*

*

Ads

Kamis, 21 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 050

“Baru terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.

“Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiokmu sendiri?”

Kam Kin membentak. Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.

“Kam Kin, siapakah Nona ini?” tanya Cheng-jiu Tok-ong dengan suaranya yang seperti burung kakatua.

“Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, “Im Giok, andaikata kau tidak menaruh sungkan kepada susiokmu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouwmu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouwmu ini, guru dari Suci Pek Hoa.”

Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab,
“Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”

Kam Kin menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.

“Bocah tak tahu aturan! Tidak saja kau telah membunuh banyak anggauta tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!”

“Monyet bercelana, kau berani menghina sumoiku?” tiba-tiba Kim Lian membentak marah dan ia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. “Mentang-mentang, kau berjuluk “Si Golok Maut”, lalu hendak menjual lagak disini? Tidak laku, monyet!”

“Gadis liar kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.

“Kau yang kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihat, kutampar mulutmu!”

Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak, Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.

“Plak!” tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.

“Anjing betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.

“Kutempiling kepalamu, awas!”

Kim Lian berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya. Lagi-lagi terdengar suara “plak!” dan topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu, Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat ia melompat ke belakang menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.

Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang amat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apalagi setelah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasihat-nasihat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.

Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tidak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main.

Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang berbakat sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, maka Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.

Menghadapi rangsakan golok Kam Kin, gadis ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang bernama Kong-jiu-sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, sedangkan jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya.






Beberapa kali dalam gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia berlaku hati-hati, maklum bahwa ia menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai. Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring,

“Monyet tua, pergilah!”

Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan, menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!

Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan secepat itu, berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian tiba-tiba jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban.

Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran. Kam Kin berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk dan merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya terlepas!

Anak buahnya cepat menolong dan menggotong ke pinggir. Kim Lian tertawa-tawa mengejek,

“Monyet tua, mana golok mautmu?”

“Bocah sombong, pergilah!”

Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi dan sebelum ia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot! Kim Lian mengerahkan lwee-kang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru,

“Celaka…!” dan tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja, Im Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!

Ternyata bahwa Chen-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadi membetot sekarang ia mendorong. Tidak heran apabila Kim Lian terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong.

Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.
“Kakek bangkotan, kau curang!” bentaknya.

“Suci, mundurlah.”

Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya. Kemudian Im Giok menghadapi Cheng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,

“Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Cheng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa heran sekali mengapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang setelah menjadi komandan membiarkan anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suciku sedang bermain-main di hutan ini dan kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?”

“Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi kata-katamu sebagai seorang bocah kau ternyata mempunyai pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku. Bagaimana kau berani sekali bersikap begini kurang ajar terhadapku? Andaikata kau sekarang juga menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?”

“Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tua, oleh karena itu aku pun tak mungkin mengaku kau sebagai sucouw.”

“Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu telah membunuh banyak anggauta tentara, mereka itu pemberontak-pemberontak yang berbahaya!” tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya.

Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.

“Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan sucimu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan,” kata Cheng-jiu Tok-ong kepada Im Giok, agaknya segan-segan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda.

Betapapaun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, maka ia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apalagi wanita pula.

Im Giok mulai panas hatinya.
“Cheng-jiu Tok-ong, kalau kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.

Terdengar Cheng-jiu Tok-ong tertawa geli,
“Bocah, kau benar-benar lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”

“Cheng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.

Cheng-jiu Tok-ong adalah seorang kakek yang berjuluk Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu memiliki ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apalagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa?

Akan tetapi, pada gerakan pertama, Cheng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat ia menggunakan dua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tidak terduga itu.

Kakek ini benar-benar amat heran, karena melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi daripada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya.

Jurus-jurus berikutnya membuat Cheng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.

“Ayaaa, kau lihai juga…!” kata kakek itu pada jurus ke sepuluh karena sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong.

Ia melompat cepat ke kanan dengan gin-kang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!

“Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda,” kata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.

“Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoiku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.

Timbul marah dalam hati Cheng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.

“Akan kubunuh dulu sumoimu ini, akan tetapi kau… kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.






Tidak ada komentar :