*

*

Ads

Sabtu, 23 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 051

Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar. Celaka, pikirnya, golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat. Ia mencoba menetapkan hatinya dan membalas dengah serangan hebat.

Memang terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Cheng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah. Sebaliknya lawannya makin ganas dan gerakan goloknya makin kuat.

Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya tercium bau busuk yang mengandung racun!

Biarpun keadaannya makin berbahaya Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tidak mengherankan, kalau gadis ini penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lwee-kangnya dapat mengimbangi tenaga kakek itu. Dalam hal gin-kang dan kecepatan gerakan tubuh, ia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, ia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu makin memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras,
“Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia…! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kau ganggu kedua Li-hiap yang budiman itu…!”

Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, kini tiba-tiba menjadi nekat melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.

Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang kelihatannya seperti iblis?

Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Cheng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.

“Kakek siluman jangan banyak lagak…!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni sebuah di antara senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di situ.

“Suci, hati-hati…!”

Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri. Mengapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa ia telah terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.

Mendengar suara yang aneh dan perlahan sekali dari Im Giok, Kim Lian kaget dan mengerling ke arah sumoinya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Cheng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biarpun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.

Kim Lian mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga ia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya.

Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali ia menggulingkan tubuhnya dan bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah yang pada bergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, telah merah menghitam.

“Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau hati-hatilah…”

Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah cara satu-satunya yang ia pelajari dari suhunya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.

Melihat dan mendengar keadaan sucinya, Im Giok makin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biarpun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya sudah berkunang-kunang, namun pedangnya secara otomatis masih dapat melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang-kadang masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Cheng-jiu Tok-ong.

“Lihai sekali… mengagumkan…!”






Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Malu tokoh ini untuk mempergunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.

Setelah Im Giok terdesak betul-betul tiba-tiba terdengar bentakan halus,
“Cheng-jiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”

Tiba-tiba tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena ia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan.

Ketika membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, meletakkan pedang di atas tanah, lalu bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi telah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Cheng-jiu Tok-ong!

Sementara itu, Cheng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian ia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya. Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan dipinggangnya terselip sebatang suling.

Melihat sikapnya. Cheng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Karena ia sendiri sudah lama meninggalkan kang-ouw, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,

“Kau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengaku-aku dia sebagai cucu muridmu?”

Orang itu tersenyum tenang,
“Raja Racun, pengakuanmu tadi dua kali salah. Kau mengaku gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Cheng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andaikata benar dia pernah rnenjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tidak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat kiranya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau bahkan makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat…!”

Cheng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapapun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau tokoh-tokoh lainnya ia tidak takut! Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,

“Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu… lari…!”

Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!

Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.

“Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya.

Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Cheng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, ia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!

Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,
“Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!”

Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak. Tangan kiri menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apalagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oteh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya.

Cheng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh persilatan yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di dalam biarpun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa ia menemui guru dalam ilmu silat! Tanpa banyak cing-cong lagi Cheng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, lalu berlari, terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang.

Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Cheng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang.

“Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya…!” kata Kim Lian, gadis itu yang tadi membuka matanya menyaksikan pertandingan hebat antara Cheng-jiu Tok-ong dan Bu Pun Su.

Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couwnya sendiri. Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu amat dahsyat dan menyeramkan.

Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Cheng-jiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa.

“He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.

“Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tidak boleh bergirang?”

Kim Lian membantah. Ia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut.

“Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!”

Tiba-tiba Im Giok menegur sucinya, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk dan diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.

“Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah,

“Hm, ini sucimu? Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka di pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat masih menertawakan orang lain, sungguh tak tahu diri…”

Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.
“Susiok-couw, tolonglah teecu…” ratapnya sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah.

“Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu…”

Kim Lian menjerit dan menangis sedih.
“Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati, biar teecu mati daripada harus menderita, bopeng seluruh tubuh… alangkah ngerinya…”

“Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang dengan suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh memalukan aku yang menjadi susiok-couw!”






Tidak ada komentar :