan perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.

Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia meminumkan sedikit arak pada pemuda yang masih pingsan itu, kemudian setelah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah.

Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya ia melihat sumoinya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!

“Sumoi, lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.

Im Giok juga mendengar suara derap kaki berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang telah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.

Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang berlari mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang.

Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk, kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.

Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, apalagi melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!

“Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka bermaksud buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.

Kim Lian tersenyum mengejek. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, namun ia pernah mendengar cerita im Giok tentang Golok Maut ini dan ia memandang rendah.

Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to Si Golok Maut. Adapun kakek yang aneh itu adalah Cheng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu.

Dia adalah seorang tokoh barat. Dahulu ketika ia masih muda memang Cheng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, I Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek I Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Cheng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok.

Operasi kejahatannya hanya di perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Setelah puluhan tahun ia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua ia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, Giam-ong-to Kam Kin.

Semenjak masih mudanya, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia marah sekali.

Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya bersinar dan mulutnya menyeringai. Apalagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tidak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,

“Ah, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”

Im Giok melangkah maju dan berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya.

“Bagus sekali sejak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”

Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Ia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun telah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun ketika berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biarpun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.

“Kiang Im Giok! Kaukah ini?”






Tidak ada komentar :